Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Tahun Toleransi dan Warisan Trilogi Ukhuwah

Wildani Hefni Kepala Pusat Penelitian LP2M, Dosen Fakultas Syariah dan Pascasarjana UIN Kiai Haji Achmad Siddiq Jember
12/2/2022 05:00
Tahun Toleransi dan Warisan Trilogi Ukhuwah
(Dok. Pribadi)

TANGGAL 10 Februari 2022 barangkali merupakan hari bersejarah dalam kehidupan sahabat dan senior saya, Ahmad Zainul Hamdi, yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Sosiologi Agama di UIN Sunan Ampel Surabaya. Dalam orasi ilmiahnya, Mas Inung, sapaan akrabnya, dengan sangat baik menggambarkan fenomena keberagamaan mutakhir di Indonesia. Aktivis jaringan Gusdurian yang juga aktif di ISNU Jawa Timur ini menulis naskah orasinya berjudul Matinya Keulamaan di Tengah Kebangkitan Agama: Fenomena Agama di Era Post Truth.

Tentu saja, kegelisahan Mas Inung berangkat dari fenomena pergeseran basis keulamaan, yang juga berujung pada bergesernya otoritas keagamaan. Realitas itu tergambar dengan sangat jelas dalam kehidupan sehari-sehari, di mana semua orang memiliki akses yang sama untuk bersuara dengan memanfaatkan dunia digital. Akibatnya, sulit dibedakan antara ulama dan yang bukan ulama. Tidak ditemukan garis pembeda antara mereka yang memiliki sanad keilmuan dan yang tidak. Yang jelas, suara-suara lantang dengan mudah ditemui akibat kemudahan akses informasi teknologi.

Parahnya, kemudahan itu berbanding arah dengan penyebaran informasi yang cenderung bias, bahkan hoaks, penuh ujaran kebencian dan provokasi. Realitas inilah yang disebut oleh Steve Fuller dalam Post-Truth: Knowledge as a Power Game (2018) sebagai narasi keilmuan yang terombang-ambing atau dipropagandakan (knowledge as a power game). Sementara itu, Musahadi (2020) menyebutnya dengan fikih prasmanan di era disrupsi.

 

 

Modal sosial Islam wasatiah

Benar adanya, dunia digital menyediakan prasmanan narasi keagamaan yang bebas akses dan kerap kali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk menyuburkan konflik, serta menghidupkan politik identitas yang ditandai dengan pudarnya afiliasi terhadap lembaga kegamaan, bergesernya otoritas keagamaan, dan menguatnya individualisme.

Apa yang diungkapkan Zainul Hamdi dalam orasi guru besarnya beririsan dengan pembacaan komprehensif Tom Nichols dalam bukunya, The Death of Expertise (2017), yang diterbitkan Oxford University Press. Pada titik inilah gema untuk menyuarakan Islam Indonesia yang bertumpu pada Islam wasatiah menjadi penting dan relevan. Penyangga Islam wasatiah, sebagaimana diungkap oleh Ronald A Lukens-Bull (2013), diemban oleh organisasi kemasyarakatan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, dalam fungsinya sebagai penyangga pilar Islam moderat, menjungjung tinggi nilai-nilai egaliter, keterbukaan, dan menerima terhadap perbedaan.

Dengan kata lain, toleransi menjadi modal sosial utama untuk membangun bangsa. Bangunan kehidupan sosial mengharuskan toleransi sebagai pelempang jalan terciptanya kehidupan bersama antarumat yang mutual-produktif. Dengan toleransi, suatu kesadaran teologis yang menganggap kelompok lain musuh abadi bakal perlahan berubah, beralih memandang sebagai karib sejati.

 

 

Tahun toleransi

Kementerian Agama mencanangkan 2022 sebagai tahun toleransi. Meskipun ada kelompok yang memahami sebagai langkah politis-pragmatis, pencanangan ini menjadi penting dan relevan di saat semburan intoleransi menjadi rimba raya sosial yang sangat buruk. Di samping itu, pencanangan tahun toleransi menjadi daya perangkat kuat dalam mendukung program moderasi beragama yang selama ini telah digemakan dan dikuatkan.

Pertanyaan yang muncul, mengapa mesti ada tahun toleransi? Bukankah semua orang memiliki kepercayaan terhadap agamanya masing-masing, yang sudah tentu menjunjung nilai-nilai toleransi? Untuk menjawab pertanyaan ini, saya hendak mengajukan analisis Charles Kimball dalam When Religion Becomes Evil (2002).

Kimball mengemukakan lima sebab yang bisa mengubah agama menjadi bencana, antara lain absolute truth claim (absolutisme klaim kebenaran), blind obedience (ketundukan buta), establishing the ideal time (kehendak kembali ke masa keemasan), the end justifies any means (menghalalkan segala cara), dan declaring holy war (menyatakan perang suci). Dari analisis Kimball, pemanggul keagamaan yang memiliki pemahaman dan pengamalan keagamaan ekstrem dan rigid hitam-putih justru berpotensi menjadi pemeran aktif dalam pembusukan dari dalam.

Dalam hemat saya, setidaknya ada tiga argumen untuk menjelaskan urgensi pencanangan tahun toleransi. Pertama, munguatnya klaim kebenaran. Terbukanya keran demokrasi telah memberikan ruang yang cukup luas lahirnya pelbagai varian pemikiran keislaman. Pendulum Islam Indonesia bergeser ke arah eksklusivisme yang menelikung ke seluruh lapisan masyarakat, dengan munculnya klaim kebenaran subjektif yang menyisakan kebimbangan dan kegamangan hidup. Konflik bermula dari kebencian terhadap pihak lain (others) yang dianggap memiliki pandangan berbeda.

Kedua, overdosis beragama. Berkembangnya cara pandang dan praktik keagamaan yang berlebihan melahirkan gejala pelabelan, pengafiran, dan penyesatan. Perlahan menguat dan bermetamorfosis menjadi dogma-dogma lokal yang kukuh dan mencengkeram. Realitas ini menjadi problem krusial dalam dinamika perkembangan pemikiran keagamaan di Republik ini, terutama menguatnya pemikiran yang bersifat homogen dan sentralistik. Pada akhirnya, merobek dan merecoki kehidupan sosial, ekonomi, politik, bahkan merusak peradaban (the noise of civilization).

Ketiga, destruksi eksistensial agama. Ungkapan populer al-Islam mahjub bi al-muslimin, Islam tertutup oleh umatnya sendiri, memperingatkan untuk senantiasa mewaspadai diri sendiri dalam beragama. Dalam banyak kasus, pemahaman keagamaan yang bersifat ekstrem justru lahir dan muncul mendistorsi substansi agama yang sebenarnya. Akibat praktik pengamalan beragama dengan cara pandang yang menunggalkan absolutisme, maka agama telah mengalami destruksi eksistensial (al-din mahjub bi al-mudayyin).

Hal itu bisa dijumpai dalam pendekatan tekstual-literal legal-formal, yang akhirnya menuai cara pandang keagamaan yang kaku, fanatis, bahkan diskriminatif. Realitas ini yang kemudian menggiring pada kejumudan berpikir, yang pada titik tertentu kemudian menyebabkan pada krisis paradigmatis.

Dalam konteks itu, tahun toleransi ini perlu diwujudkan dalam ikhtiar kolektif komponen anak bangsa. Tidak terbatas pada satu kementerian atau lembaga tertentu, melainkan menjadi sense sekaligus point of urgency dari seluruh elemen masyarakat, termasuk juga dari organisasi kemasyarakatan seperti NU dan Muhammadiyah.

Terpilihnya Gus Yahya Cholil Staquf sebagai Ketua PBNU masa bakti 2022-2027, lewat inisiasi merawat kemanusiaan dengan menghidupkan kembali warisan Gus Dur, menjadi titik pijak bagi NU untuk menggemakan khitah wasatiah sebagai mercusuar benteng terdepan dalam merawat keberagamaan dan keindonesiaan.

Dalam upaya merawat kemanusiaan, penting untuk memahami dawuh Gus Dur sebagai berikut, “Memuliakan manusia berarti memuliakan pencipta-Nya. Merendahkan dan menistakan manusia berarti merendahkan dan menistakan pencipta-Nya.” Ungkapan dari Sayyidina Ali juga penting untuk selalu diketengahkan, “Mereka yang bukan seiman adalah saudara dalam kemanusiaan.”

 

 

Warisan trilogi ukhuwah

Bagi NU, tentu upaya untuk merawat persaudaraan bukanlah hal yang baru. Rais Am PBNU tahun 1984, KH Achmad Siddiq, yang namanya saat ini digunakan menjadi nama kampus UIN Jember, telah mewariskan gagasan cemerlang, yaitu trilogi ukhuwah sebagai basis penguatan martabat kemanusiaan.

KH Achmad Siddiq telah mengajarkan pemikiran Kiai Haji Achmad Siddiq yang membumikan prinsip dan karakter wasatiah dalam tata pergaulan hidup dan kehidupan dengan prinsip dan nilai universalitas. Itu semua dimanifestasikan dalam sendi kehidupan bermasyarakat, baik dalam hal pemantapan akidah, syariah, tasawuf, kehidupan berbangsa, bernegara, maupun dalam kehidupan politik, ekonomi, budaya, dan sebagainya.

Trilogi ukhuwah tersebut, antara lain, pertama, ukhuwah islamiah, sebuah jalinan persaudaraan yang tumbuh dan lahir berdasarkan keimanan atau keagamaan. Seorang muslim menganggap muslim lainnya sebagai saudara tanpa memandang latar belakang keturunan, kebangsaan, atau pertimbangan-pertimbangan teknis lainnya. Secara lebih luas, dalam konsep nation-state modern, tidak ada batasan untuk mewujudkan solidaritas, baik itu beda agama, beda ras, maupun beda bangsa. Satu hal yang paling penting ialah mewujudkan kemaslahatan, yang dipayungi kekuatan toleransi kehidupan sosial (maslaha cum-samaha).

Kedua, ukhuwah wathaniyah, sebuah ikatan persaudaraan yang tumbuh dan berkembang atas dasar nasionalisme. Dalam konteks ini, diperlukan rekonstruksi nalar keagamaan agar tidak terjadi fanatisme yang berlebihan, yang sering kali mengukuhkan tembok besar untuk menegasikan kelompok yang berbeda atau pemeluk agama yang berbeda. Jalinan yang semestinya jadi garapan harus disematkan di atas balutan ukhuwah wathaniyah berbasis toleransi, kepatutan, dan persaudaraan seluruh warga bangsa dari berbagai latar belakang agama, kepercayaan, dan latar belakang sosial lainnya.

Salah satu karakter negara modern pluralistik ialah pengakuan dan perlindungan terhadap semua warga negara yang dijalankan dalam kerangka kewargaan multikultural. Martabat manusia (human dignity) menjadi skema prioritas untuk mewujudkan kehidupan yang damai, nyaman, dan tenteram.

Ketiga, ukhuwah basyariyah, sebuah ikatan persaudaraan yang tumbuh dan lahir atas dasar kemanusiaan. Nilai ukhuwah ini menjadi landasan utama dalam menguatkan interaksi sosial dalam kemajemukan untuk dapat mewujudkan perdamaian dan kasih sayang di antara sesama umat. Konsep ukhuwah ini kemudian berkembang, termasuk di dalamnya ada jaminan hak asasi manusia (HAM).

Konsep ini menjadi penyangga dari konsep moderasi beragama yang menunjang penguatan esensi ajaran agama dalam kehidupan masyarakat, mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan, merawat keindonesiaan, dan menjadi perekat antara semangat beragama dan komitmen bernegara.

Konstruksi trilogi ukhuwah ini menjadi penting untuk diaktualisasikan dalam narasi keberagamaan kontemporer saat ini. Setidaknya untuk menjawab kekhawatiran-kekhawatiran atas bacaan fenomena yang disebutkan di atas, sebagaimana diungkap Zainul Hamdi, Nichols, Musahadi, dan Kimball. Semoga.

 

 

Tiser :

Salah satu karakter negara modern pluralistik ialah pengakuan dan perlindungan terhadap semua warga negara yang dijalankan dalam kerangka kewargaan multikultural. Martabat manusia (human dignity) menjadi skema prioritas untuk mewujudkan kehidupan yang damai, nyaman, dan tenteram.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya