Suara Kenabian Mangunwijaya

Albertus Muda, Guru honorer SMA Negeri 2 Lewoleba, Lembata, NTT
06/2/2022 20:30
 Suara Kenabian Mangunwijaya
Albertus Muda(Dok pribadi)

YUSUF Yusuf Bilyarta Mangunwijaya meninggal di Hotel Le Meridien, Jakarta, Rabu (10 Februari 1999). Pada 10 Februari 2022, genap 23 tahun Mangunwijaya berpulang. Imam diosesan Keuskupan Agung Semarang ini, menghembuskan nafas terakhir usai menyajikan makalah Peran Buku Demi Kearifan Dalam Iptek. Sontak semua orang kaget. Mata publik tertuju pada Mangunwijaya. Malum, ia sosok serbaneka; imam Katolik, arsitek, sastrawan, kolumnis, pekerja sosial, dan mantan prajurit Badan Keamanan Rakyat (BKR). 

Indonesia berselubung duka dan pertanyaan berkelebat lahir. Itu tak lain karena rasa kehilangan seorang Romo Mangun. Mengapa sosok itu telalu cepat kembali ke rumah-Nya? Pertanyaan ini mudah diendus kala rekam jejaknya tersingkap. Mangunwijaya adalah pribadi yang prinsipiil, tak mudah tergoda dewa kekuasaan dan mamon. Ia melangkah pasti menegakkan kebenaran dan keadilan bagi kaum lemah, miskin, dan marjinal di Waduk Kedung Ombo, Gunung Kidul hingga bantaran Kali Code (sekadar menyebut beberapa). 

Romo Mangun adalah pembela kaum miskin. Suara kenabian dan kiblat pengabdiannya bermuara pada kebaikan banyak orang (bonume commune), bukan sensasi apalagi fulus. Ia setia mengadvokasi hak kaum marginal yang kerap alpa di mata kuasa negara. Ia tak segan di garda depan, berjuang membela hak-hak mereka meski nyawa jadi taruhan.

Lalat liar

Romo Mangun ibarat lalat liar di punggung oknum penguasa yang kerap sewenang-wenang. Kehadiran lalat liar bakal mengganggu oknum penguasa tiran saat sedang tidur. Lalat itu bakal membuat kenyamanan tidur elite terusik. Demikian juga kehadiran Romo Mangun kerap membuat kelompok tirani yang otoriter-represif bakal kelabakan, terusik menjalankan kekuasaan formal di genggamannya yang abai kaum marginal.

Tak berlebihan menyandingkan Mangunwijaya dengan sederet nama besar seperti Kardinal Sin dan Corazon Aquino dari Filipina juga Uskup Agung Oscar Arnulfo Romero dari San Salvador, Amerika Latin. Tokoh-tokoh pejuang ini, kerap tampil sebagai lalat liar yang membuat kenyamanan segelintir elite terusik. Mereka terusik setelah sekian lama terlena dalam laku kelaliman yang menindas sesama warga kecil. 

Indonesia tentu bangga memiliki sosok Mangunwijaya. Ia memandang politik keterlibatan sosial bukan sebagai satu hal yang tabu dalam agenda pelayanan kultis dan sakramentalnya. Mangunwijaya bahkan dengan berani terlibat dalam persoalan-persoalan politik yang secara faktual mengancam keberadaan jiwa dan badannya. 

Mangunwijaya tidak pernah beranjak memperjuangkan keadilan dan kebenaran. Ia menentang mati-matian praktik korupsi, kolusi dan nepotisme dalam tubuh birokrasi dan gereja. Perjuangannya ini memberi pesan bahwa kita mesti mencukupkan diri dengan hidup apa adanya. Baginya, apa yang kita miliki hendaknya merupakan milik kita, bukan milik sesama, yang kita peroleh dengan mengorbankan mereka.

Suara yang memasyarakat

Sebagai seorang imam adalah pelayan dan pewarta sabda Tuhan di tengah dunia. Ia ibarat nabi. Dengan berbagai cara dan strategi, pewartaan sabda dilakukannya guna menanggapi kebutuhan umat sesuai konteks zamannya. Dalam kondisi ini diharapkan agar politik keterlibatan sosial seorang imam tidak tenggelam ditelan zaman. 

Tuntutan atasnya sebagai seorang pewarta adalah kedekatan dan belajar dari umat dan menjadi senasib dengan yang diwartakan Tuhan, sang Sabda. Imam mesti rela meninggalkan segalanya. Berani diutus dan rela menderita, punya komitmen utuh kepada kebaikan umum. Bukan sebaliknya; mengorbankan umat dan mencari nyaman diri.

Imam dalam tugas kenabiannya mesti bertindak sebagai corong, penyambung lidah dan juru bicara Allah. Sebagai juru bicara Allah berarti ia berbicara atas nama Allah bukan dirinya sendiri. Seorang imam dituntut memperjuangkan nasib kaum miskin dan tertindas. Bukan sekadar retorika dengan konsep-konsep baku yang mati.

Dalam Sketsa Nurani Anak Bangsa (2004) Max Regus mengemukakan, Gereja mesti menunjukkan sikap kritisnya. Situasi Indonesia umumnya yang menderita karena didera berbagai persoalan hidup seperti penindasan, kemiskinan, pembungkaman HAM dan ketidakadilan merupakan medan pelayanan dan kesaksian kontekstual gereja.

Gereja tidak boleh bermegah di atas kemajuan sosial, politik dan ekonomi yang mungkin sudah lama digenggamnya, sambil melupakan moral religiusnya. Moral religius dimaksud yakni membangun solidaritas sosial yang kondusif bagi kehidupan negara yang utuh. Karena itu, seorang imam hendaknya berani bersuara dan menyuarakan kebenaran dan keadilan. 

Sabda Allah dalam deretan kata-kata mesti dapat diterjemahkan ke dalam perbuatan nyata. Melalui cara mereka, para imam menghidupi sabda Tuhan sehingga menjadi teladan umat. Seorang imam menyalurkan sabda, bukan saja di meja altar. Kata-kata (sabda) itu mesti merasuk dirinya, menyulut semangatnya untuk terjun ke dalam pasar, realitas masyarakat. 

Dalam pergumulan dan kesaksiannya, seorang imam perlu mengembangkan solidaritas kritis sehingga tidak mudah terjebak. Seorang imam mesti tetap memiliki kesangsian pastoral dalam karya kegembalaannya. Artinya ia dapat memilah-milah mana yang positif dan yang negatif, yang benar dan salah. Olehnya, daya kritis dan analitisnya dibutuhkan dalam keberpihakan dan keterlibatannya. Lebih tepat dalam menjalin kerja sama dengan pihak tertentu khususnya pemerintah.

Imam juga perlu mengembangkan solidaritas lintas budaya. Ia perlu memiliki kepedulian dan kesetiakawanan yang tidak memandang suku, agama, ras atau golongan tertentu. Dengan kata lain, seorang imam mesti memiliki solidaritas tanpa pamrih yang mengarah pada semua orang. Ia tidak boleh mengungkung dirinya dalam batas-batas yang eksklusif.

Menurut Budi Kleden dalam Allah Menggugat, Allah Menyembuhkan (2015), daya kritis seorang imam menjadi penting agar tidak mudah terjebak dalam sebuah rekayasa politik yang melahirkan kerja sama busuk. Olehnya, seorang imam bisa lebih cerdas menganalisis situasi sosial, tidak mudah dirayu oleh segelintir elite dan digoda oleh mayoritas.

Budi menguraikan, seorang imam mesti tetap pada pendirian dan komitmennya menawarkan oase kebenaran di tengah padang gurun penipuan, menghidupi keadilan di tengah orang-orang yang telah membiasakan diri dengan ketidakadilan, memperhatikan lingkungan di tengah gamangnya zaman yang melihat pencemaran atau perusakan lingkungan sebagai harga yang dapat dilunasi dengan kemajuan.

Keterlibatan politis Mangunwijaya murni keberpihakan moral. Keberpihakannya bisa saja diinspirasi Kardinal Sin. Sin menyebut, "Saya bertindak sebagai pastor, bukan politisi. Keberpihakan saya kepada moral, bukan politik dalam arti sempit. Gereja tidak bisa menyatakan dirinya sebagai penyelamat abadi apabila menutup mata terhadap apa yang terjadi di sekitarnya."

Mangunwijaya barangkali sangat terganggu oleh seruan kenabian Kierkegaard. Kata filsuf abad ke-19 dari Denmark itu, para imam dan Gereja tidak lagi mewartakan Injil Kristen, tetapi mewartakan pesan kemapanan dan kegembiraan semu. Mereka mencari kehidupan yang mapan bagi diri mereka sendiri dan gereja memberi mereka rasa aman, penghargaan, dan kedudukan dalam masyarakat. Para imam dan gereja mempermainkan Allah dengan mewartakan sesuatu yang sama sekali asing bagi Kristianitas Perjanjian Baru. 

Seruan kenabian Sin dan Kierkegaard telah menyulut spirit Mangunwijaya sehingga berjuang mati-matian membela kaum miskin dan tertindas. Dua puluh tiga tahun Mangunwijaya meninggal. Ia mewarisi kita dengan kesaksiannya sebagai seorang imam bagi orang kecil. Tentu ada asa; semangat profetis kritisnya terwariskan dalam diri para pemimpin negara serta agama saat ini dan masa datang.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya