Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Dukungan Terbaik Pendidikan

Anggi Afriansyah Peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Riset Kependudukan BRIN, Penulis Buku Imajinasi, Problematika, Kompleksitas: Wajah Pendidikan Indonesia (Penerbit Tanda Baca, 2021)
13/1/2022 05:05
Dukungan Terbaik Pendidikan
Anggi Afriansyah(Dok. Pribadi)

THE most important thing we ever learn at school is the fact that the most important things can’t be learned at school (Haruki Murakami, What I Talk About When I Talk About Running).

Catatan dari Haruki Murakami tersebut dapat digunakan sebagai pengingat bagi kita terkait dengan pendidikan di sekolah. Apakah memang banyak hal penting justru kita tidak pelajari di sekolah? Ataukah sekolah luput mendidik hal-hal fundamental bagi anak-anak?

Situasi pandemi kurang lebih dua tahun terakhir semakin membuktikan betapa pembelajaran dapat dilakukan di mana pun, kapan pun, dan dengan siapa saja. Poin utama yang penting diutamakan ialah etos dari setiap pembelajar untuk tetap bersemangat menyerap ragam ilmu pengetahuan. Jangan sampai meski anak-anak hadir di sekolah, mereka tidak belajar apa pun. Mereka secara formal melewati jenjang pendidikan, tetapi tidak mampu memaknai setiap proses yang ditempuh.

Pengalaman belajar menjadi sangat penting bagi anak-anak ketika mereka kemudian memasuki dunia kerja di masa datang. Jam-jam yang dilalui di sekolah tentu saja harus dioptimalkan untuk peningkatan kapasitas akademik, keterampilan, ataupun karakter. Kepercayaan masyarakat terhadap sekolah masih sangat tinggi karena sekolah memberi ruang penjejangan bagi anak untuk menempuh tahapan-tahapan pendidikan yang bisa dilalui. Pembagian peran terjadi, yakni orangtua tidak mampu mendidik anak secara langsung, kemudian mereka menyerahkan anak-anak ke lembaga pendidikan untuk dididik.

Kegoyahan terjadi di situasi pandemi, ketika anak-anak kembali ke rumah dan orangtua kembali disadarkan betapa penyerahan kewajiban mendidik yang awalnya diberikan ke sekolah harus kembali mereka pikul. Tidak semua orangtua mampu. Tidak sekadar perkara akademik, tetapi juga keterbatasan pengalokasian waktu dan tenaga menjadi hal yang krusial.

Keluarga yang berkecukupan secara ekonomi dapat mengalihkan proses pendidikan ke pihak ketiga, seperti guru privat, lembaga les, dan bimbingan belajar. Atau ada juga yang mempelajari sistem homeschooling dan kemudian mengambil alih proses pendidikan di rumah. Sementara itu, keluarga miskin harus tetap mengandalkan guru-guru dari sekolah. Kebaikan sekolah meski merupakah hak yang memang harus didapat anak, menjadi harapan bagi anak-anak miskin untuk tetap belajar.

Ketika sekolah sudah diizinkan melakukan kegiatan pembelajaran tatap muka terbatas (PTMT), kemudian dilanjutkan dengan adanya vaksin untuk anak-anak, ada rona gembira di wajah anak-anak, orangtua, dan guru. Belajar tatap muka ternyata tetap dinanti, meskipun di sekolah-sekolah yang memiliki akses yang memadai pembelajaran jarak jauh yang mengandalkan teknologi informasi masih bisa dilakukan. Relasi, perjumpaan-perjumpaan, dan sisi sosial lainnya ternyata sangat dinanti dan dianggap penting.

Pertanyaan yang kemudian dapat diajukan ialah apakah proses selama dua tahun terakhir ketika mayoritas kegiatan belajar dari rumah dilakukan, anak-anak kita sudah mendapatkan pengalaman yang memadai untuk belajar secara mandiri? Atau justru menunjukkan betapa kemandirian belajar masih sangat sulit untuk diterapkan dan semakin meningkatkan ketergantungan masyarakat terhadap pendidikan formal? Tentu saja perlu riset memadai untuk menjawab pertanyaan tersebut. Jika dilakukan observasi singkat, tampaknya tingkat ketergantungan terhadap lembaga pendidikan formal tetap tinggi. Selain itu, juga kemandirian anak untuk belajar masih sangat rendah.

 

Menyediakan pilihan

Pilihan orangtua dan anak pada jenis pendidikan yang diambil tentu akan sangat bergantung pada berbagai kondisi dihadapi mereka. Pilihan-pilihan tersebut sangat bergantung pada kondisi sosial, ekonomi, juga pengetahuan orangtua terkait dengan pendidikan. Untuk keluarga menengah atas, tradisi untuk melakukan psikotes bagi anak-anak usia dini merupakan hal yang lumrah. Anak-anak dicek secara presisi kemungkinan bakat dan kecerdasannya.

Pilihan sekolah kemudian bergantung pada hasil tes. Jelas mereka bisa memilih bersekolah di mana pun ketika biaya bukan menjadi halangan. Anak-anak miskin tentu hanya mengandalkan sekolah negeri yang ada di dekat rumah. Atau sekolah-sekolah swasta yang juga serbaminim yang ada di lingkungan tinggal mereka. Semakin miskin, pilihan semakin terbatas.

Dalam situasi pandemi tantangan bagi keluarga miskin semakin berlipat ganda. Studi Morgan (2020) di Amerika Serikat menyatakan tantangan bagi siswa dari keluarga berpenghasilan rendah di masa pandemi menjadi lebih besar. Dari pemenuhan makan, akses terhadap teknologi, hingga pendampingan terbatas dari orangtua. Kondisi tersebut menyebabkan pembelajaran daring menjadi kurang efektif.

Sementara itu, studi Greenhow, Lewin, dan Willet (2021) melalui penelitiannya membandingkan respons kebijakan pendidikan di Amerika Serikat dengan Inggris. Ketiganya menunjukkan mengenai adanya ketegangan antara pedagogi digital, aturan sistem dan keterampilan digital guru, dan pengalaman berbeda bagi siswa. Selain itu, studi ini menjelaskan mengenai terjadinya pergeseran pembagian kerja dan meningkatnya tanggung jawab orangtua dalam mengelola pembelajaran anak. Catatan lain dari studi ini ialah terkait dengan ekuitas digital yang berlaku di kedua negara (akses teknologi dan dukungan sosial) ternyata merugikan siswa dari keluarga berpenghasilan rendah.

Gambaran dua studi tersebut tentu menjadi bagian penting untuk penyusunan kebijakan pendidikan di Indonesia. Terdapat banyak variabel penting yang perlu diukur ketika pemerintah berupaya untuk mewujudkan kebijakan pendidikan. Perhatian pendidikan bagi keluarga miskin menjadi utama sebab mereka yang paling merasakan dampak dari situasi pandemi.

Kemampuan belajar secara mandiri merupakan bagian dari budaya. Budaya itu dibangun melalui proses yang bertahap. Anak-anak dari keluarga miskin yang tidak terpapar kebiasaan belajar karena pendampingan yang terbatas dari orangtuanya tentu memiliki imajinasi yang terbatas ketika bicara penerapan belajar mandiri. Belum lagi jika bicara apa yang harus dipelajari, materi mana yang jadi prioritas, keterampilan apa yang harus dikukuhkan. Sementara itu, anak-anak dari keluarga berkecukupan sudah memiliki pola yang jelas terkait dengan pendidikan yang harus ditempuh, bahasa apa yang harus dipelajari, keterampilan mana yang perlu dikuatkan.

Pada titik ini pendidikan harus berpihak kepada kelompok miskin. Jika negeri ini masih berharap pada kegemilangan bangsa di masa depan, tidak ada tawar-menawar dalam perkara ini. anak-anak dari keluarga miskin harus diberi perhatian ekstra. Dipaparkan dengan ragam buku-buku berkualitas, akses internet dan fasilitas TIK, dan guru-guru unggulan. Imajinasi terkait dengan masa depan yang lebih baik hanya dapat didapat melalui proses pendidikan yang bermutu. Dukungan terbaik pendidikan harus diberikan, jangan sampai sudah menghabiskan waktu di sekolah ternyata tidak mendapatkan apa-apa. Semoga tidak.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya