Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
PERJALANAN waktu tak pernah lepas dari cerita, yang dengannya bisa menempa fondasi menjejaki masa berikutnya. Ini ialah buah perenungan saya beberapa tahun lalu di Bukit Nepheli, tak jauh dari pusat Kota Thessaloniki sebagai salah satu pusat peradaban sejarah Eropa.
Jejalin data antarwaktu bisa membimbing kita di masa depan, belajar dari yang lalu, memahat jalan di masa depan. Tahun 2021 tinggal menyisakan sedikit ruang cerita, tak terasa bekal pelajaran dan hikmah sudah terkumpul dalam selintasan tahun yang sudah bergulir lepas. Tahun yang segera lewat, masih tak kuasa lepas dari gumulan pandemi, dan ini ialah lakon utama dari gejolak ekonomi antarwaktu, menjadi fondasi utama menerawang kinerja 2022.
Kontraksi ekonomi, yang mewarnai 2020 tampak mulai pupus sejak kuartal 2 2021, yang menunjukkan lonjakkan ekonomi hingga 7,07% secara tahunan. Meski demikian, patut dicatat bahwa hal ini secara teknis merupakan sesuatu yang tidak terlalu mengejutkan, mengingat adanya efek batas bawah (low base effect) yang terjadi karena besaran pembandingnya pada 2020 berada di dasar jurang kurva pertumbuhan, wajar jika seakan melonjak tinggi. Tetapi, biar bagaimanapun jelas ini kabar baik. Secara umum, tren pembalikan ekonomi sepertinya menjadi cerita-cerita positif sepanjang 2021.
Namun demikian, kuartal 3 tahun ini menjadi ujian terberat bagi perekonomian kita. Saya sebut sebagai ujian terberat karena berbeda dengan 2020, kebijakan pemerintah masih seperti meraba dan mencoba, 2021 ini proses adaptasi kebijakan sudah tampak selaras dengan faktor pembuat gejolak.
Jika 2020 diwarnai beberapa seri intervensi fiskal yang cukup dominan dalam proses menggesa pembalikan ekonomi, 2021 ini kebijakan intervensi nonfiskal dan kesehatan juga tampak menjadi patron penting. Pemerintah, sudah mampu membaca faktor penting pemulihan ekonomi, yaitu prioritas penanganan pandemi.
Liarnya varian delta pada kuartal ketiga tahun ini, berbuah mandeknya mobilitas dan naiknya sentimen negatif. Pemerintah terpaksa memaku pergerakan sepanjang merebaknya varian delta untuk mengurangi beban fasilitas kesehatan. Pada satu lini masa yang sama, data yang kami olah dari puluhan juta poin juga menunjukkan pergerakan sentimen negatif, yang dominan antara Juli hingga Agustus 2021.
Di sisi lain, pada saat bersamaan, tren Purchashing Manager Index (PMI) sektor manufaktur yang sempat bertengger di fase ekspansi pada level 55,3 dan 53,5 pada Mei dan Juni, harus rela terperosok dalam hingga level 40,1 pada Juli. Berita baiknya, setelah masa penuh tekanan pada kuartal ketiga, perekonomian kita masih tumbuh 3,51% secara tahunan, dan bahkan PMI sektor manufaktur mampu merangsek hingga level 57,2 pada Oktober yang merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah.
Meskipun sedikit terkoreksi pada November, angka PMI masih cenderung solid di wilayah ekspansi, dan bahkan menjadi yang terbaik di ASEAN mengangkangi gerombolan berat negeri jiran, seperti Thailand, Filipina, Vietnam, dan Malaysia yang berada di level 50,6, 51,7, 52,2, dan 52.3 secara berurutan.
Simulasi kami menunjukkan bahwa faktor penyumbang gejolak yang paling dominan ialah covid-19, yang memberikan sumbangan antara 17% sampai 18% terhadap gejolak yang timbul. Jika terjadi ledakan-ledakan infeksi berikutnya, hal ini akan semakin menekan usaha pemulihan ekonomi ke depan. Jika kemudian hal ini berujung pada kenaikan jumlah kasus secara signifikan, akan menyebabkan PDB Indonesia terkontraksi sebesar -0,732% pada dua kuartal selanjutnya, sebagai akibat dari pembatasan ekonomi dan efek dari hilangnya produktivitas.
Hal ini tampaknya sudah menjadi lokus utama proses pemulihan ekonomi, yang terbukti sudah mampu membawa perekonomian di kuartal 4 2021 ke jalur yang ekspansif. Jika demikian, penanganan pandemi ialah suatu hal yang sekuensial terhadap prospek pemulihan ekonomi, bukan sesuatu yang saling kontra (trade off) sebagaimana yang diyakini oleh sebagian orang.
Sebagaimana yang saya jelaskan sebelumnya, ketika kebijakan sudah mulai adaptif dan kemudian lulus ujian terberat di kuartal ketiga, bisa dikatakan bahwa proses pemulihan ekonomi sudah berada pada jalur yang tepat. Badai besar di kuartal ketiga menjadi bukti sahih bahwa secara relatif perekonomian kita sudah lebih tahan digedor. Tahun ini, forecast kami menunjukkan perekonomian akan tumbuh 3,6%, sebuah pencapaian yang tidak buruk dari perekonomian yang menjadi sansak pandemi hampir sepanjang tahun. Lantas bagaimana 2022?
Dengan masih merujuk kepada faktor penunjang gejolak utama, kami membuat tiga skenario pertumbuhan ekonomi 2022, yaitu optimistis, moderat, dan pesimistis. Secara keseluruhan, hasil estimasi kami menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia akan tumbuh 3,97% dalam skenario pesimistis dan 4,54% dalam skenario moderat. Sementara itu, di skenario optimistis akan terdongkrak hingga 5,46%. Proyeksi ini tentunya bergantung pada keberhasilan penanganan pandemi covid-19, dan kondisi perekonomian global ke depan.
Saya sudah mengulas faktor pandemi terhadap perekonomian, bagaimana dengan paparan dampak dari dinamika perekonomian global ke depan? Hasil simulasi kami menunjukkan bahwa faktor domestik masih jauh lebih dominan ketimbang global. Namun, tentunya kita harus tetap waspada. Dengan kondisi perekonomian Indonesia yang masih cenderung oversupply, tampaknya kita belum sangat terpapar oleh indikasi awal dari supersiklus komoditas yang tengah menghantam negara-negara besar seperti Tiongkok, Amerika Serikat, dan India.
Setidaknya dalam jangka pendek ini, faktor pembentuk gejolak ekonomi yang berasal dari batu bara, minyak bumi, dan komoditas lainnya tidak sedominan covid-19. Tetapi, patut diwaspadai jika tren ini kemudian memicu imported inflation yang berlebihan.
Secara teknis, menurut perhitungan kami, sumbangannya ialah 0,64% dari batu bara dan 7,88% dari minyak bumi. Namun, patut diwaspadai jika variabel itu kemudian menjalar kepada faktor inflasi dari jalur imported inflation. Jika itu yang terjadi, gejolak dari sisi inflasi akan memiliki daya rusak yang hampir serupa dengan covid-19. Setiap gejolak dari jalur inflasi, dapat menyebabkan PDB terkontraksi sebesar -0,66% pada dua kuartal selanjutnya, dan responsnya tetap negatif sampai delapan kuartal berikutnya.
Jangan sampai kemudian eksportir komoditas, misalnya batu bara, tergiur untuk ekspor berlebihan sehingga membuat pasokan dalam negeri menjadi sangat terbatas sehingga mempercepat tren inflasi ini. Di sisi yang lain, apabila kita melihat secara spesifik lewat jalur ekspor komoditas, pemanfaatan ekspor ini di jangka pendek memang akan berkontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, kontribusinya bisa dibilang tidak terlalu besar, dan jangka waktu pemanfaatannya relatif terbatas.
Usaha untuk menggenjot ekspor komoditas, lantas akan diganjar respons negatif terjadap PDB mulai ekspor kuartal ke-3 hingga ke-8 dengan respons terbesar -0,465% pada kuartal keempat. Transmisi ini cukup realistis karena usaha menggenjot ekspor komoditas menilik pada sejarah runtun waktu, hanya akan menciptakan tekanan dari sisi input produksi dan arus pembalikan industri. Patut dicatat, tren kenaikan harga komoditas sifatnya transitory alias sempit waktu. Jangan sampai kebijakan ekonomi kemudian balik arah, kembali bergantung pada komoditas dan melupakan industrialisasi.
Merangkum hasil penelaahan data, tampak cahaya sudah mulai berpendar di ujung lorong yang gelap, peluang pembalikan ekonomi cukup terbuka. Hal ini juga telah diulas oleh Morgan Stanley, setidaknya ada tiga faktor yang membuat perekonomian Indonesia tumbuh mencorong pada 2022. Pertama faktor permintaan domestik yang inklusif (inclusive domestic demand). Dengan bekal populasi kelas menengah yang melimpah, jika pemerintah sudah mampu untuk membuka perekonomian, dorongan dari sisi permintaan ini akan sangat kuat. Tinggal bagaimana penerintah ke depan mampu menciptakan ekosistem yang kondusif, untuk mempercepat laju belanja para kelas menengah.
Faktor yang kedua kemungkinan terhindarnya dari risiko stagflasi. Jika negara-negara besar, seperti Tiongkok dan Amerika Serikat sudah mulai dihantui oleh dorongan biaya produksi yang mengakibatkan tingginya potensi inflasi (cost push inflation), dan mandeknya pertumbuhan ekonomi, inflasi di Indonesia sangat mungkin akan didorong oleh tarikan permintaan domestik (demand pull inflation) yang justru menjadi pelumas untuk perekonomian.
Inflasi model ini dibutuhkan karena mampu menjadi komando bagi pertumbuhan ekonomi di jangka pendek dan menengah. Berbeda dengan tipe inflasi dari kenaikan biaya produksi, yang saat ini membayangi negara maju akibat kelangkaan barang kebutuhan produksi. Indonesia, sebagaimana telah saya ulas sebelumnya, memiliki kecenderungan oversupply sehingga tidak langsung terpapar oleh gejolak harga komoditas dunia.
Faktor yang ketiga solidnya struktur perekonomian Indonesia. Dengan rasio utang terhadap PDB yang masih terjaga dan defisit yang tidak terlalu lebar, fondasi pertumbuhan Indonesia menjadi salah satu yang paling solid di regional. Memang betul, stimulus fiskal yang digelontorkan sudah membuat faktor risiko utang dan defisit menjadi lebih besar dari sebelumnya. Namun, untungnya hal ini masih relatif terkelola dengan baik, berselancar di tengah kebutuhan untuk menopang perekonomian di jangka pendek. Dengan ketiga faktor utama ini, Indonesia diyakini akan menempati pole position pemulihan ekonomi pada 2022 nanti.
Menjadi pelajaran
Melintasi tahun yang hampir berlalu, biarlah menjadi pelajaran menjejaki yang baru. Sulitnya mengubah yang sudah hampir usai, membuat saya teringat petuah teman saya Dian Sulistyowati arkeolog dari UI tentang kesukaran memindah arca di Museum Nasional yang sudah disemen dari zaman kolonial. Jika pun bisa, hanya akan merusak dan meninggalkan cacat. Apa untungnya menggeser dan memindah, jika ia tidak mampu membantu kita memaknai masa depan? Biarlah tinggal, saatnya menapaki jalan baru.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved