Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Defisit BPJS Kesehatan dan Nasionalisme Kita

Berlian I Idris Dokter ahli jantung, anggota IDI dan Perki, Ketua Komite Medis RS Medika BSD, Tangerang Selatan
21/12/2021 05:00
Defisit BPJS Kesehatan dan Nasionalisme Kita
(Dok. Istimewa)

PADA 2022, BPJS Kesehatan berencana menerapkan kelas tunggal dan mendorong urun bayar untuk pelayanan medis tertentu. Nantinya, tidak ada lagi kelas I, II, dan III. Perawatan akan menjadi kelas rawat inap standar (KRIS) dan iuran hanya akan ada yang dibayarkan pemerintah untuk penerima bantuan iuran (PBI) dan iuran yang tidak dibayarkan pemerintah untuk non-PBI dengan besaran tunggal.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi mengungkapkan, dengan penerapan kelas standar, paket tarif Indonesian case-based group (Ina-CBG) mungkin akan berkurang sehingga akan ada layanan yang tak lagi dipenuhi BPJS Kesehatan. Indonesian case-based group ialah pengelompokan kasus yang digunakan untuk menentukan besaran tarif yang dibayarkan BPJS Kesehatan ke rumah sakit (RS) atas layanan medis yang diberikan kepada pasien. Untuk menutupi kekurangan tarif itu, peserta diminta untuk urun biaya, diharapkan dengan melibatkan asuransi swasta.

Menurut Hasbullah Thabrany, Guru Besar Ekonomi Kesehatan UI, tarif kapitasi di fasilitas kesehatan (faskes) primer dan tarif Ina-CBG sebenarnya sudah tujuh tahun tidak naik yang jika dikoreksi terhadap inflasi, besaran itu sesungguhnya turun 25%-30% jika dibandingkan dengan pada 2014. Bila tarif INA-CBG turun atau berkurang jenis cakupannya, faskes terutama RS dipaksa untuk melakukan efisiensi lebih jauh lagi dari yang sudah dilakukan sekarang dan pasien seperti disampaikan Menteri Kesehatan harus bersiap untuk urun biaya.

Perubahan itu jelas akan berdampak buruk pada peserta BPJS Kesehatan, yang notabene seluruh rakyat Indonesia. Bila iuran naik dari besaran yang paling rendah, jelas itu akan memberatkan mereka yang di kelas III. Selain itu, mungkin banyak yang tidak mampu untuk membayar asuransi swasta, apalagi jika urun bayar dari kocek sendiri.

 

Penyebab defisit

Penyebab defisit sebenarnya sederhana, pendapatan BPJS Kesehatan lebih kecil jika dibandingkan dengan pengeluaran mereka karena banyaknya yang memakai dan luasnya manfaat yang ditanggung. Namun, rasanya tidak elok mengatakan penyebab defisit ialah orang mampu yang tidak layak berobat menggunakan BPJS Kesehatan atau terbantunya pasien karena ditanggungnya penyakit yang berbiaya besar.

Ini disebabkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dijalankan BPJS Kesehatan adalah bagian dari cakupan kesehatan semesta (universal health coverage), yang kepesertaannya diwajibkan bagi seluruh rakyat Indonesia, baik miskin maupun kaya, dan manfaatnya mencakup seluruh kondisi kesehatan yang memerlukan penanganan medis, baik yang murah atau mahal biayanya.

Sementara itu, kontribusi kecurangan atau fraud terhadap defisit sangatlah kecil. Audit investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mencatat kecurangan tidak sampai 1% dari keseluruhan klaim. Pihak BPJS Kesehatan sendiri menerapkan kewaspadaan tinggi akan kemungkinan terjadinya kecurangan. Klaim yang diajukan diskrutinisasi sedemikian rupa sehingga proses persetujuan bisa jadi lebih lama daripada yang seharusnya. Itu salah satu hal yang menyebabkan sering tertundanya pembayaran klaim.

 

Sesat pikir soal defisit

Sulit untuk mengatakan penerapan tarif tunggal dan urun bayar itu bukan bagian dari usaha untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan. Tampaknya, ini diawali dari sesat pikir mengenai defisit yang dialami. Selisih antara pengeluaran BPJS Kesehatan yang lebih besar daripada pendapatan seolah dianggap sebagai kerugian, layaknya perusahaan yang berorientasi pada keuntungan.

Karena dianggap sebagai kerugian, segenap usaha dilakukan sekuat tenaga untuk mengecilkan pengeluaran. Defisit BPJS Kesehatan sebenarnya terus berkurang, dari belasan triliun rupiah pada 2017-2019, menjadi Rp6,36 triliun pada 2020. Sementara itu, pendapatan BPJS Kesehatan sendiri terus bertambah setiap tahunnya, yang pada 2020 tercatat Rp139,85 triliun.

 

Kembali ke amanat konstitusi

Jaminan kesehatan nasional ialah hak konstitusional warga negara [UUD 1945 Pasal 28H ayat (3)], dan wujud tanggung jawab negara untuk melaksanakannya [UUD 1945 Pasal 34 ayat (2)]. Pasal 3 Undang-Undang No 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional memerintahkan negara untuk memberikan jaminan, terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan anggota keluarga mereka. Cakupan kesehatan semesta yang menjadi sasaran JKN merupakan amanat konstitusi dan pengejawantahan dari semangat nasionalisme yang sungguh mulia.

Sebelum ada BPJS Kesehatan, masyarakat sulit mendapatkan pengobatan. Banyak di antaranya pasrah tidak dapat berobat dan bisa jadi meninggal pada usia produktif. Penyakit yang berbiaya besar sering dipelesetkan sebagai penyakit ‘sadikin’, sakit (yang membuat) jadi miskin, masyarakat harus menjual aset mereka untuk berobat. Di era JKN ini, tidak seharusnya rakyat tidak bisa berobat karena masalah biaya, atau menjadi miskin karena urun bayar, bila ia tidak mampu membeli asuransi swasta.

Jelas masyarakat sangat terbantu dengan adanya BPJS Kesehatan walaupun tentu masih banyak kekurangan. Tidak hanya pengguna layanan, tenaga kesehatan pun bahagia bisa menolong tanpa harus memikirkan apakah pasien bisa membayar atau tidak. Dari sisi kesehatan masyarakat, JKN ialah mimpi jadi kenyataan.

Perlu ada perubahan paradigma para penyelenggara negara, dari pemimpin tertinggi Republik ini, para menteri, politikus di DPR, hingga pejabat di daerah serta tokoh masyarakat agar tidak melihat defisit BPJS Kesehatan sebagai kerugian layaknya asuransi komersial. Pembiayaan yang terlihat besar jangan dianggap sebagai pemborosan. Lihatlah betapa banyaknya nyawa yang dapat ditolong dan terselamatkannya anak bangsa dari jatuh ke jurang kemiskinan karena penyakit mereka.

Sepanjang 2020 sendiri, tercatat ada 224,7 juta kunjungan pasien di faskes, atau 615,616 kunjungan per hari kalender.

Seharusnya, semangatnya ialah memperbaiki JKN dan sistem kesehatan secara umum, terutama pencegahan, agar jumlah yang sakit dapat ditekan sehingga penggunaan manfaat JKN berkurang. Jangan terobsesi pada menekan pengeluaran bila memang sudah sesuai. Jalankanlah amanat konsitusi, menolong rakyat dengan memberikan hak mereka atas pelayanan kesehatan yang berkualitas.

Kemauan politik diperlukan untuk memberikan dukungan anggaran pada JKN dan sektor kesehatan pada umumnya ketimbang, misalnya, untuk menyubsidi proyek infrastruktur yang tidak jelas manfaatnya seperti kereta cepat atau ibu kota baru. Selain itu, agar lebih berkeadilan, besaran iuran justru sepatutnya dinaikkan mengikuti pendapatan seseorang, tidak tunggal seperti yang direncanakan.

Paradigma menjalankan amanat konstitusi ini penting agar BPJS Kesehatan tidak mengatasi defisit dengan memangkas besaran Ina-CBG yang sudah lama tidak naik, dan mengurangi cakupan penjaminan. Di sinilah JKN menjadi ujian bagi nasionalisme kita. Apakah kita setia pada amanat konstitusi yang menjadi roh JKN, yaitu kesehatan untuk semua.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya