Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Panglima TNI dan Solusi Papua tanpa Langgar HAM

Frans Maniagasi Pengamat politik lokal Papua
18/11/2021 05:00
Panglima TNI dan Solusi Papua tanpa Langgar HAM
Frans Maniagasi Pengamat politik lokal Papua(Dok. Pribadi)

PADA 8 November 2021, dalam Sidang Paripurna DPR RI, Ketua DPR Puan Maharani telah membacakan putusan dan menetapkan Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang baru, menggantikan Marsekal Hadi Tjahjanto yang akan pensiun pada akhir November 2021. Dengan penetapan DPR RI, Presiden Joko Widodo melantik Jenderal Andika Perkasa sebagai Panglima TNI pada Rabu (17/11).

Seperti kita ketahui, dalam beberapa tahun terakhir konflik bersenjata antara aparat TNI/Polri dan kelompok kriminal bersenjata (KKB), di beberapa wilayah di Pegunungan Tengah Papua, telah memakan banyak korban, baik dari pihak aparat TNI/ Polri, masyarakat sipil seperti guru, perawat, tukang ojek, maupun balita yang terkena peluru nyasar, termasuk terjadi pengungsian besar-besaran yang dilakukan masyarakat lokal, dan dari pihak KKB, yang hingga saat ini belum terselesaikan.

Bahkan, sejak April 2021, Menko Polhukam Mahfud MD telah mengumumkan perubahan label KKB ( kelompok kriminal bersenjata) menjadi teoris (me) atau kelompok separatis teroris (KST). Namun, konflik dan kekerasan semakin meningkat di Papua, terutama di wilayah pegunungan tengah.

Masyarakat hidup dalam kekhawatiran dan ketakutan yang amat sangat. Takut sewaktu – waktu terjadi penyerangan tiba-tiba yang dilakukan oleh KST atau penyisiran yang dilakukan oleh aparat keamanan dapat mengakibatkan baku tembak antara aparat keamanan TNI/Polri dengan KST. Konflik yang tak kunjung tuntas diselesaikan ini terjadi di daerah-daerah tertentu seperti Pegunungan Bintang, Nduga, Puncak, dan Intan Jaya.

Untuk itu, ‘PR’ yang mesti dilakukan oleh Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa ialah menyelesaikan permasalahan konflik bersenjata ini tanpa melanggar HAM. Sebab, pendekatan keamanan, yang dilakukan selama ini untuk menangani konflik bersenjata sudah tidak tepat. Pendekatan keamanan telah usang dan perlu pendekatan yang jauh lebih menukik untuk memahami makna di balik terjadinya konflik.

Oleh karena itu, menurut penulis, pendekatan dari aspek antropologi menurut tesis Clifford Geertz (1974) dan telah diterjemaahkan dalam bahasa Indonesia dan diberikan pengantar oleh Dr Budi Susanto tentang Tafsir Kebudayaan atau memaknai simbol-simbol kebudayaan, atau interpretasi makna, menjadi cara terbaik untuk menyelesaikan konflik bersenjata.

Pendekatan ini merupakan cara terbaru menurut I Ngurah Suryawan (2017) dari studi antropologi klasik, yang hanya berorientasi pada deskripsi dan eksplanasi. Deskripsi dan eksplanasi hanya sebatas menggambarkan dan mengeksplor permasalahan.

Sebaliknya, tafsir kebudayaan memaknai simbol kultural jauh lebih luas dan mendalam untuk memahami masyarakat yang diteliti, termasuk mengapa konflik dan kekerasan itu terjadi. Berusaha memaknai dan mengerti secara mendalam terhadap makna substansi konflik.

Pemahaman yang utuh terhadap permasalahan dapat terjalin seperti apa yang diistilahkan oleh Ngurah Suryawan intrapersonal communication, bukan komunikasi melalui pendekatan keamanan terhadap kelompok separatis teroris (KST) dengan masyarakat yang sering dijadikan tameng oleh kelompok ini. Namun, bagaimana menukik dan berada dalam masyarakat sehingga memahami apa yang dalam benak pikiran dan emosi mereka serta mampu ‘melebur’ ke dalam masyarakat Papua.

Komunikasi dengan memahami imajinasi masyarakat yang sedang mengalami transformasi sosial dan identitasnya dalam keseharian. Artinya, memahami nasib masyarakat asli Papua di tengah arus perubahan, dinamika sosial, ekonomi, dan politik yang dahsyat. Akibatnya, mereka bukan saja khawatir dan takut pada moncong senjata dan bunyi peluru, tetapi ketakutan akan terjadinya marginalisasi atau keterpinggiran mereka di atas tanahnya sendiri.

Perasaan dan ketakutan akan marginalisasi, akibat terkungkug oleh struktur kekuasan, politik, ekonomi, dan sosial yang mengintari kehidupan mereka, ditambah dengan pendekatan keamanan mengakibatkan terjadinya kekerasan dan pelanggaran HAM menjadi memori kolektif mereka.

Oleh karena itu, dalam kasus konflik di Papua menerjemahkan atau menafsirkan simbol-simbol kebudayaan menjadi dasar untuk dialog interaktif agar dapat meminimalisasi memori kolektif masyarakat terhadap kekerasan dan konflik.

Bagaimana dialog–interaktif agar mengurangi memori kolektif mereka akibat kekerasan, dan konflik merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkan masyarakat dari pemikiran mereka yang terbelenggu akibat dikungkung oleh struktur sosial, politik, ekonomi, dan keamanan tersebut.

 

Inpres No 9/2020 dan UU No 2/2021

Kebijakan pemerintah, melalui Inpres No 9 Tahun 2020 tentang Percepatan Pembangunan Kesejahteraan Provinsi Papua dan Papua Barat, maupun UU No 2 Tahun 2021 perubahan terhadap UU No 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Papua, dengan program dan kegiatannya diharapkan menjadi sociental inklusif.

Artinya, kegiatan percepatan pembangunan yang menyasar orang asli Papua sebagai subjek dan objek agar dapat mengurangi perasaan dan kekhawatiran mereka pada marginalisasi atau keterpinggiran sehingga kebijakan keamanan pun harus menunjang program dan kegiatan percepatan pembangunan dengan meminimalisasi kekhawatiran dan ketakutan termarginalisasi tersebut dengan memberikan rasa aman, memperlakukan KST bukan sebagai ‘musuh’, tapi sebagai ‘mitra’ dialog interaktif. Hal ini seperti yang pernah dilakukan oleh mantan Presiden Gus Dur terhadap masyarakat Papua (Ahmad Suadey, 2018).

Usulan pendekatan alternatif ini dapat menjadi referensi kebijakan bagi Panglima TNI yang baru dalam rangka mendengar ‘suara’ masyarakat asli Papua agar mereka kembali ‘bersuara’ tanpa menggunakan pendekatan keamanan.

Bedil diganti dengan cangkul ikut mendukung program dan kegiatan percepatan pembangunan ‘kesejahteraan’ yang telah dicanangkan oleh Presiden Joko Widodo melalui Inpres No 9 Tahun 2020 dan UU No 2 Tahun 2021 tentang Otonomi Khusus Papua dengan paket Peraturan Pemerintah ( PP No 106 dan 107/2021).

Solusi permasalahan Papua tidak lagi melalui cara-cara kekerasan dan konflik. Namun, dengan merangkul KST bukan sebagai lawan yang harus diberangus, tapi jadikanlah mereka sebagai ‘mitra’ dialog interaktif, dan mitra kerja dalam semangat kebangsaan, dalam bingkai NKRI sehingga meminimalisasi terjadinya pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Selamat bertugas untuk Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan apresiasi saya buat Marsekal Hadi Tjahjanto untuk pengabdiannya selama menjadi Panglima TNI.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya