Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Mencari Greta Bermuatan Lokal

Ida Ngurah, Humanitarian & Resilience Program Manager Yayasan Plan International Indonesia
25/8/2021 19:00
Mencari Greta Bermuatan Lokal
Ida Ngurah,(Dok Plan International Indonesia)

DALAM gerakan perubahan iklim, nama orang muda, Greta Thunberg, akrab di telinga banyak orang, karena bantuan publikasi media di seluruh dunia. Protesnya penting, yaitu tentang marginalisasi suara anak muda dalam perubahan iklim. Gerakannya yang unik dan pilihannya untuk terlibat di dalam isu kompleks dan global di usia mudanya juga menjadi magnet kuat untuk media. 

Indonesia sebenarnya punya banyak Greta, walaupun dalam kapasitas lokal. Misalnya, Osin, orang muda perempuan dari Nusa Tenggara Timur atau Aulia dari Jakarta Barat. Greta, Osin, dan Aulia punya kesamaan. Mereka masih berusia muda ketika memahami bahwa sebetulnya, ada yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi bencana yang barangkali sudah menjadi paling dahsyat untuk peradaban manusia saat ini, yaitu perubahan iklim. 

Suhu yang kian meningkat, iklim yang berubah, bumi yang terus tergerus menjadi dasar bagi kita untuk selalu mewaspadai dan bergerak mengatasi perubahan iklim, termasuk dalam Hari Kemanusiaan Sedunia setiap 19 Agustus.

Jika gerakan Greta menjangkau dunia dan memengaruhi banyak anak muda untuk turun ke jalan, meminta perubahan dan mengatasi perubahan iklim global, upaya Osin dan Aulia bergaung juga di komunitasnya. Osin membuat alat desalinasi air laut sederhana untuk menyediakan air bagi hewan dan tanaman di lingkungannya. Tempatnya tinggal memang bercuaca panas, sulit air bersih dan dekat dengan laut. Akan tetapi, ia berhasil membuat kontribusi untuk lingkungannya, walaupun dimulai dari skala kecil. 

Cerita Aulia lain lagi. Ia berhasil mengajak teman-temannya membuat bank sampah di tempat tinggalnya yang padat di Jakarta Barat, agar warga bisa mengumpulkan dan belajar bersama cara memilah sampah. Nantinya, warga mendapatkan imbalan uang yang bisa digunakan untuk tambahan belanja rumah tangga. Aulia bisa disebut salah satu direksi di bank itu, sekaligus perekrut nasabah merangkap tim kampanye.    

Di ibukota negara yang menjadi jantung pengambilan keputusan maupun di tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari Jakarta, kaum muda memang selalu penuh energi. Kaum muda punya kreativitas untuk mencari jalan dan menyiasati kesulitan di lingkungan mereka. 

Orang muda, menurut UU No. 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan, adalah mereka yang berusia 16-30 tahun. Badan Pusat Statistik (BPS) menghitung bahwa pada 2020, jumlah orang muda (youth) di Indonesia sebanyak 64,19 juta jiwa atau 24,02% dari total penduduk. Dengan kata lain, ada satu orang muda di antara empat orang Indonesia. Maka, di 2030, ketika tercapai puncak demografi, kaum muda inilah yang akan menjadi pemimpin Indonesia. Di saat yang sama, tiba pula jatuhnya masa penilaian target global dalam pengendalian kenaikan suhu Bumi.
 
Hal ini menjadi berkaitan, karena Indonesia telah meratifikasi hasil COP20 di Paris melalui UU No.16 tahun 2016 tentang Ratifikasi Perjanjian Paris. Perjanjian ini menetapkan tujuan jangka panjang untuk menahan peningkatan suhu rata-rata global di bawah 2° C di atas tingkat pra-industri dan berupaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5° C di tahun 2030. 

Dalam hubungannya dengan tujuan pengendalian kenaikan suhu bumi ini, kelompok kaum muda memang telah dilibatkan. Mereka menjadi bagian dari suara komunitas global, misal di dalam acara perundingan perubahan iklim PBB atau UNFCCC/COP. Namun, keberadaan mereka masih minor, jika tidak ingin disebut masih sebagai pemanis semata. Padahal, bonus demografi dan target pengendalian kenaikan suhu permukaan Bumi bisa dijadikan alasan kenapa kaum muda penting untuk dilibatkan secara nyata, termasuk dalam proses pengambilan dan implementasi kebijakan terkait dengan perubahan iklim, dari tingkat lokal sampai global.  

Meski begitu, kita bukannya tidak dihadapkan pada tantangan. Pada 2019 lalu, terbit sebuah kesimpulan survei internasional dari YouGov dan Universitas Cambridge di Inggris yang cukup meresahkan untuk Indonesia. Dari survei tentang perubahan iklim terhadap warga negara di 23 negara tersebut, 18% orang Indonesia mengatakan bahwa perubahan iklim bukan disebabkan oleh aktivitas manusia. Angka ini cukup besar. Kemudian, fakta ini jadi semakin mengejutkan karena inilah persentase climate deniers terbanyak dari semua negara yang disurvei, termasuk Arab Saudi (16%) dan Amerika Serikat (13%). Kekhawatiran lain adalah hampir dapat dipastikan, sebagian responden itu merupakan kaum muda. 

Pada sisi lain, riset Plan Indonesia di 2021 menemukan bahwa peran, kontribusi, dan kolaborasi bersama anak-anak dan kaum muda disebutkan sangat terbatas di dalam lima dokumen negara tentang perubahan iklim. Dokumen tersebut antara lain Nationally Determined Contribution (NDC) pertama RI terbit 2016, strategi implementasi NDC terbit 2017, rencana strategis Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK terbit 2020, ringkasan rencana aksi nasional adaptasi perubahan iklim terbit 2019, dan kebijakan ketangguhan iklim 2020–2045 terbit 2021. 

Disebutkan di dalam dokumen tersebut, secara prinsip, Pemerintah Indonesia mendorong kontribusi kaum muda dalam upaya pengendalian perubahan iklim. Sayangnya, di dalam semua dokumen itu, belum diterjemahkan secara praktis bagaimana pelaksanaan pelibatan anak dan kaum muda yang bermakna dan sesuai kapasitasnya. 

Untuk menjadikan perubahan iklim sebagai urusan bersama dari semua pihak, termasuk anak dan kaum muda, perlu dukungan ruang dan waktu untuk mewujudkan peran aktif yang nyata. Aksi, peran dan kontribusi kaum muda perlu dibangun dari pemahaman tentang perubahan iklim itu sendiri, diperkuat dengan agenda pendidikan yang lebih sistematis dan terstruktur. 

Keterlibatan anak dan kaum muda dalam program perubahan iklim seharusnya dibangun atas tiga pilar, yakni pilar pendidikan, aksi, dan advokasi; termasuk promosi dan kampanye. Melalui pilar pendidikan, anak dan kaum muda diajak untuk meningkatkan pengetahuan mengenai konsep perubahan iklim, termasuk dampak, mitigasi, dan pola adaptasi yang dapat dilakukan. Anak-anak dan kaum muda kemudian mampu melakukan aksi nyata, seperti pembuatan alat sederhana. Misalnya, irigasi tetes dan penyulingan air laut menggunakan energi matahari yang dilakukan Osin di NTT. Bisa juga, mereka mengembangkan bank sampah berbasis komunitas dan alat peringatan dini banjir di DKI Jakarta seperti yang dikerjakan Aulia dan rekan-rekannya.

Aksi adaptasi sederhana Osin menjawab kesulitan air bersih di NTT dan kiat Aulia turut menjadi solusi untuk masalah sampah dan banjir di DKI Jakarta. Inilah alasan nyata bahwa anak-anak dan kaum muda dapat melakukan kampanye dan promosi perubahan iklim dengan empati. Mereka mendengarkan suara di setiap musyawarah desa/kelurahan, agar pembangunan yang direncanakan dan dilakukan menggunakan perspektif kelestarian lingkungan dan berbasis pemenuhan hak. Terutama, hak untuk dapat hidup layak, bermartabat, aman, dan setara—termasuk bagi anak dan kaum muda, khususnya perempuan dan penyandang disabilitas.

Kemudian, diperlukan pergerakan yang lebih masif agar aksi dan aspirasi kaum muda mendapat perhatian para orang dewasa dan berkuasa. Guru besar kebijakan publik dari Harvard University, Erica Chenoweth, mengatakan bahwa pergerakan dapat efektif memengaruhi kebijakan jika melibatkan paling tidak 3,5% total populasi. Jika total populasi Indonesia 270 juta jiwa, maka diperlukan hampir 9,5 juta jiwa yang bergerak, beraksi, dan melakukan adaptasi ataupun mitigasi, serta menyuarakan urgensi pengendalian perubahan iklim yang nyata dan cepat. 

Hingga saat ini, banyak orang muda bergerak mandiri atau tergabung dengan komunitas dan organisasi, sebagai respons atas perubahan iklim global. Misalnya, Teens Go Green Indonesia, 350.id, Climate Rangers, Aliansi Zero Waste Indonesia, Bye-bye Plastic Bags, Ranu Welum, dan lain-lain. Mereka beraksi dan bersuara dari desa sampai ke meja-meja perundingan iklim internasional, demi mendorong agar suara mereka, kaum muda yang nantinya akan menjadi pemimpin masa depan, didengarkan.  

Fenomena Greta Thunberg bermakna sebagai simbol the power of youth di dalam isu-isu krisis global, terutama dalam gerakan pengendalian dampak perubahan iklim. Namun, Greta ada di puncak gunung es gerakan kaum muda global. Kaum muda Indonesia harus membuat sebagian besar dari gunung es yang ada di bawah permukaan itu naik, terlihat, dan turut mengambil peran. Barangkali tak perlu segemerlap Greta, tetapi cukup selokal Osin dan Aulia untuk menyelesaikan masalah di sekitarnya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik