Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
BESOK umat Islam akan memperingati Tahun Baru Hijriah atau Tahun Baru Islam. Disebut tahun Hijriah karena diambil dari sejarah peristiwa hijrahnya Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya dari Mekah ke Madinah sekitar 15 abad lalu.
Selama kurun 13 tahun, dakwah beliau di Kota Mekah tidak mendapatkan sambutan yang menggembirakan, bahkan mengalami masa-masa yang sangat sulit. Karena itu, kemudian Nabi diperintahkan Allah SWT untuk meninggalkan kota kelahirannya, Mekah, dan hijrah ke Madinah yang kemudian dikenal dengan Madinah al-Munawwarah (kota yang disinari cahaya) keislaman.
Esensi Hijrah ialah adanya keinginan kuat Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya untuk berubah. Berubah dari masyarakat yang selalu ditindas, dizalimi, dan dianiaya menjadi masyarakat yang bebas dan merdeka menjalankan ajaran agama yang mereka yakini tanpa penindasan. Tanpa intimidasi, teror, dan beragam ancaman lainnya dari musyrikin Quraisy saat itu.
Dengan demikian, hijrah merupakan gerakan dan sikap politik dengan semangat perubahan dalam perjuangan. Hijrah menggerakkan dan memindahkan mereka dari lingkungan yang beku (jumud), menuju tangga kemajuan dan kejayaan.
Momentum perubahan
Muhamad Iqbal, penyair dan filsuf, dalam magnum opus-nya yang terkenal, Reconstruction of Religious Thought in Islam, mengatakan bahwa hidup ini seluruhnya berisi perubahan. Tesis Iqbal itu senada dengan apa yang diungkapkan Emha Ainun Nadjib, dengan redaksi bahasa yang agak berbeda. Ia mengatakan bahwa esensi kehidupan ialah hijrah (perpindahan). Dengan demikian, hijrah merupakan gerakan dan loncatan besar, yang mengobarkan semangat perubahan dalam masyarakat menuju tangga kemajuan dan kesempurnaan.
Karena dunia ini berisi perubahan, kehidupan dunia ialah kehidupan yang selalu bergerak dalam proses, 'proses menjadi'. Oleh karena itu, apa yang sudah ada di masa lalu sama sekali tidak berarti dan bisa musnah oleh sesuatu yang kita lakukan saat ini. Juga, apa yang kita lakukan saat ini juga tidak berarti apa-apa jika esok kita melakukan sesuatu yang bisa menghapuskan apa yang kita amalkan hari ini. Apa yang telah terjadi di masa lalu harus dijadikan pijakan untuk melangkah di masa yang akan datang.
Jadi, yang terpenting dan paling menentukan seseorang pada kehidupan yang akan datang ialah titik akhir kehidupan yang dalam istilah keagamaan disebut husnul khatimah (baik akhirnya), dan su’ul khatimah (buruk akhirnya). Karena semua orang tidak tahu batas akhir kehidupannya, pertanyaannya ialah dari mana perubahan itu mesti dimulai? Allah memberikan kebebasan kepada kita untuk melakukan perubahan, selama perubahan yang kita lakukan bisa dipertanggungjawabkan dan tidak keluar dari kaidah yang telah ditetapkan Allah SWT. Allah berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum kecuali mereka sendiri yang mengubahnya,” (QS Ar-Ra’d 13:11).
Membangun kesalehan
Tentu, kita semua menyadari bahwa bangsa kita saat ini sedang berada dalam keterpurukan akibat pandemi covid-19 yang meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan ekonomi kita. Pada saat yang sama, elite politik kita sibuk berpolemik menciptakan kegaduhan demi kegaduhan menambah runyam situasi dan kondisi, membuat kehidupan bangsa ini kian rapuh dan goyah.
Persatuan kita sebagai umat dan bangsa terkoyak karena perbedaan warna pilihan politik, perbedaan pendapat menciptakan jarak sosial di antara kita, hal yang hingga saat ini belum bisa diselesaikan dengan baik bahkan terkesan dipelihara pemimpin kita. Tentu kondisi ini menjadi keprihatinan kita bersama.
Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof Dr H Abdul Mu'ti berpandangan Tahun Baru Hijriah ialah momentum untuk melakukan muhasabah spiritual, sosial, dan politik. Muhasabah spiritual berarti usaha dan amalan pribadi dalam menilai kesalehan spiritual. Muhasabah sosial yang artinya kita mengevaluasi kehidupan sosial kita, bagaimana hubungan muamalah kita dengan sesama umat manusia dan masyarakat pada umumnya. Bagaimana rasa empati dan kepedulian kita terhadap masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, kesehatan, dan kesejahteraan.
Muhasabah politik ialah sebagai umat dan bangsa kita tentunya sadar bahwa banyak ketegangan di antara kita yang terjadi sejak pemilihan presiden. Masyarakat kita terbelah akibat perbedaan pilihan.
Hal itu berakibat pada retaknya hubungan antarmasyarakat baik di tingkat elite dan akar rumput. Karena itu, perlu adanya rekonsiliasi dan islah politik secara nasional. Tahun Baru Hijriah bisa menjadi momentum bagi kita semua untuk berjabat tangan, bergandeng tangan, kerukunan, perdamaian, persatuan umat dan bangsa, dalam upaya peningkatan soliditas serta solidaritas sosial, dengan komitmen saling berbagi dan saling tolong di tengah kondisi pandemi covid-19 ini.
Bagi elite politik dan para pemimpin, Tahun Baru Hijriah juga bisa menjadi momentum untuk melakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah dibuat. Kebijakan-kebijakan yang selama satu tahun terakhir ini dirasa kurang berpihak pada kepentingan rakyat secara umum. Sebut saja kebijakan pemerintah dalam penanganan covid-19, dari kebijakan PSBB setahun yang lalu hingga kebijakan PPKM saat ini, justru banyak dikeluhkan masyarakat karena menimbulkan banyak masalah sosial baru, kemiskinan baru, dan pengangguran baru.
Rakyat makin terimpit karena persoalan ekonomi yang makin sulit. Karena itu, wajib bagi pemerintah selaku pihak yang paling bertanggung jawab membuat kebijakan-kebijakan strategis dan berpihak kepada rakyatnya serta diperlukan langkah konkret yang bisa menekan problematik sosial tersebut dan pada saat yang sama, juga menjamin keselamatan rakyatnya dari ancaman pandemi covid-19 ini.
Mari kita jadikan Tahun Baru Hijriah, yang jatuh di tengah kita sedang berjuang menghadapi pandemi ini, sebagai momentum untuk bermuhasabah, untuk melakukan perbaikan spiritual, sosial, dan politik demi kejayaan umat dan bangsa kita tercinta. Semoga Allah SWT senantiasa melindungi kita semua, aamiin.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved