Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
PEMERINTAH boleh jadi telah kehabisan akal untuk mencegah penyebaran virus covid-19 agar tidak makin meluas. Meski telah dilakukan vaksinasi, PSBB, dan memberlakukan PPKM mikro hingga PPKM darurat, ternyata penyebaran covid-19 tak kunjung teratasi. Ekspansi covid-19 ternyata lebih cepat ketimbang kemampuan kita melakukan vaksinasi.
Dalam beberapa hari terakhir, kasus covid-19 melonjak hingga angka 30 ribu lebih. Per 11 Juli 2021 dilaporkan, paling tidak terdapat 36.197 kasus harian positif covid-19 sehingga total jumlah korban sudah mencapai 2.527.203 kasus. Covid-19 telah menyebabkan 66.464 nyawa menjadi korban keganasan virus ini.
Vaksinasi, yang ditargetkan bisa mencapai 181.554.465 orang, hingga 10 Juli 2021 lalu, tercatat baru 14.969.330 orang yang telah menerima vaksinasi kedua, dan sebanyak 36.193.076 menerima vaksinasi pertama. Alih-alih mencapai taraf terbentuknya herd immunity, di Indonesia yang terjadi ialah jumlah korban covid-19 masih tinggi.
Sementara itu, masyarakat sendiri ada indikasi makin sulit dikendalikan dan bahkan ada sebagian masyarakat yang enggan mematuhi protokol kesehatan dengan baik. Apa sebetulnya yang membuat sebagian masyarakat enggan mematuhi protokol kesehatan?
Resistansi masyarakat
Meski masih bersifat kasuistis, di sejumlah daerah kita tidak menutup mata adanya kasus penolakan sebagian masyarakat terhadap kebijakan PPKM darurat. Di DKI Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lain, seperti diberitakan di media massa dan media sosial, sebagian masyarakat melakukan penolakan dan perlawanan ketika hendak ditertibkan petugas.
Mereka tidak hanya berteriak-teriak memprotes penetapan kebijakan PPKM darurat, tetapi juga sebagian bahkan ada yang berani melemparkan batu ke aparat dan melaklukan aksi anarkistis lainnya. Intinya ada banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa masyarakat bersikap resistan.
Pertama, karena adanya perbedaan penerapan standar pemberlakuan kebijakan pembatasan dan bahkan sebagian dirasa masyarakat inkonsisten. Karena itu, hasilnya pun tidak berjalan efektif seperti yang diharapkan.
Di media sosial, tidak sekali-dua kali beredar video atau berita tentang pelanggaran protokol kesehatan yang dilakukan pejabat dan anggota satgas covid-19. Ada pejabat yang menggelar pesta pernikahan, ulang tahun, dan lain sebagainya dan ada pula anggota satgas covid-19 yang malah ikut nongkrong di kafe atau tempat-tempat tertentu yang semestinya tidak diperkenankan.
Kedua, berkaitan dengan model pendekatan yang dikembangkan aparat dalam penegakan protokol kesehatan, dan program PPKM darurat. Dalam banyak kasus, penerapan protokol kesehatan cenderung dilakukan dengan ancaman sanksi dan penerapan yang lebih banyak memperlakukan masyarakat sebagai terdakwa daripada sebagai korban situasi.
Bisa dibayangkan, apa yang berkecamuk di benak masyarakat ketika orang kecil yang melanggar protokol kesehatan didenda, sementara orang lain yang melanggar tidak diperlakukan sama. Seorang tukang bubur yang ketahuan membiarkan empat orang pembelinya makan di warungnya dilaporkan telah didenda hingga Rp5 juta. Sementara itu, di berbagai hotel dan tempat hiburan lain, terhadap pengunjung yang berjubel tidak diberlakukan sanksi yang sama. Masyarakat merasa pemberlakuan kebijakan PPKM darurat dalam beberapa kasus bersifat 'tebang pilih' maka jangan heran jika kemudian muncul resistansi.
Ketiga, berkaitan dengan desakan kebutuhan riil sehari-hari yang tidak bisa ditunda. Pemberlakuan kebijakan penyekatan dinilai tidak menyelesaikan dan bukan sebagai jalan keluar yang adil. Di Provinsi Jawa Timur, misalnya, masyarakat Madura sempat demo dan melemparkan batu kepada para petugas di lokasi penyekatan karena dinilai diskriminatif.
Masyarakat yang harus terjebak kemacetan hingga berjam-jam lama-kelamaan kehilangan kesabaran karena tidak puas menjadi korban stigma. Pada satu titik, ketika masyarakat dihadapkan pada tangisan anak dan keluarga karena tidak bisa terpenuhi kebutuhan makannya maka tidak ada pilihan lain kecuali melanggar protokol kesehatan yang dirasakan hanya membatasi ruang gerak mereka mencari nafkah.
Keempat, berkaitan dengan munculnya oknum dan orang-orang tertentu yang mencoba mengail di air keruh. Ketika banyak masyarakat membutuhkan oksigen dan obat untuk bekal melakukan isolasi mandiri, dalam kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Di berbagai daerah, sudah bukan rahasia lagi jika tabung oksigen kosong dan obat parasetamol pun menghilang dari pasaran. Para spekulan yang hanya mengejar keuntungan besar dalam tempo cepat biasanya tidak peduli pada penderitaan korban covid-19. Bagi mereka yang terpenting ialah bagaimana mendapatkan keuntungan dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Masyarakat yang sehari-hari hidup dalam penderitaan dan tekanan kebutuhan hidup yang kronis umumnya menjadi korban pertama akibat ulah spekulan yang tak memiliki hati itu. Masyarakat yang merasa menjadi korban dari proses komersialisasi bencana covid-19 ini akhirnya lebih memilih jalan pintas, yakni bagaimana tetap bisa mencari nafkah sembari menghindari kemungkinan menjadi korban penyebaran virus covid-19.
Titik kritis
Apakah pemberlakuan kebijakan PPKM darurat akan berhasil efektif menurunkan laju penyebaran virus covid-19, tentu, masih harus menunggu waktu. Saat ini, bahkan ada indikasi kebijakan pemberlakuan PPKM darurat ini akan terus diperpanjang jika memang penurunan kasus covid-19 belum signifikan.
Berharap masyarakat dan para pelaku usaha 100% mendukung penerapan kebijakan PPKM darurat harus diakui agak sulit dilakukan. Berbeda dengan kondisi setahun lalu, ketika pada awal pandemi covid-19 terjadi, masyarakat masih memiliki penyangga situasi krisis, saat ini tabungan yang dimiliki masyarakat umumnya sudah terkuras habis selama masa pandemi covid-19 yang sudah berjalan sekitar 1,5 tahun.
Dengan tidak dimilikinya daya dukung ekonomi yang cukup, tentu wajar jika masyarakat tidak mungkin mau tetap berdiam diri di rumah tanpa sumber pemasukan yang cukup. Resistansi masyarakat yang timbul di berbagai daerah terjadi bukan karena subkultur mereka yang memang susah diatur atau karena secara kultural kaku.
Berbagai bentuk perlawanan dan reaksi penolakan sebagian masyarakat terhadap kebijakan PPKM darurat perlu dipahami sebagai sinyal bahwa batas demarkasi atau ambang batas mereka untuk dapat bertahan hidup benar-benar pada titik kritis.
Untuk memastikan agar masyarakat tidak benar-benar kolaps dan mau mematuhi protokol kesehatan, kuncinya tak pelak ialah empati dan dukungan yang nyata terhadap kelangsungan hidup masyarakat. Bantuan sosial yang disalurkan seyogianya tidak bersifat ala kadarnya dan hanya menyasar sekelompok kecil orang.
Korban pandemi covid-19 selama ini telah menembus dan melewati batas kelas sosial masyarakat. Artinya, masyarakat yang menjadi korban tidak hanya kelas masyarakat miskin, tetapi juga kelas menengah yang kehilangan pekerjaan dan usaha. Mereka semua niscaya membutuhkan uluran tangan pemerintah. Jangan sampai terjadi, akibat kurangnya dana yang dimiliki pemerintah, justru masyarakat yang diminta untuk menahan diri dan ikut berpartisipasi mematuhi protokol kesehatan dengan mengabaikan kondisi ekonomi keluarga mereka yang sudah di titik nadir.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved