Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Bakti Sukma untuk Indonesia

Mahyudin Direktur Riset dan Publikasi
12/7/2021 05:00
Bakti Sukma untuk Indonesia
Mahyudin Direktur Riset dan Publikasi(Dok. Pribadi)

TIDAK terasa Sekolah Sukma Bangsa sudah memasuki usia ke-15 pada 14 Juli 2021 nanti. Usia yang—jika dianalogikan dengan usia manusia—sedang memasuki masa remaja; mengeksplorasi kenakalan secara kreatif dan inovatif, serta mencoba hal-hal baru yang belum pernah dialami dan dirasakan.

Ciri kenakalan Sekolah Sukma yang kreatif tidak hanya dirasakan pengelola Yayasan Sukma, tetapi juga oleh mitra sekolah seperti Dinas Pendidikan dan orangtua siswa, yang ketika awal kelahiran Sekolah Sukma dulu pernah meragukan eksistensi dan keberlanjutan sekolah. Ada banyak cerita tentang ini, mulai 'perlawanan' sekolah untuk berkomitmen menyelenggarakan ujian nasional (UN) jujur yang berujung pemecatan siswa curang hingga tradisi pengelolaan bantuan operasional sekolah yang berbeda dari sekolah lainnya.

Capai-capaian kreatif tersebut bukan tanpa perencanaan. Saat 16 tahun silam Yayasan Sukma memercayakan Indonesian Institute for Society Empowerment (Insep) untuk membuat blueprint sekolah, pertumbuhan sekolah seperti sedang direncanakan kebernakalannya. Di tengah situasi konflik yang belum reda serta hancurnya kondisi psikologis masyarakat karena hantaman gempa dan tsunami, Sekolah Sukma Bangsa berani menawarkan konsep the fifth discipline dari Peter Senge (2001) sebagai salah satu solusi bagi masa depan Sekolah Sukma Bangsa.

Kelima disiplin organisasi tersebut ialah (1) keyakinan untuk tumbuh dalam penguasaan diri (personal mastery) yang berkelanjutan; (2) berani menekan ego pribadi untuk mengembangkan dan mencapai masa depan yang mereka ciptakan bersama (shared vision); (3) bersama-sama mengembangkan sikap berani berbicara secara produktif dan sopan—pembentukan mental (mental models)—tentang hal-hal yang sensitif yang tidak berani dibicarakan oleh banyak orang secara luas tapi penting; (4) berani belajar secara kelompok (team learning) untuk mentransformasikan pikiran kolektif menjadi gagasan yang lebih besar; dan (5) berani untuk saling bergantung satu sama lain dengan pemahaman bahwa setiap individu dalam posisi apa pun ialah penting dan memiliki peran (system thinking).

Konsep di atas kemudian diturunkan menjadi visi sekolah Sukma Bangsa, yaitu 'menciptakan lingkungan pendidikan yang positif bagi putra-putri Indonesia di Nanggroe Aceh Darussalam untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang memiliki kemampuan akademis, terampil, dan berakhlak mulia'.

Kalimat kunci 'menciptakan lingkungan pendidikan yang positif' ditekankan bukan tanpa alasan. Ada tiga alasan, yaitu pertama kondisi Aceh yang mengalami konflik bersenjata cukup panjang membuat suasana sosial, khususnya bagi anak-anak sekolah, sangat mencekam yang diliputi rasa takut dan tidak aman sehingga tidak dapat memberikan lingkungan bermain, apalagi belajar yang kondusif, bagi anak-anak di Aceh saat itu.

Alasan kedua ialah kondisi pascabencana gempa dan tsunami yang meluluhlantakkan bumi Aceh. Tidak hanya luluh lantak secara geografis, tapi juga secara sosial. Banyak orang kehilangan anggota keluarga. Belum lagi harta benda yang tak terhitung jumlahnya. Alasan ketiga ialah pengalaman Insep berinteraksi dengan guru-guru di Aceh saat mengelola sekolah tenda pascabencana.

Dalam sebuah pelatihan untuk guru-guru yang diselenggarakan Insep, ada pernyataan yang cukup mengejutkan saat seorang guru yang 'menolak mengajar tanpa kekerasan'. Alasan yang dikemukakan ialah tidak mungkin mengajar tanpa mendisiplinkan anak-anak dan mendisiplinkan anak-anak tidak mungkin tanpa penggunaan kekerasan. Setelah ditelusuri lebih jauh, ternyata guru tersebut terbiasa mengajar sambil memegang penggaris, yang ia gunakan untuk memukul siswa yang tidak patuh dalam proses belajar-mengajar.

Tiga alasan itulah yang menjadi dasar kalimat visi sekolah untuk 'menciptakan lingkungan pendidikan yang positif', yang berarti mengupayakan secara aktif lingkungan untuk bermain dan belajar tanpa kekerasan baik verbal maupun fisik bagi anak-anak.

 

Sukma dekade pertama

Tugas berat guru pada tahun pertama ialah bagaimana menubuhkan konsep dan visi di atas dalam praktik belajar-mengajar dan pengelolaan sekolah menjadi budaya sekolah. Secara sederhana konsep dan visi di atas diterjemahkan ke dalam budaya sekolah, yaitu 3 No, yaitu no cheating, no bullying, dan no smooking. Serta budaya 5S, yaitu beri senyum kepada siapa pun yang dijumpai, kemudian beri salam, dan sapa serta tanya apa keperluannya secara sopan dan santun.

Budaya sekolah ini tampak sederhana dan biasa saja. Namun, dampaknya bagi anak-anak luar biasa. Budaya no cheating, misalnya, diterapkan dalam proses belajar-mengajar dengan tidak menyontek dalam ujian. Bahkan dalam UN 2009, saat pertama kali Sekolah Sukma Bangsa mengikuti UN untuk SMA, praktik ujian jujur tanpa menyontek dipraktikkan dengan ketat.

Yang mengejutkan sekaligus membanggakan ialah ketika ada anak-anak kita menolak pemberian jawaban dari guru pengawas yang merasa kasihan melihat lembar jawaban mereka yang masih kosong. Dengan gagah berani dan penuh percaya diri, siswa menolak dengan mengatakan, “Maaf, kami diajarkan untuk tidak menyontek dalam ujian.”

Apa hasilnya? Anak yang menolak kunci jawaban tidak lulus UN. Tingkat kelulusan anak-anak Sekolah Sukma Bangsa 2009 hanya 30% dari jumlah total 120 siswa yang tersebar di SSB Pidie, Bireuen dan Lhokseumawe. Pihak Yayasan Sukma kemudian memberikan dua opsi bagi anak-anak yang tidak lulus UN. Pertama, mereka boleh mengulang kelas 12 dan kedua, mereka boleh mengikuti ujian paket C. Sebagian besar dari mereka memilih ujian paket C karena sebanyak 76% siswa dari 120 siswa pada 2009 diterima di perguruan tinggi negeri, bahkan mendapatkan beasiswa.

Penerapan budaya sekolah berbasis konsep dan visi di atas juga berpengaruh pada perkembangan guru. A school that learns dimaknai tidak sebatas jargon belaka, tapi menjadi semangat para guru untuk terus belajar meningkatkan kapasitas dan kemampuan diri secara mandiri, yaitu melalui kebiasaan menuliskan refleksi setelah mengajar. Guru-guru Sukma Bangsa sudah terbiasa menuliskan refleksi proses belajar-mengajar mereka untuk didiskusikan dengan baik teman sejawat sesama guru maupun pimpinan mereka, kepala sekolah. Kebiasaan itu menjadikan guru-guru Sukma Bangsa terbiasa menulis dan menjadi kontributor penulis artikel pendidikan di Media Indonesia dan media lokal lainnya.

Puncaknya ialah penulisan empat buku yang berisi best-practice dari Sekolah Sukma pada 2015, yaitu Manajemen Sekolah Efektif: Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa, Pengembangan Kapasitas Guru: dari Sekolah Sukma Bangsa untuk Indonesia, Manajemen Konflik Berbasis Sekolah: dari Sekolah Sukma Bangsa untuk Indonesia, dan Sistem Informasi Sekolah: Pengalaman Sekolah Sukma Bangsa. Selain itu, Yayasan sudah menerbitkan Sukma: Jurnal Pendidikan. Saat ini lebih dari 10 judul buku yang ditulis guru-guru dan siswa Sukma Bangsa. Animo menulis yang tumbuh dengan baik ini harus dijaga dikembangkan.

 

Sukma dekade kedua

Pada 2016, Yayasan Sukma dengan sadar merevisi blueprint. Revisi yang dilakukan cukup radikal. Beberapa aktivitas dan kegiatan, yang selama menjadi tanggung jawab Direktur Pendidikan dan timnya, dalam blueprint baru itu dikembangkan menjadi empat direktorat, yaitu Direktorat Pendidikan, Direktorat Riset dan Publikasi, Direktorat Kerja Sama Antarlembaga, dan Direktorat Advokasi Pemberdayaan Masyarakat. Pengembangan empat direktorat itu merupakan upaya pelembagaan aktivitas dan kegiatan yang selama dilakukan agar lebih sistematis, lebih serius, lebih fokus, dan lebih matang.

Direktorat Pendidikan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan dan pengembangan Sekolah Sukma Bangsa dengan manajemen berbasis sekolah; mengembangkan penilaian dan kurikulum; merekrut pendidik dan tenaga kependidikan; jaminan mutu pendidikan; serta mengembangkan pusat data sekolah, data siswa, guru dan sebagainya.

Direktorat Riset dan Publikasi bertanggung jawab pada riset dan kajian proses belajar-mengajar dalam konteks sosial budaya; riset atau kajian tata kelola pendidikan nasional; menulis dan menerbitkan rubrik pendidikan Media Indonesia secara berkala; menulis dan menerbitkan jurnal pendidikan; mengembangkan modul pelatihan riset dan penulisan.

Selanjutnya ialah Direktorat Kerja Sama Antarlembaga. Tugas pokoknya ialah mengembangkan program Sekolah Sukma Bangsa-Cambridge International School; merawat dan menjalin hubungan dengan dengan Sekolah Sahabat Sukma; mengembangkan kapasitas organisasi melalui kegiatan kerja sama dengan pemerintah atau lembaga nonpemerintah, korporasi, dan perguruan tinggi.

Yang terakhir ialah Direktorat Advokasi dan Pemberdayaan Masyarakat. Tugas pokoknya ialah mengembangkan desain kelembagaan manajemen konflik berbasis sekolah (MKBS); menyelenggarakan kegiatan advokasi pendidikan damai; menyelenggarakan layanan konseling dan kegiatan antikekerasan dalam dunia pendidikan; menyelenggarakan pelatihan manajemen konflik berbasis sekolah; menyelengarakan kegiatan community-based learning (CBL).

Pengembangan ini tentu saja diharapkan dapat menjadi sumbangsih Sekolah Sukma Bangsa terhadap kemajuan pendidikan di Indonesia, sekaligus menjadi kado termanis bagi Sekolah Sukma Bangsa yang akan berulang tahun ke-15 pada 14 Juli 2021 nanti. Selamat ulang tahun Sekolah Sukma Bangsa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik