Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Bencana, Teologi Kemaslahatan, dan Kemanusiaan

Har Yansen Teolog Kontekstual STFK Ledalero-Maumere
22/1/2021 00:50
Bencana, Teologi Kemaslahatan, dan Kemanusiaan
Teolog Kontekstual STFK Ledalero-Maumere, Har Yansen(Dok Pribadi)

SEPERTI 'Editorial' Media Indonesia (11/1), Indonesia menghadapi duka kemanusiaan. Sejumlah kabar duka dan bencana alam terjadi di awal 2021. Mulai jatuhnya pesawat Sriwijaya Air, tanah longsor di Sumedang, gempa di Sulawesi Barat, hingga banjir di Kalimantan Selatan. Berbagai bencana tersebut terjadi saat bangsa kita tengah bergulat dengan pandemi covid-19 dengan kasus melesat tajam. Banyak saudara sebangsa kehilangan nyawa. Kematian karena pandemi covid-19 belum usai, kemudian datang kabar duka dari berbagai bencana alam.

 

Tuhan dan bencana

Semua menjadi tak menentu dan serbatak pasti. Di tengah situasi ini, banyak orang putus asa dan kehilangan harapan. Kepasrahan seolah menjadi sebuah jalan terakhir. Sebagai bangsa religius, banyak orang mengaitkan bencana ini dengan Tuhan. Banyak orang mempertanyakan eksistensi Tuhan sebagai Maha Pencipta dan Mahakuasa. Tuhan menjadi sandaran terakhir ketika akal sehat manusia tidak mampu menepis semua pertanyaan di balik rentetan bencana tersebut.

Yang menjadi pertanyaan, benarkah Tuhan yang Mahabaik merancang bencana bagi manusia? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya sudah muncul sejak zaman Yunani kuno. Epikuros merumuskan kegelisahan ini pada 300 SM. Kalau Tuhan itu ada, dari manakah datangnya bencana? Kalau Ia sungguh-sungguh ada, Mahakuasa, Mahabaik, dan Mahatahu, mengapa Ia tidak campur tangan untuk mencegah berbagai pengalaman hidup yang buruk dan mengerikan itu? (Kleden, 2007). Rumusan persoalan oleh Epikuros ini menyingkapkan aspek filosofis dan teologis dan persoalan kehendak dan kekuasaan Allah.

Pertanyaan-pertanyaan ini ada di ranah teologis dan filosofis yang membahas 'gambaran' yang dimiliki manusia tentang dirinya, dunia, dan Tuhan. Ketika manusia sudah tidak bisa menemukan jawaban lagi atas berbagai kenyataan pahit yang dihadapinya, gugatan terakhir akan tertuju kepada Tuhan. Upaya merefleksikan dan menghadirkan Tuhan di tengah bencana seperti inilah dikenal dengan sebutan teologi. Teologi ditantang untuk menyumbangkan refleksi yang berguna bagi keberadaan umat manusia di saat mereka mengalami krisis dan bencana.

 

Teologi kemaslahatan

Sejatinya, teologi agama-agama niscaya memiliki tujuan bagi kemaslahatan manusia. Teologi agama-agama akan menjadi bisu ketika tidak mampu menyapa kemanusiaan. Dalil kemaslahatan berarti adanya persentuhan antara agama (teologi) dengan persoalan kemanusiaan. Ini menjadi imperatif etis bagi teologi (Asmawi, 2014).

Teologi tidak hanya bicara tentang dunia akhirat (eskatologis), tetapi juga membincangkan apa yang terjadi saat ini. Persoalan konkret di dunia harus menjadi peluang bagi teologi untuk terus menerus mengontekstualisasikan dirinya agar semakin mampu mencegah penyekapan Tuhan dalam ritualisme yang kelihatan rapi, riuh, dan meriah, tetapi tanpa nurani kemanusiaan. Teologi mesti menjaga harapan kemanusiaan di tengah derita dan bencana (Metz, 1999).

Tugas pertama teologi di tengah krisis saat ini ialah membantu manusia memahami kehadiran Tuhan yang menguatkan di tengah bencana. Dalam konteks hidup berbangsa, bencana menyadarkan kita akan 'kerapuhan' dan 'keterbatasan'. Kesadaran akan situasi ini mesti mendorong kita untuk menyapa sesama dan alam dalam semangat persahabatan. Kerapuhan dan keterbatasan juga mesti mendorong kita untuk 'menisbikan' egoisme dalam diri dan masyarakat. Kita menganggap ini sebagai dasar bagi kemaslahatan bersama.

Selain itu, di tengah bencana, agama-agama dan teologi mereka mesti menjadi spirit dan inspirasi bagi lahirnya gerakan-gerakan kesukarelaan (voluntaristik) bagi kemanusiaan. Aksi-aksi kemanusiaan, merupakan bagian hakiki dari ekspresi iman. Dengan itu, beriman bukan hanya berhenti pada persoalan membangun relasi pribadi dengan Tuhan dalam tindakan ritual. Lebih dalam, beriman harus selalu berkaitan dengan kehidupan sosial terutama dalam memahami berbagai krisis dan bencana.

 

Roh kemanusiaan

Di tengah kedukaan dan bencana, roh kemanusiaan kita tidak boleh pudar. Kita mesti tetap menjaga 'asa' dengan menunjukkan empati kepada para korban. Sebagai satu bangsa, kita perlu memperkuat kesadaran kolektif - sebuah perasaan yang 'mewajibkan' diri bertanggung jawab bagi keselamatan bersama.

Kesadaran kolektif ini, hendaknya memberikan 'imperatif etis' kepada setiap elemen bangsa untuk menyapa sesama. Yang hakiki, sapaan kemanusiaan harus tersampaikan melampaui perbedaan agama, ras, suku, budaya, status sosial, dan bangsa.

Kita mesti sampai pada titik kesadaran, bahwa, praksis keindonesiaan kita akan diuji dalam situasi sulit ini. Kemaslahatan akan menjadi nilai baru dalam kesadaran kita ketika bangsa kita yang terkenal 'religius' dapat memperkukuh solidaritas sosial dan kemanusiaan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik