Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Memvaksin APBN

Haryo Kuncoro Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs UGM Yogyakarta
15/1/2021 05:00
Memvaksin APBN
(Haryo Kuncoro Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Jakarta Direktur Riset SEEBI (the Socio-Economic & Educational Business Institute) Jakarta Doktor Ilmu Ekonomi Alumnus PPs UGM Yogyakarta)

ANGGARAN pendapatan dan belanja negara (APBN) 2020 sudah tutup buku. Ada cerita gembira, ada pula episode sedih. Namun, stimulus fiskal dan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional dari paparan pagebluk covid-19 tetap menjadi lakon utama yang membentuk mosaik kebijakan fiskal sepanjang tahun lalu.

Kini, APBN 2021 mulai menuliskan kembali lembar demi lembar dalam sebuah novel besar dengan judul yang – kurang/lebih – masih sama. Menjaga ketersambungan alur cerita niscaya menjadi bagian paling sulit, agar pembaca bisa menikmati utuh pesan akhir yang hendak disampaikan si penulis cerita.

Berkaca dari cerita sebelumnya, defisit menembus Rp956,2 triliun (6,09% dari produk domestik bruto/PDB). Untuk menambalnya, pemerintah merealisasi pembiayaan utang Rp1.226,8 triliun atau 5% melebihi rencana awal. Alhasil, rasio utang beranjak ke level 38% pada akhir 2020.

Dominasi pembiayaan defisit APBN 2020 dari penerbitan surat berharga negara memberi tekanan pada pembayaran bunga utang. Beban fiskal pembayaran bunga utang akan terasa selama 10 tahun mendatang. Sementara itu, belanja pemerintah pusat sebagaian besar merupakan belanja wajib.

Sempitnya ruang gerak fiskal, membersitkan kekhawatiran atas keberlanjutan fiskal yang menuntut penyesuaian yang signifikan dalam jangka menengah. Alhasil, konsolidasi menjadi subjudul APBN 2021. Konsolidasi fiskal ditandai dengan penurunan bertahap defisit APBN untuk kembali di bawah 3% pada 2023.

Dalam perspektif teoretis, konsolidasi fiskal yang ditempuh melalui peningkatan penerimaan pajak dan/atau pemotongan belanja bisa kontraproduktif. Mengikuti aliran Keynesian, pemerintah dalam masa resesi semestinya mengambil opsi kebijakan fiskal aktif guna merangsang permintaan agregat.

Sebaliknya, mengikuti mazhab Neoklasik, pengendalian defisit lewat pengereman belanja pemerintah tetap berdampak positif. Pengurangan belanja pemerintah mengarah pada intensitas utang yang kemudian meredakan tekanan pada suku bunga. Akibat selanjutnya, konsumsi dan investasi sektor privat bisa tumbuh.

Ataukah pelaku ekonomi sudah mengantisipasi peningkatan utang pemerintah 2020 akan diikuti dengan kenaikan pajak. Mereka sudah merespons fenomena itu dengan menunda konsumsi dan menimbun tabungan untuk jaga-jaga. Oleh karena itu, dampak neto dari konsolidasi fiskal mungkin netral seperti tesis Ricardian.

Menghindarkan diri dari paradigma Ketnesian dan Ricardian di atas, APBN tampaknya perlu divaksinasi, agar konsolidasi fiskal bisa memiliki daya tahan.

Konsolidasi fiskal harus didesain agar APBN memiliki karakter kontrasiklikal terhadap konjungtur ekonomi sekaligus menyehatkan diri sendiri. Pertama, Indonesia perlu segera memiliki instrumen stabilisasi automatis yang bekerja mandiri tanpa perubahan regulasi.

Oleh karenanya, instrumen stabilisasi otomatis akan mudah diantisipasi sehingga benar-benar berefek stabilisasi daripada lewat perubahan regulasi yang berisiko destabilisasi.

Pajak penghasilan yang progresif bisa menjalankan fungsi stabilisasi otomatis. Sayangnya, pajak penghasilan badan tidak lagi progresif sejak tahun lalu, lantaran ditetapkan tarif tunggal 22%. Dengan tarif berjenjang, pengusaha yang terpapar dampak covid-19 bisa mendapat keringanan pembayaran pajaknya.

Pajak penghasilan pribadi, sejatinya sudah progresif, tetapi kontribusinya terhadap penerimaan pajak sangat rendah. Sempitnya basis pajak dan status informal menjadi kendala utama. Praktik terbaik secara internasional merekomendasikan penerimaan pajak penghasilan orang pribadi lebih unggul daripada pajak penghasilan badan.

Kedua, Indonesia dari sisi belanja juga belum memiliki stabilisator otomatis, seperti yang biasanya terjadi di negara berkembang. Lagi-lagi, ruang fiskal yang tidak memadai, populasi yang besar, dan porsi belanja publik yang tinggi membutuhkan lebih banyak waktu untuk menerapkan belanja stabilisator otomatis.

Mengharapkan belanja stabilisator otomatis dari pemerintah daerah juga masih sulit. Penerimaan pemerintah daerah masih sangat bergantung pada transfer fiskal dari pemerintah pusat, yang mencakup sekitar dua pertiga dari APBD. Pendapatan asli daerah secara agregat saat ini hanya 2,4% dari PDB.

Oleh karena itu, pemerintah pusat dan pemerintah daerah ke depan perlu merealokasi anggaran belanjanya. Tunjangan pengangguran atau perlindungan sosial atau apa pun namanya, semestinya terakomodasi dalam anggaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah sebagai komponen dari belanja publik.

Dengan konfigurasi problematik di atas, penguatan ruang gerak fiskal melalui peningkatan penerimaan pajak sangat penting untuk menciptakan prakondisi yang kondusif bagi kesinambungan fiskal. Indonesia seperti negara berpenghasilan rendah lainnya, memiliki rasio penerimaan pajak terhadap PDB yang rendah.

Rasio pajak terhadap PDB rata-rata di negara berpenghasilan rendah ialah 15% jika dibandingkan dengan 30% di negara maju (Peralta-Alva et al., 2018). Oleh karena itu, reformasi sistem perpajakan akan meningkatkan kesehatan fiskal, tanpa terlalu banyak mengorbankan pertumbuhan ekonomi.

Menggenjot penerimaan pajak tidak melulu soal tarif. Memperluas basis pajak dengan memerangi penghindaran dan penggelapan pajak memainkan peran penting dalam konsolidasi fiskal. Reformasi struktural perpajakan lewat penagihan yang efisien dan introduksi pajak tak distortif juga mengurangi beban kerugian ekonomi (dead-weight loss).

Dengan cara ini, pendapatan negara bisa meningkat secara signifikan sehingga dapat mengurangi defisit dan rasio utang. Singkatnya, 'pajak lebih bijak’ dan ‘belanja lebih baik' menjadi kata kunci. Alhasil, pascapandemi covid-19 agaknya menjadi waktu yang tepat untuk menginisiasi konsolidasi fiskal.

Namun, konsolidasi fiskal tanpa suntikan vaksin stabilisasi otomatis menyebabkan program stabilisasi di Indonesia hanya mengandalkan langkah diskresi yang tidak sistematis. Pada akhirnya, lembaran APBN 2021 dan tahun-tahun selanjutnya hanya akan dihiasi pengulangan cerita basi.

Padahal, Dolls et al. (2012) sudah sejak lama memperingatkan bahwa suatu negara yang lemah dalam instrumen stabilisasi otomatis akan senantiasa memberlakukan program stimulus yang besar lagi mahal. Lalu, bagaimana sambungan cerita APBN akan berkembang? Kita simak bersama kelanjutannya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik