Headline
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
PRESIDEN Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menetapkan tarif impor baru untuk Indonesia
MALAM itu, sekitar pukul 18.00 WIB, langit sudah pekat menyelimuti Dusun Bambangan
PANDEMI covid-19, yang belum diketahui kapan akan berakhir, menimbulkan dampak cukup parah. Tidak hanya pada aspek kesehatan dan ekonomi, tetapi juga pendidikan. Putus sekolah, misalnya. Hasil monitoring Unicef (2020) menyebutkan dampak pandemi mengakibatkan 1% atau sekitar 938 anak putus sekolah di Tanah Air (Media Indonesia, 24/12).
Hal ini berpotensi menambah angka putus sekolah yang sebelumnya masih tergolong tinggi. Hasil Susenas Maret 2019, misalnya, menunjukkan putus sekolah dialami oleh sebanyak 4,34 juta atau sekitar 4,34% anak usia 7-18 tahun. Maka dari itu, pemerintah perlu bergerak cepat agar angka putus sekolah tidak semakin meningkat. Hal itu mengingat kian tingginya angka putus sekolah secara agregat berpotensi menurunkan kualitas hidup dan produktivitas bangsa di masa depan. Sebab, derajat pendidikan yang semakin tinggi di masa depan amat dibutuhkan, terutama untuk menghadapi kemajuan teknologi dalam berusaha dan bekerja.
Bahkan, kegagalan dalam mencegah angka putus sekolah pada jenjang pendidikan sekolah dasar atau sederajat akan menyebabkan masalah yang lebih serius. Hal itu karena putus sekolah pada jenjang pendidikan rendah berpotensi menyebabkan buta huruf baru, atau yang semula bisa baca tulis akan kembali menjadi buta huruf, terutama pada kelompok perempuan. Publikasi PBB pada 2000, misalnya, melaporkan bahwa sekitar 20% perempuan yang putus sekolah dan tamat sekolah dasar tidak dapat membaca dan menulis.
Alasan putus sekolah
Cukup banyak alasan yang menyebabkan terjadinya putus sekolah. Sebelum pandemi mewabah, selain faktor ekonomi, alasan terbanyak lainnya menurut hasil Susenas Maret 2017 ialah bekerja, menikah, dan merasa pendidikan sudah cukup. Tercatat, angka putus sekolah usia 7-17 tahun untuk alasan ekonomi sebesar 31,99%, bekerja 16,52%, menikah 5,59%, dan merasa pendidikan cukup 4,69%.
Ditengarai, di masa pandemi alasan utama putus sekolah kian mengerucut pada masalah ekonomi. Hal itu terjadi karena dampak pandemi menyebabkan daya beli masyarakat kian melemah. Akibatnya porsi pengeluaran rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan pangan semakin besar, yang membuat porsi pengeluaran untuk pendidikan dan kebutuhan lainnya berkurang.
Bahkan pada rumah tangga miskin kelompok bawah, jangankan memenuhi kebutuhan pendidikan, untuk memenuhi kebutuhan pangan pun tidak mencukupi. Maka, putus sekolah kerap terjadi karena orangtua terpaksa menyuruh anaknya bekerja untuk membantu kebutuhan keluarga. Hadirnya pekerja anak akibat putus sekolah pada gilirannya kian menambah persoalan ketenagakerjaan di Tanah Air sebab hal itu tidak bersesuaian dengan UU Nomor 23 Tahun 2003 yang tertuang dalam Pasal 68 sampai dengan Pasal 75 tentang penghapusan pekerja anak.
Putus sekolah karena alasan bekerja umumnya banyak dialami anak laki-laki ketimbang perempuan. Namun, impitan ekonomi juga kerap menyebabkan anak perempuan putus sekolah meningkat, antara lain karena melangsungkan perkawinan. Hal ini umumnya terjadi untuk mengurangi beban ekonomi keluarga.
Distorsi pembangunan manusia
Meningkatnya angka putus sekolah pada gilirannya akan menghambat pencapaian rata-rata lama sekolah (mean years of schooling/MYS) dan harapan lama sekolah (expected years of schooling/EYS). MYS dan EYS merupakan dua indikator dari pendidikan. Adapun pendidikan bersama dengan daya beli dan kesehatan merupakan aspek yang mendasari pembangunan manusia.
Dikhawatirkan, dengan turunnya pencapaian pendidikan, hal itu akan mendistorsi pencapaian pembangunan manusia. Padahal, pada 2019 Indonesia telah mencapai pembangunan manusia dengan kategori tinggi (high human development). Terdistorsinya pencapaian pembangunan manusia pada tahap lanjut tidak hanya akan menurunkan kualitas hidup bangsa, tetapi juga berpengaruh buruk terhadap kinerja ekonomi. Sebab turunnya pencapaian pembangunan manusia juga mencerminkan melemahnya kapabilitas penduduk sehingga mengakibatkan partisipasi penduduk dalam kegiatan ekonomi tidak optimal. Adapun aspek yang melatarbelakangi kapabilitas penduduk itu ialah pendidikan dan kesehatan.
Pengalaman lambatnya pemulihan ekonomi pada krisis 1997/1998 akibat lemahnya kapabilitas penduduk sepatutnya dapat menjadi pembelajaran agar tidak berulang di masa pandemi. Secara faktual, hal itu sekaligus menjadi petunjuk bahwa program pemulihan ekonomi yang kini tengah dijalankan pemerintah tidak akan berhasil maksimal jika tidak disertai pencegahan penurunan kapabilitas penduduk.
Pada krisis 1997/1998, pendidikan sebagai salah satu aspek kapabilitas penduduk terdistorsi, antara lain akibat meningkatnya angka putus sekolah. Menurut perkiraan Bank Pembangunan Asia (1999), dampak krisis pada kuartil penduduk terendah merupakan yang terparah dengan angka putus sekolah (drop out) meningkat dari 14,2% pada 1997 menjadi 25,2% pada 1998.
Turunnya kinerja pendidikan pada masa krisis lalu turut berkontribusi terhadap penurunan indeks pembangunan manusia (IPM) dari 67,7 sebelum krisis (1996) menjadi 64,3 sesudah krisis (1999). IPM Indonesia baru pulih pada 2004 dengan nilai indeks 68,7. Maka dari itu, pemerintah perlu begerak cepat untuk mencegah agar putus sekolah tidak terjadi di masa pandemi, terutama pada level SD/sederajat dan SMP sederajat. Anak-anak pada level pendidikan itu (SD dan SMP) seharusnya tetap bersekolah. Hal ini sejalan dengan ketetapan UU No 20 Tahun 2003 yang menyebutkan bahwa setiap warga negara berusia 7-15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar (SD/sederajat dan SMP/sederajat).
Pemerintah perlu memastikan bahwa bantuan sosial, khususnya bagi penduduk miskin, tidak hanya untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk kelangsungan pendidikan anak-anak. Patut diketahui, setiap rupiah yang dikeluarkan untuk pendidikan merupakan investasi bagi kemajuan bangsa. Heckman dalam artikelnya, Science (2006), menyebutkan untuk setiap investasi US$1 pendidikan anak akan memperoleh pengembalian (return on invesment) sebesar US$8 saat mereka dewasa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved