KITA mengenal terminologi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Hak asasi manusia (the human rights) adalah sebuah konsep hukum dan normatif, yang menyatakan setiap manusia memiliki hak yang melekat pada dirinya. Sementara itu, hak konstitusional warga negara (the citizen’s constitutional rights) adalah semua hak warga negara yang telah dijamin undang-undang.
Hak asasi manusia, disingkat HAM, berlaku universal, kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. HAM pada dasarnya tidak bisa dicabut, saling berhubungan, dan saling bergantung. HAM dialamatkan pada negara, artinya negara harus hadir untuk melindungi, menghormati, dan memenuhi hak tersebut, sekaligus mencegah terjadinya pelanggaran
atau pengabaiannya. Di Indonesia, HAM dijamin dan tercantum dalam UUD 1945 sehingga sudah menjadi hak konstitusional warga negara.
Dengan demikian, semua HAM menjadi hak konstitusional warga negara. Namun, tidak semua hak konstitusi itu ialah HAM. Sebagai ilustrasi, hak setiap warga negara untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan ialah hak konstitusi, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara.
Hak konstitusional perempuan
Hukum berlaku umum dan tidak mengenal diskriminasi gender. Apa yang menjadi hak konstitusi warga negara, ia menjadi hak laki-laki dan perempuan. Setidaknya terdapat 27 hak konstitusional yang tertuang dalam UUD 1945 yang meliputi tiga kategori, ialah hak-hak sipil, hak-hak sosial, dan hak-hak politik.
Hak-hak sipil, meliputi hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, hak kebebasan beragama, hak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat, serta hak bebas dari penyiksaan dan perbudakan.
Hak-hak sosial, antara lain hak pendidikan, hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan budaya, hak memilih, dan hak menentukan. Hak-hak politik, antara lain hak memilih dan dipilih, hak ikut serta dalam pemerintahan, hak mendirikan partai politik, hak mendapatkan jabatan dalam pemerintahan, dan hak ikut mengawasi jalannya pemerintahan.
Hak politik perempuan
Secara khusus, terkait dengan keterwakilan perempuan di parlemen dan di pemerintahan sebagai implementasi hak politik perempuan, juga memiliki landasan kebijakan berupa Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2015 tentang RPJMN, yang merupakan pengembangan dari UU No 17 Tahun 2007 tentang RPJPN 2005-2025.
Dalam perpres ini disebutkan meningkatnya keterwakilan perempuan dalam politik, termasuk proses pengambil keputusan di lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Atas dasar arahan RPJMN 2015– 2019 tersebut, Kementerian PPPA telah menetapkan Peraturan Menteri No 10 Tahun 2015 tentang Grand Design Peningkatan Keterwakilan Perempuan di DPR, DPD, dan DPRD.
Landasan kebijakan terkait keterwakilan perempuan dalam politik lainnya ialah Instruksi Presiden No 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional, Undang-Undang Pemilu No 8 Tahun 2012, dan Undang-Undang No 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Dalam regulasi tersebut telah diatur upaya meningkatkan kursi perempuan di parlemen, dengan menyebutkan menempatkan satu perempuan caleg di antara tiga dalam daftar caleg
yang diajukan partai politik.
Salah satu indikator sustainable development goals (SDG’s) ialah untuk mewujudkan 50:50 gender equality pada 2030. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat sejalan dan setara dengan laki-laki di bidang politik. Keterwakilan perempuan di parlemen, partisipasi dalam pembangunan nasional, dan pengambilan keputusan penting negara diharapkan memunculkan optimisme lahirnya kebijakan-kebijakan yang berorientasi, pada terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender, serta untuk mendukung pemerintah dalam pelaksanaan SDG’s.
Hal ini merupakan upaya pemerintah dalam memberikan dan menjamin terpenuhinya hak-hak politik perempuan agar terlibat dalam pembangunan bangsa secara berkeadilan. Namun sayangnya, sampai hari ini peran dan partisipasi perempuan di berbagai bidang termasuk politik dan pembangunan masih rendah.
Hak politik dan reserved seat
Untuk meningkatkan jumlah kursi perempuan di parlemen, tentu tak terlepas dari kebijakan partai politik. Saya menilai, hingga hari ini parpol cenderung belum memiliki keberpihakan yang jelas untuk kursi perempuan di parlemen. Itulah sebabnya angka 30% keterwakilan perempuan masih belum terealisasi.
Beberapa negara ada yang telah berhasil menerapkan kebijakan reserved seat, yakni partai politik memiliki kebijakan kuota perempuan secara informal. Misalnya, ANC di Afrika Selatan (30%), Partai Buruh di Australia, serta PJ dan UCR di Argentina.
Di Inggris, daftar untuk partai buruh pada 1997 berganda dari 60 menjadi 119 (Karam) dan perempuan memiliki kesempatan bersanding dengan para kandidat laki-laki dalam hal kesempatan menjadi anggota parlemen.
Indonesia, seharusnya dapat menerapkan mekanisme affirmative action dengan mengikuti negara lain yang telah memberi ruang lebih luas pada perempuan. Indonesia diharapkan dapat menjadi contoh bagaimana memberikan hak konstitusi pada perempuan di dunia politik melalui kebijakan partai politik.
Pol yang secara tegas mengatur adanya keterwakilan perempuan 30% mulai pengurus harian partai hingga penempatan perempuan dalam daftar caleg. Ke depan diharapkan hadir undang-undang parpol dan pemilu yang mengatur sistem pemilu, dapil, dan nomor urut, yang lebih memberi jaminan terwujudnya kuota keterwakilan perempuan minimal 30% di parlemen.
Sederhananya, seharusnya partai politiklah yang harus serius memberikan reserved seat untuk kader-kader perempuannya duduk di parlemen.
Sebagai penutup, ada pepatah bijak mengatakan when you save a girl, you save generations. Artinya, ketika kamu menolong satu perempuan berarti telah menolong satu generasi
manusia. Apakah pepatah bijak ini bisa mendorong parpol memberikan hak politik perempuan melalui reserved seat?