Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Urgensi Digitalisasi UMKM

Dimas Aditya EW, Alumni Indef School Of Political Economy
22/11/2020 19:00
Urgensi Digitalisasi UMKM
Dimas Aditya(Dok pribadi)

PASAR menjadi arena bagi produk-produk bergulat memperebutkan hasrat pembeli, dengan diwarnai segala macam strategi. Kerap kali, persaingan pasar menelan korban yakni produk yang ditawarkan sepi pembeli. Di Indonesia UMKM menjadi pendorong roda perekonomian nasional. 

Bayangkan menurut data yang bersumber dari Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) pada 2018, persentase masyarakat yang mampu terserap sebagai pekerja oleh usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM, yakni sebesar 97% dibandingkan dengan usaha besar. UMKM mengakomodir angkatan tenaga kerja menghindari garis pengangguran yang dapat memengaruhi pendapatan, dan daya beli masyarakat. 

Saat pandemi covid-19 seperti sekarang tentu UMKM mengalami guncangan karena secara langsung menyerang sisi permintaan (demand side) dan sisi penawaran (supply side). Demi efisiensi biaya produksi mencapai angka minimum, tidak sedikit UMKM melakukan 'perampingan' dengan pemutusan hubungan kerja, tutup sementara, bahkan melakukan tutup permanen pada usahanya.
    
Kembali ke tahun sebelumnya saat covid-19 belum ada. Sebenarnya UMKM sudah mengalami guncangan akibat sistem persaingan pasar yang kurang berpihak pada mereka. Kita tidak bisa menutup mata bahwa banyak orang dalam urusan belanja mulai beralih ke platform digital. Hal tersebut tidak diimbangi dengan masuknya produk-produk UMKM ke platform digital dan dibenarkan oleh data Kementerian Koperasi baru 279 ribu atau sekitar 13% UMKM masuk platform digital. Akhirnya, distruption siklus transaksi ekonomi tidak dapat terhindarkan. 

Sedangkan, bisa masuk platform digital saja belum tentu menjamin dapat memenangkan persaingan pasar. Itu karena di platform digital juga banyak produk luar negeri, bahkan yang harganya lumayan lebih murah dibandingkan produk UMKM. Selain itu pembeli kebanyakan mempertimbangkan barang berkualitas, juga yang paling murah di antara lainnya.

Pemerintah harus proaktif mengurusi pasar. Itu sudah menjadi kewajiban juga berpihak pada produk lokal dan pelaku lokal. Sebelum melakukan percepatan pengembangan UMKM Go Online, pemerintah harus terintegrasi antara kementerian atau lembaga bahkan antara pemerintah pusat dan daerah. Sehingga dapat membentuk satu gerakan yang seirama dalam mendorong potensi produk lokal dan pelaku lokal. 

Angin segar bagi UMKM memang berhembus saat pemerintah memberikan kebijakan pengenaan bea masuk dan pajak pada barang via platform digital (e-commerce). Apalagi pada akhir Januari lalu ambang batas pengenaan bea masuk turun dari US$75 menjadi US$3, cara serupa dulu pernah dilakukan oleh salah satu paham ekonomi yakni merkantilisme yang sukses besar dalam hal ekspansi perdagangan dengan menekan impor memperbanyak ekspor. 

Tentu saja, kebijakan yang mapan perlu di jawab dengan kesiapan oleh produk lokal dan pelaku lokal, sehingga kesempatan untuk melakukan ekspansi pasar tidak di sia-siakan. Terlebih lagi, program pemulihan ekonomi nasional memberikan stimulus restrukturisasi kredit UMKM. Suatu stimulan yang menguntungkan bagi UMKM agar dapat survive di tengah pandemi. Hal itu di lakukan oleh pemerintah dengan harapan akselerasi pemulihan ekonomi nasional, dan melihat prospek produk lokal mampu menghadapi tantangan cross border di masa depan.

Kesiapan cross border
    
Transaksi lintas batas memang menjadi bagian dari isu e-commerce nasional yang sangat gurih untuk diperbincangkan. Alih-alih jalan menuju kesuksesan produk lokal dalam kancah internasional, akan berbalik menjadi malapetaka apabila hal ihwal celah kegagalan UMKM mengekspansi pasar belum ditutupi. Dari regulasi, kesepemahaman, sinkronisasi data, konflik pemberlakuan pajak e-commerce, sebagian besar UMKM online hanya reseller, pembinaan (training), sampai sedikitnya UMKM masuk pusaran ekosistem digital. 

Banyak pekerjaan rumah (PR) bersama yang harus cepat diselesaikan stakeholder. Pemangku kepentingan memang memiliki peran masing-masing tapi memiliki tujuan sama, yakni menjadikan Indonesia lebih produktif dari pada negara lainnya. Sehingga kebiasaan komsumtif, akan berbalik menjadi produktif dengan menciptakan produk lokal yang berdaya saing dengan produk luar. Sebelum itu kematangan UMKM dengan pernak-pernik penyertanya menjadi penentu krusial, untuk melangkah melewati garis lintas batas. 

Kehadiran pemangku kepentingan bukan hanya menjadi pengawas saja tetapi pendorong, seperti mengatasi permasalahan penekanan biaya produksi ke angka minimum. Imbasnya, harga jual suatu produk lokal akan menjadi lebih rendah daripada sebelumnya, dan produk lokal mampu bersaing dari segi harga dengan produk luar. 

Dalam hal ini, perlu peran dari tiap-tiap pemangku kepentingan antara lain kebijakan dan stimulan dari pemerintah, proses edukasi pengembangan digital talent dari akademisi, motor penggerak ekonomi inovatif dari pelaku usaha lokal, dan partisipasi dalam memanfaatkan e-commerce untuk mencintai produk lokal dari masyarakat. 

Pembenahan itu tidak mungkin dijalankan hanya satu pamangku kepentingan saja, misal pemerintah. Pemangku kepentingan ibarat tiang penyangga UMKM, apabila satu tiang saja tumbang UMKM pun rubuh. Sehingga diperlukan kolaborasi yang matang. Di era kolaborasi seperti saat ini pilihannya dua; dilibas oleh sejarah karena kurang cepat merespons perubahan akibat tidak berkolaborasi demi tujuan yang sama, atau menciptakan sejarah dengan bersatu padu merespons tantangan zaman.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya