Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Bahasa Indonesia di Panggung Dunia

Riduan Situmorang, Guru SMAN 1 Doloksanggul, Instruktur Sastra Digital Nasional, Aktif Berkesenian di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Medan dan Toba Writers Forum (TWF)
03/11/2020 19:55
Bahasa Indonesia di Panggung Dunia
Riduan Situmorang(Dok.pribadi)

PADA Sidang Majelis Umum ke-75 PBB, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia. Pidato berbahasa Indonesia di panggung besar dunia tentu menjadi kebanggaan. Ada filosofi yang sudah melegenda di Tanah Air; bahasa menunjukkan bangsa. Selama ini, di dunia internasional, kita malu berbahasa Indonesia. Kita tak menunjukkan apa-apa di dunia internasional. Selama ini pula, bahasa asing cenderung lebih menguasai kita. Hal itu terlihat dari berbagai nomenklatur bangunan megah, kegiatan-kegiatan besar, dan sebagainya. Kita juga tak menujukkkan apa-apa di negara kita sendiri.

Maka, kita puji Presiden Jokowi karena sudah berani berpidato dengan bahasa Indonesia. Kita mulai menunjukkan kebesaran bangsa melalui bahasa. Apalagi, pada kesempatan itu juga, pemimpin-pemimpin negara besar lainnya, seperti Xi Jinping (Tiongkok), Vladimir Putin (Rusia), dan Recep Tayyip Erdogan (Turki) juga menggunakan bahasa mereka. Kita rupanya sudah menyejajarkan diri dengan mereka. Karena itu, mulai sekarang, tak seharusnya lagi kita menomorduakan bahasa Indonesia atas nama globalisme.

Apalagi, bahasa itu tak sekadar artikulasi. Bahasa juga adalah lambang negara. Dari dulu, dalam setiap pertemuan internasional, Sang Saka Merah Putih selalu dibentangkan. Sebagai simbol, kedudukan bahasa tentu tak lebih rendah daripada bendera sehingga semestinya juga harus dibawa bersamaan dengan bendera. Tanpa bermaksud menomorduakan sang saka merah putih, justru posisi bahasa pada kacamata tertentu lebih sakral daripada bendera. Isi Sumpah Pemuda meneguhkan hal tersebut; menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Posisi sumpah ketiga ini bahkan lebih kuat daripada dua sumpah lainnya. Sumpah pertama dan kedua masih terkesan bernada salin-tempel dengan kata kunci mengaku; bertumpah darah yang satu dan berbangsa yang satu. Sementara itu, sumpah ketiga tak lagi salin-tempel. Sumpah ketiga bahkan tak lagi sekadar mengaku, tetapi sudah sampai pada titik lebih tinggi; menjunjung. Sayang, penghargaan kita pada Sumpah Pemuda terkesan disesuaikan dengan urutan. Kita lebih menghargai isi sumpah pertama dan kedua, lalu abai pada sumpah ketiga.

Pada sumpah pertama, tak sejengkal pun dari tanah Indonesia bisa direbut oleh bangsa lain. Sumpah itu betul-betul dihikmati. Bung Karno harus berjuang mati-matian merebut Irian Barat. Soeharto harus melindungi Irian Jaya dengan Pepera. Karena geram kehilangan tanah, Habibie bahkan harus diturunkan dari jabatannya karena Timor Leste lepas dari Indonesia. Kita selalu sigap ketika tanah dijarah. Begitu juga dengan sumpah kedua, kita tak mau bangsa asing menguasai bangsa kita. Pada suatu waktu, kata pribumi, meski dekat dengan ledekan kolonial, tetap membuat kita bangga sebagai bangsa Indonesia, hingga sekarang.
   
Namun, dengan sumpah ketiga, meski diberi diksi yang kuat (menjunjung), belum ada peristiwa heroik terkait perjuangan bahasa. Ketika keran tenaga kerja asing dibuka, kita memang meradang. Tetapi, ketika bahasa asing menjadi keseharian di berbagai penamaan gedung, penamaan seminar nasional berjudul bahasa asing, kita merasa baik-baik saja. Nasionalisme hanya kuat pada soal bangsa dan tanah, belum pada bahasa. Berbagai aturan dan kebijakan untuk mengutamakan bahasa Indonesia memang sudah dibuat.

Nyatanya, mengekor pada penemuan Ombudsman RI, ada banyak pelanggaran terhadap berbagai aturan dan kebijakan tersebut dan negara diam saja (Kompas, 13/10/2018). Tampak sekali, bahasa Indonesia benar-benar disepelekan di rumahnya sendiri. Hasilnya, banyak generasi muda keranjingan bahasa asing. Bahkan, bisnis belajar bahasa asing untuk pendidikan anak usia dini (Paud) sudah ramai. Padahal, UNESCO sudah memaklumatkan bahwa bahasa pengantar pendidikan sebaiknya-baiknya adalah bahasa ibu, terutama untuk SD, apalagi Paud.

Maka, jangan heran, di ibu kota, seperti juga pernah disesali almarhum Daoed Joesoef, sudah mulai banyak anak yang tak tahu berbahasa Indonesia, tetapi pada saat yang sama malah mahir berbahasa asing. Kenyataan ini adalah ironi yang sangat mengerikan. Betapa tidak, di luar mengingkari sumpah, kita sedang giat-giatnya memperjuangkan bahasa Indonesia untuk menjadi bahasa internasional, tetapi kita justru melecehkan bahasa kita sendiri. Kongres Bahasa Indonesia terakhir membuat tema salah satunya adalah untuk membuat bahasa Indonesia menjadi bahasa dunia.

Pasalnya, peluang bahasa Indonesia menjadi bahasa lintas dunia termasuk tinggi. Jumlah penuturnya dan penetrasinya potensial. Dalam penelitian Goebel (2015) Language and Superdiversity: Indonesians Knowledging at Home and Aboard, misalnya, ditunjukkan bahwa bahasa Indonesia berkembang di dalam dan di luar. Sebelum 1990-an, pengguna bahasa Indonesia masih kalah dari pengguna bahasa daerah. Namun, setelah 1990-an, jumlah pengguna bahasa Inonesia sudah mampu menggeser pengguna bahasa daerah.

Di luar negeri, bahasa Indonesia juga mulai diminati. Menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia, setidaknya hingga 2017, sudah ada 174 unit pusat pendidikan bahasa Indonesia yang tersebar di 45 negara. Kesemua ini adalah potensi besar, tentu saja (teramat rugilah kita jika tak menggunakan potensi itu dengan sebaik-baiknya). Jika kemudian ada masalah dalam penyebaran bahasa Indonesia, hal itu justru berasal dan berdampak dari dalam negeri. Hal itu diakui sendiri oleh George Quinn, dosen pengajar bahasa Indonesia di Australian National Uniersity.

Menurut George Quinn, belakangan ini, pengajaran bahasa Indonesia bagi penutur asing semakin lesu karena memang orang di Indonesia sudah keranjingan bahasa Inggris (Kompas, 31/10/2018). Ada rasa minder berbahasa Indonesia. Seperti teori David Crystal (2003), bahasa Indonesia dipandang bukanlah simbol kemajuan, melainkan simbol ketertinggalan. Kita menanggalkan dan membuat diri begitu berjarak dengan bahasa Indonesia. Padahal, di luar sebagai simbol, menurut Tymothy Binkley (1973), bahasa itu jauh lebih dekat dengan kita.

"Bahasa adalah ukuran kehidupan kita," kata Toni Morisson. Kita seharusnya bangga karena meski hanya tanah dan bangsa yang dijajah dan bukan bahasa, pemuda kita justru membuat ikrar tidak hanya mengaku berbangsa dan bertanah satu, yaitu Indonesia, tetapi juga menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Menurut Ben Anderson, Indonesia merupakan satu-satunya negara yang diperintah bukan dalam bahasa Eropa. Belanda menaruh hormat pada bahasa kita. Sayang sekali, saat ini, kita justru tak menaruh hormat pada bahasa kita.

Jokowi sudah memberi teladan dengan berbahasa Indonesia di KTT APEC (Tiongkok), KTT ASEAN (Myanmar), G-20 Summit (Australia), dan puncaknya di PBB tak lama ini sebagai perwujudan dari Perpres RI Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia. Semoga mulai dari sekarang, pemerintah-pemerintah daerah dan kita semakin bangga berbahasa Indonesia. Kalau bukan kita yang membanggakannya, siapa lagi? 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik