Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga

Lena Mariana Mukti Dewan Pakar DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI)
28/10/2020 03:40
Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga
Lena Mariana Mukti Dewan Pakar DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI)(MI/M. Irfan)

MASYARAKAT Indonesia mengenal istilah kepala rumah tangga atau kepala keluarga sebagai bagian dari terminologi kependudukan. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefi nisikan kepala rumah tangga ialah orang dari sekelompok anggota rumah tangga yang bertanggung jawab atas kebutuhan sehari-hari rumah tangga atau orang yang dianggap atau ditunjuk sebagai kepala rumah tangga.

Dalam realitas di lapangan, kepala keluarga tidak selalu merujuk pada laki-laki atau suami sebab ada banyak rumah tangga yang kepala keluarganya ialah perempuan, yang disebut perempuan kepala keluarga.

Menurut Yayasan Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Pekka), yang dimaksud dengan perempuan kepala keluarga ialah
perempuan yang melaksanakan peran dan tanggung jawab sebagai pencari nafkah, pengelola rumah tangga, menjaga keberlangsungan
kehidupan keluarga, dan pengambil keputusan dalam keluarga.

Faktor yang menyebabkan seorang perempuan menjadi kepala keluarga di dalam rumah tangga, antara lain karena perceraian, perempuan yang hamil dan mempunyai anak, setelah ditinggal laki-laki, serta karena suami meninggal dunia.

Selain itu, suami juga tidak jadi pencari nafkah utama karena difabel atau kehilangan pekerjaan, suami pergi dalam waktu lama tanpa  memberi nafkah, serta belum menikah tetapi punya tanggungan keluarga.

Ada juga perempuan yang suaminya tak menjalankan fungsi sebagai kepala keluarga karena poligami, pengangguran, atau sakit.

Jumlah perempuan sebagai kepala keluarga terus meningkat dari tahun ke tahun. Kenaikan terutama di daerah konflik dan bencana.  Mayoritas perempuan yang menjadi kepala rumah tangga karena suaminya meninggal sekitar 67,17%.

Sedihnya, sebagian dari perempuan yang menjadi kepala rumah tangga tersebut, hidup di bawah garis kemiskinan. Berdasarkan data BPS pada 2018 yang dikutip dari Harian Kompas edisi 3 Agustus 2020, tercatat ada 10,3 juta rumah tangga dengan 15,7% perempuan sebagai kepala keluarga.

Data BPS yang sama menunjukkan 42,57% tidak punya ijazah. Jumlah paling besar di Nusa Tenggara Barat, Aceh, Daerah Istimewa Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Jawa Timur. Kemudian, sebanyak 26,19% berpendidikan sampai sekolah dasar (SD), 10,69% berpendidik an sampai sekolah menengah pertama (SMP), dan 20,55% hingga sekolah menengah atas (SMA).

Keluarga yang dikepalai perempuan merupakan keluarga yang paling rentan terhadap masalah ekonomi. Terlebih, di masa pandemi covid-19 yang belum ada tanda-tanda kapan akan berakhir. Meskipun per 29 Juni 2020 dana desa sudah tersalur di 70.546 desa (94%) dari total desa di Indonesia, dengan jumlah keluarga penerima manfaat sebanyak 7.502.489 keluarga dan sekitar 2.025.672 (27%) di antaranya perempuan kepala keluarga, tantangan di masa pandemi dirasakan cukup berat.

Mereka kian terpuruk karena di masa pandemi ini harus berjuang sendiri. Selain sebagai penanggung jawab nafkah keluarga, perempuan kepala keluarga juga tetap harus menjalankan kewajiban domestik di rumah, semisal pekerjaan rumah tangga, mengurus dan mengasuh anak, termasuk mendampingi anak belajar.

Perempuan kepala keluarga umumnya bekerja di sektor informal dan berpendapatan di bawah Rp1 juta per bulan. Dengan kondisi seperti saat ini, semakin sulit karena pandemi membuat akses ke dukungan ekonomi semakin jauh.

Oleh karenanya, pemerintah dan pemerintah daerah jangan sampai abai terhadap kebutuhan mereka meskipun tengah disibukkan dengan persiapan pilkada di beberapa daerah.

Selain itu, solidaritas antarwarga untuk saling mendukung yang sejauh ini sudah terbangun juga agar dapat menyentuh kepentingan perempuan kepala keluarga. Bantuan langsung tunai dan sembako oleh Kemensos dan pemda jangan sampai terlewat menjangkau mereka.


Pemberdayaan perempuan kepala keluarga

Pemberdayaan, secara umum memiliki tujuan meningkatkan kekuasaan orang yang lemah atau tidak beruntung. Oleh karena itu, pemberdayaan membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka.

Adapun aspek pemberdayaan umum nya meliputi upaya pemungkinan, penguatan, perlindungan, penyokongan, dan pemeliharaan.

Ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan dalam melakukan program pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Pertama, membangun kesadaran menerima situasi dengan penuh rasa hormat.

Kita masih berhadapan dengan masyarakat yang memberikan stigma pada perempuan dengan status kepala keluarga. Situasi ini harus dihadapi dengan mendidik mereka untuk menerima kondisi yang ada dengan penuh rasa hormat dan harga diri.

Hadapi takdir yang terjadi justru sebagai jalan untuk menunjukkan potensi serta kekuatan perempuandalam bertahan hidup demi anakanak dan keluarga.

Kedua, menumbuhkan kesadaran akan potensi yang dimiliki sehingga dapat dikembangkan dengan memberikan keterampilan, pengetahuan, dan mendekatkannya dengan akses sumber daya, baik sumber daya manusia, materiel, finansial, maupun marketing. Dengan fokus
pada potensi yang mereka miliki, diharapkan dapat membangun jiwa wirausaha yang kukuh. 

Ketiga, membangun solidaritas kelompok. Tujuannya membuat mereka saling belajar, saling menguatkan, dan saling mendukung. Terutama dengan melihat contoh sukses perempuan kepala keluarga. Pada saatnya kelompok ini akan menjadi kekuatan ekonomi mandiri meskipun masih dalam skala kecil.

Keempat, membuat jejaring. Para perempuan kepala keluarga perlu dibuatkan jejaring untuk memperluas wawasan, pengetahuan, dan tentu saja akses pada sumber daya. Selain itu, dengan berjejaring, kelompok juga dapat meminimalisasi ancaman-ancaman yang datang dari luar dan melakukan pembinaan secara terus-menerus.

Salah satu lembaga yang penting dicatat kontribusinya dalam program pemberdayaan perempuan kepala keluarga ialah Pekka (Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga), yang cikal bakalnya sudah ada sejak 2001, dengan kelompok Pekka pertama di bentuk di Pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur.

Baru pada 2004, Yayasan Pekka dibentuk secara resmi dengan melakukan pendampingan pada kelompok perempuan kepala keluarga.  Hingga saat ini, Pekka terus berkontribusi memberi dukungan pada perempuan kepala keluarga di banyak provinsi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya