SAYA namakan kitab ini Sarinah sebagai tanda terima kasih saya kepada pengasuh saya ketika saya masih kanak-kanak.
Pengasuh saya itu bernama Sarinah. Ia mbok saya… Dari dia, saya banyak mendapat pelajaran mencintai ‘orang kecil’. Dia sendiri pun ‘orang kecil’, tetapi budinya selalu besar! (Ir Soekarno)
Kita biasa menyebutnya ‘pembantu’, ‘asisten rumah tangga’, bahkan ‘babu’ atau ‘ongos’, di beberapa waktu silam. Kini mereka secara resmi disebut pekerja rumah tangga (PRT). Mereka ialah entitas pengganti dari kerja-kerja harian anggota rumah tangga.
Secara sosiologis, kata Sosiolog Robertus Robet, PRT adalah mereka yang bekerja dengan dua fungsi utama, mendukung atau membantu proses reproduksi sosial rumah tangga serta mendukung/membantu berlangsungnya ekonomi-perawatan di dalam rumah tangga.
Menjelaskan peran PRT dalam reproduksi sosial rumah tangga, Robet menunjukkan relasi sekaligus peran PRT terhadap majikannya yang begitu vital dan strategis. Terhadap mereka, PRT bahkan tidak hanya ‘menjual’ tenaga, tetapi juga jasa.
Jenis pekerjaan yang dilakukan PRT mungkin bukan jenis pekerjaan produktif pada umumnya. Output pekerjaannya pun sulit untuk diukur. Akan tetapi, ia sangat memberi kontribusi positif terhadap karier dan kesuksesan si pemberi kerja.
Ini karena PRT ialah pihak yang mengerjakan kerja-kerja ‘kerumahtanggaan’ yang tidak bisa dilakukan si pemberi kerja. Karena itu, PRT sesungguhnya ialah bidang pekerjaan yang melakukan fungsi reproduksi sosial sekaligus memberikan dukungan langsung kepada reproduksi ekonomi di pemberi kerja.
Dalam bahasa yang lebih teknis, Robet menyebut peran PRT dalam fungsi ekonomi-perawatan seseorang. Dalam fungsi tersebut, PRT telah membantu memenuhi kebutuhan, terutama dalam bidang pengasuhan dan perawatan di dalam keluarga.
Pekerjaan ini berperan penting karena menunjukkan fungsi yang sangat beragam dalam pekerjaannya. Hal ini pula yang sebenarnya membuat nilai kerjanya menjadi sangat tinggi.
Namun, karena fungsi dan nilai kerja semacam ini dipandang remeh karena sifat praktikalitasnya yang menyatu di dalam keluarga, ia dianggap sebagai fungsi domestik ‘yang wajar’ yang akibatnya tidak dihitung sebagai kerja yang sifatnya ‘produktif’.
Domestifikasi pekerjaan yang kebanyakan dilakukan perempuan ini, dalam realitasnya, membuat PRT terus berada dalam logika subordinasi. Posisi perempuan yang cenderung disubordinasi di dalam lingkungan sosial akhirnya merambat juga pada praktik subordinasi pekerjaan yang dilakukannya.
Di Indonesia saat ini, profesi sebagai PRT tidak diakui dan tidak dapat dicatatkan di dalam KTP atau SIM, misalnya. Secara kultural, masyarakat umum pun lebih sering memandang peyoratif profesi ini lewat berbagai atribusi khasnya. Karena kerentanan status dan posisinya, PRT juga kerap mengalami tindak kekerasan para majikannya.
Upaya perlindungan
Ika Masriati ialah PRT berusia 19 tahun. Ia mengalami kerusakan pita suara akibat dianiaya majikannya. Bibir dan mulutnya membengkak akibat dipaksa minum air panas karena dituduh mencuri telepon seluler majikannya, di Semarang Barat.
Kasus Ika, hanyalah satu dari sekian banyak kasus pelanggaran kemanusiaan yang terjadi terhadap para PRT sebab selain penganiayaan, kasus human trafficking juga kerap mengiringi dunia rekrutmen PRT karena kerentanan regulasi yang ada.
Sayangnya, angka-angka laporan kasus yang terus bertambah itu hanya mengisi deret angka statistika semata. Upaya membuat payung hukum perlindungan pekerja rumah tangga terus menghadapi tembok penghalang.
Baru pada 2015, Kementerian Ketenagakerjaan membuat payung hukum dan pengakuan terhadap pekerja rumah tangga lewat peraturan menteri (Permen). Itu pun, setelah lembaga-lembaga internasional terus mendesaknya karena makin banyaknya kasus kekerasan terhadap PRT Indonesia di luar negeri.
Sementara itu, jutaan PRT migran kita atau biasa disebut TKI yang berada di negeri tetangga, semisal di Malaysia, Singapura, dan Hong Kong, justru sudah dianggap menjadi sektor formal. Keberadaannya yang diakui sebagai pekerja itu menjadikannya jauh lebih terlindungi jika dibandingkan dengan mereka yang bekerja di negara-negara yang tidak mengakui mereka sebagai pekerja.
Berbagai dialektika ini mengantarkan banyak elemen, pihak, serta pemangku kepentingan meru muskan sebuah payung hukum yang lebih memberi perlindungan, sekaligus pengakuan terhadap entitas PRT sebagai kelompok dengan peran dan fungsi, yang ternyata strategis dalam relasi reproduksi sosial dan ekonomi.
Relasi yang unik
Usaha membentuk RUU PRT sebenarnya sudah dimulai sejak 16 tahun yang lalu. Namun, harus diakui, ada kegamang an dan ketakutan yang membayangi para pembuat kebijakan terkait dengan RUU tersebut. Bayangan industrialis yang serba kaku dengan berbagai peraturan dan konsekuensinya, membuat banyak legislator skeptis terhadapnya.
RUU PRT yang per 16 Juli 2020, kemarin, mestinya sudah bisa menjadi RUU inisiatif DPR RI itu pun harus tertunda kembali. Padahal, RUU ini memiliki keunikan tersendiri.
Meski mengakui PRT sebagai pekerja, RUU ini tetap berasas kekeluargaan dan tetap mengedepankan relasi kultural-sosiologis masyarakat Indonesia. Relasinya tidak akan kaku sebagaimana hubungan industrialis pada umumnya. Apalagi dalam faktanya, kehidupan para pekerja di Indonesia pun ternyata tidak benarbenar dalam hubungan industrialis yang saklek. Selalu ada hubungan kultural yang terjadi.
Praktik uang kerahiman sebagai santunan perusahaan terhadap pekerjanya yang mengalami kecelakaan ialah contoh paling sederhananya. Walhasil, berbagai ketakutan atau kekhawatiran untuk meloloskan RUU ini menjadi produk legislasi negara sesungguhnya tidak beralasan.
Sebagaimana Pancasila yang digali dari taman sari berbagai kebudayaan Nusantara, RUU PRT juga disusun dengan berbagai sudut pandang dan senantiasa memperhatikan aspek kultural masyarakat Indonesia. Lebih dari itu, RUU PRT disusun sebagai manifestasi dari upaya membangun kehidupan yang berdasar pada kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bung Karno memuliakan pengasuhnya dengan menjadikan nama Sarinah di salah satu judul bukunya. Nama itu pun dipakai Bung Karno sebagai nama pusat perbelanjaan nasional yang hingga kini masih berdiri, sebagai simbol keberdikarian ekonomi bangsa.
Jika proklamator kemerdekaan bangsa saja begitu memuliakan orang-orang yang pernah menjadi pengasuhnya, pembantunya, mengapa kita tidak mengikuti jejak luhur itu, dengan memuliakan mereka lewat sebuah perundangan demi terjaganya harkat dan martabatnya sebagai manusia?