Headline

Pertemuan dihadiri Dubes AS dan Dubes Tiongkok untuk Malaysia.

Fokus

Masalah kesehatan mental dan obesitas berpengaruh terhadap kerja pelayanan.

Kartini Melompat dari Zamannya

Dwi Septiawati Djafar Ketua Umum DPP Kaukus Perempuan Politik Indonesia
22/4/2020 06:50
Kartini Melompat dari Zamannya
(Dok. Medcom.id)

SETIAP 21 April kita memperingati Hari Kartini. Tanggal lahir sosok perempuan Jawa ini ditetapkan sebagai momentum pengingat perjuangan perempuan Indonesia dalam memberdayakan diri dan memerangi ketidakadilan.

Kenapa Kartini dan bukan Cut Nyak Dhien atau Cristina Marta Tiahahu yang turun langsung ke medan perang mengangkat senjata? Bukankah Kartini bisa hidup nyaman dengan segala fasilitas sebagai anak bupati? Baiklah, mari kita lupakan sejenak tentang kontroversi tersebut. Toh, suka atau tidak suka, saat ini sebagian besar orang Indonesia mengenal Ibu Kartini, dapat mendendangkan lagu berjudul namanya dan tahu bahwa ia ialah ikon kepahlawanan perempuan Indonesia.


Kartini putri pingitan

Kartini lahir di tengah situasi yang sulit dan kurang menguntungkan untuk kaum bumiputera, apalagi perempuan. Ia ialah putri dari istri pertama Bupati Jepara, tapi bukan istri utama. Peraturan kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristrikan seorang bangsawan.

Karena MA Ngasirah, ibu dari Kartini, bukanlah bangsawan tinggi, ayahnya menikah lagi dengan Raden Adjeng Woerjan (Moerjam), keturunan langsung Raja Madura yang kemudian dianggap sebagai istri utama.

Menurut catatan sejarah, pada 1854 pemerintah Belanda mengeluarkan pembaruan konstitusional, yang mana para penguasa setempat akan tetap memiliki kekuasaan tradisional atas warga mereka dan berkuasa atas nama Belanda. Juga adanya aturan yang ketat terkait dengan pemisahan antara warga Eropa dan kaum inlander.

Kondisi ini menyebabkan perempuan Jawa pada masa itu hidup dalam kungkungan adat dan tradisi. Setelah berusia 12 tahun, perempuan Jawa masuk ke dunia pingitan yang segala gerakgeriknya, bahkan cara berbicara dan berjalan pun diatur dan dibatasi.

Mereka tinggal di dalam rumah, mengerjakan urusan domestik, dan mempersiapkan diri menanti tibanya masa perjodohan. Hal yang sama pun dialami Kartini.

Meski para gurunya memandang Kartini cerdas dan mampu melanjutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, ia hanya menyelesaikan sekolah Belanda tingkat rendah. Adat dan tradisi mengharuskannya tunduk dan patuh.

Namun, Kartini tidak menyerah. Dalam kebersahajaannya ia terus mencari kanalisasi atas kegelisahan, kebingungan, dan ketidakmengertiannya atas pembatasan yang diberikan terhadap perempuan. Dalam sikap diamnya ia terus memikirkan ketidakadilan, kesewenangan, dan kesenjangan kesejahteraan yang jauh antara kaum bangsawan dan rakyat jelata.

Jiwa dan pikirannya terus bergerak, berderap, dan bergemuruh mencari pembebasan. Kartini menuangkan segala rasa didada hati dan akalnya melalui suratsurat yang ia kirimkan pada beberapa sahabat penanya di Belanda.

Ia menerima pingitan raga, tapi pikirannya mendapatkan banyak energi melalui jendela buku dan surat kabar.

Ia menerima pinangan Bupati Rembang yang telah beristri tiga, tapi ia bernegosiasi agar tetap diperbolehkan belajar dan membuka sekolah di depan gerbang rumahnya.

Ia memutuskan menolak tawaran melanjutkan sekolah ke Belanda dan mengajar di Batavia, tapi ia tahu gagasan dan narasi apa yang harus diperjuangkan dan disebarluaskan ke banyak orang.

Hingga Kartini wafat pada 1904, belum banyak orang yang menyadari narasi besar yang dibawa Kartini. Setelah kumpulan surat-suratnya--tentunya ada yang disensor--diterbitkan pada 1911, barulah narasi Kartini menjadi buah bibir masyarakat luas. Pemikiran Kartini ialah buah dari perenungan, keprihatinan, dan perlawanan dalam diam atas ketidakadilan yang terjadi di tanah Jawa, baik yang dilakukan pemerintah Belanda maupun penguasa lokal.

Narasi Kartini ialah hasil pengembaraan jiwanya untuk merdeka belajar, merdeka beramal, merdeka melakukan kontribusi terbaik untuk bangsanya. Ide Kartini ialah cara dan solusi yang ia pikirkan untuk membebaskan perempuan dari keterpurukan dan keterkungkungan tanpa mengkhianati kodratnya. Gagasan Kartini ialah buah dari tekadnya yang kuat, hatinya yang tulus, dan nuraninya yang jernih untuk menolong sesama.


Melompat dari zamannya

Membaca surat-surat Kartini, saya menyimpulkan bahwa ia ialah manusia merdeka yang melompat dari zamannya. Raganya dalam pingitan, tapi jiwa, impian, dan cita-citanya melampaui batas ruang dan waktu.

Ia mati muda. Baru 25 tahun. Semoga ia meninggal dalam bahagia sebagaimana ia tulis dalam salah satu suratnya kepada Nyonya Abendanon, ‘Walaupun saya tidak beruntung sampai kepada ujung jalan itu, walaupun saya akan patah di tengah jalan, saya akan mati dengan bahagia. Jalan sudah terbuka dan saya telah turut merintis jalan yang menuju ke kebebasan dan kemerdekaan perempuan bumiputera’.

Kartini telah meninggalkan warisan berharga; semangat untuk bangkit, bergerak, dan berjuang melepaskan diri dari ketidakberdayaan dan ketidakadilan.

Narasinya akan terus hidup dan dikenang orang. Ia ialah role model bagi perempuan politik Indonesia untuk terus berkontribusi menjadi problem solver atas persoalan perempuan dan masyarakat; menjadi inspirator dan motivator buat lingkungan, bangsa, dan peradaban manusia.

Kartini memang tidak mengangkat senjata melawan penjajahan seperti Cut Nyak Dhien, tapi penanya menggaungkan kebangkitan jiwa melawan kebodohan dan kezaliman. Selamat memaknai Hari Kartini 2020.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya