Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
MARK Fields, presiden perusahaan otomotif terkemuka Ford, pernah menyatakan, “Culture eats strategy for breakfast.” Ungkapan yang awalnya berasal dari Peter Drucker--pakar manajemen terkemuka yang pemikirannya menjadi dasar bagi filosofi dan praktik bisnis moderen--pada intinya menyatakan bahwa strategi dalam pengelolaan organisasi bukannya tidak penting.
Namun, budaya memiliki daya vital untuk menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah strategi dalam pencapaian tujuan organisasi. Strategi yang paling bagus sekalipun, keberhasilan atau kegagalannya sangat bergantung pada budaya yang dibangun dan dikembangkan dalam organisasi.
Namun, dalam praktiknya, mereka yang menjalankan organisasi lebih tertarik untuk memperhatikan pilihan strategi yang dipakai daripada menimbang bagaimana budaya organisasi harus dibangun dan dikembangkan sebagai bagian dari investasi masa depan.
Saat mendapati masalah pada pilihan strategi organisasi (atau masalah lainnya dalam organisasi), konsentrasi para pengelola organisasi berkutat hanya pada upaya mencari ‘siapa yang salah?’ atau ‘siapa yang bertanggung jawab atas masalah yang muncul?’.
Mencari kambing hitam
Hal yang sama juga terjadi pada semua tingkatan dalam organisasi pendidikan. Kegagalan dalam mengikuti standar pendidikan di tingkat dunia atau kegagalan memenuhi target capaian secara nasional lebih sering ditujukan pada jajaran pejabat di kementerian terkait atau pada alat yang dipakai. Bukan pada proses atau sistem pendidikan keseluruhan yang memungkinkan masalah-masalah tersebut muncul. Karena itu, respons yang sering terjadi sifatnya selalu menghakimi, parsial, jangka pendek, dan reaksioner.
Pada tingkat yang lebih rendah, dalam pengelolaan sekolah, juga berkembang budaya menyalahkan, yang gampang ditemui dalam setiap aspek pengelolaan pendidikan. Ketika berhadapan dengan murid yang memiliki kesulitan dalam pelajaran, guru menyalahkan murid karena ‘kurang motivasi’, ‘tidak patuh’, atau ‘kurang perhatian orangtua’. Sementara itu, orangtua beranggapan ‘guru/sekolah kurang bagus’ atau malah ikut menyalahkan anak mereka sendiri.
Mencari seseorang atau sesuatu untuk disalahkan ialah cara paling mudah untuk merespons setiap ketidakberesan. Mencari dan kemudian menentukan siapa yang harus bertanggung jawab atas persoalan yang terjadi lebih merupakan wujud budaya mencari kambing hitam ketimbang menyelesaikan persoalan sesungguhnya dalam sistem yang berlaku.
Pentingnya membangun budaya yang jauh lebih baik daripada budaya menyalahkan (culture of blaming) pada lembaga pendidikan seperti sekolah ialah kunci keberhasilan dan kemajuan. Salah satu budaya yang penting untuk dikembangkan ialah culture of accountability atau budaya tanggung gugat.
Dari menyalahkan ke tanggung gugat
Budaya tanggung gugat di sekolah perlu dikembangkan atas pemikiran dasar bahwa dalam budaya menyalahkan, tidak pernah terjadi pembelajaran. Karena satu-satunya hal yang dipelajari seseorang atau organisasi dalam kebiasaan saling menyalahkan hanyalah ‘kemampuan yang lebih baik untuk menyembunyikan kesalahan’.
Marilyn Paul, seorang konsultan independen di Innovation Associate dan Arthur D Little, AS, dalam sebuah tulisan berjudul Moving from Blame to Accountability (2018), menegaskan pentingnya sebuah organisasi mengembangkan budaya tanggung gugat.
Dalam budaya menyalahkan, cara menyelesaikan masalah ialah dengan mengalokasikan kesalahan pada orang atau sesuatu. Sering kali berupa upaya mempermalukan dan mencari kesalahan. Cara ini bersifat artifisial dan hanya merupakan solusi jangka pendek untuk masalah yang biasanya jauh lebih kompleks.
Karena itu, budaya menyalahkan dapat menghambat pemahaman akan akar masalah sesungguhnya, menghancurkan rasa saling percaya dan menghadirkan ketakutan yang menjadi muasal hambatan bagi inovasi dan alternatif solusi sejati.
Budaya menyalahkan cenderung membuat upaya penyelesaian masalah tidak efektif dan jelas tidak memberi pemahaman yang lebih baik tentang situasi/masalah yang dihadapi sekolah.
Sementara itu, budaya tanggung gugat justru menegaskan bahwa seseorang selalu berpotensi melakukan kesalahan dan melihat proses belajar dari kesalahan sebagai upaya pembelajaran untuk keberhasilan di masa depan. Hal ini dapat terjadi selama tersedia kondisi yang memungkinkan dialog yang konstruktif dan terus-menerus terkait dengan pemahaman atas realitas yang terjadi.
Pemahaman yang mampu berkontribusi atas kemampuan memahami akar masalah sesungguhnya, pemahaman atas sistem secara keseluruhan, dan kemampuan mengidentifikasi kesepakatan dan tindakan baru bersama.
Budaya tanggung gugat selalu menyaratkan fokus pada masalah yang dihadapi dan bukan orang. Sekaligus, pertimbangan akan adanya konsekuensi baik yang pasti maupun yang tak bisa diperkirakan akan terjadi. Beberapa kualitas yang ditumbuhkan dalam budaya tanggung gugat ialah saling menghargai, saling percaya, keingintahuan, inisiatif, dan kebersamaan.
Budaya tanggung gugat ialah proses membangun kebiasaan untuk memungkinkan mereka yang berada di dalam organisasi menunjukkan kebebasan untuk berpikir dan bertindak demi mencapai tujuan organisasi.
Karakter yang diperlukan dalam budaya tanggung gugat ialah kemandirian dan otonomi setiap orang untuk menerjemahkan dan memberi kontribusi atas pencapaian tujuan organisasi. Bukan menerimanya sebagai sebuah keharusan yang dipaksakan atau dijejalkan sebagai bagian kepatuhan buta.
Hal itu dapat diterapkan dalam pengelolaan kelas, manajemen sekolah, maupun dalam membangun relasi baik dengan masyarakat. Praktik-praktik pengembangan kapasitas guru, kelas yang demokratis, dialog atau pertemuan rutin dengan orangtua dan masyarakat ialah beberapa media yang dipakai untuk mengampanyekan beberapa kualitas yang diperlukan untuk menumbuhkan budaya tanggung gugat. Memahami sebuah masalah secara lebih menyeluruh, menghindari jebakan solusi instan, atau mendiskusikan perbedaan cara pandang untuk meningkatkan pemahaman bersama.
Semua itu hanya bisa dilakukan dengan niatan dan tindakan nyata untuk mulai berhenti menyalahkan dan bersama-sama menjadi lebih bertanggung jawab dalam menghadapi masalah pendidikan. Hanya dengan membiasakan diri untuk tidak mudah menyalahkan, pembelajaran sejati akan persoalan pendidikan bisa terjadi. Hanya dengan siap untuk tanggung gugat, akar persoalan bisa ditemukan dan solusi masalah pendidikan sesungguhnya dapat diupayakan.
Program STAR Track dirancang bagi mahasiswa yang ingin membangun karier lebih awal tanpa harus menunda pendidikan lanjutan setelah lulus sarjana.
Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo meresmikan SMA Kemala Taruna Bhayangkara serta SMA Global Darussalam Academy di DI Yogyakarta.
HARI pertama di sekolah menengah bukan sekadar perpindahan ruang belajar, melainkan juga lompatan emosional bagi anak-anak yang baru meninggalkan masa kecil mereka di bangku sekolah dasar.
Hal itu merupakan upaya kolaborasi untuk mewujudkan sekolah unggul berbasis digital dan inklusif.
Pendidikan pada usia dini merupakan fase yang sangat penting bagi tumbuh kembang anak di masa depan.
Lebih dari Sejuta Sarjana Menganggur, Ketua DPR Puan Maharani Sistem Pendidikan dan Industri Belum Terkoneksi
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved