Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
SEJUJURNYA saya hilang kepercayaan terhadap perhelatan Oscar sejak 2013. Pada tahun itu film favorit dari sutradara favorit saya, Michael Haneke dengan film Amour, masuk jajaran nominasi film terbaik dan juga film berbahasa asing terbaik.
Seperti film Parasite di 2019, Amour juga memenangi penghargaan tertinggi di festival film paling bergengsi di dunia, yakni Festival Film Cannes. Saya bukan pencatat statistik, tetapi pemenang di Cannes bisa dikatakan hampir selalu masuk nominasi Oscar.
Seperti Parasite, film Amour juga mendapatkan nominasi di kategori bergengsi, seperti sutradara terbaik dan film terbaik. Akan tetapi, Amour hanya memenangi kategori film berbahasa asing terbaik.
Dalam pidato kemenangannya di Golden Globes, sutradara film Parasite, Bong Joon-ho, mengatakan, “Once you overcome the 1-inch-tall barrier of subtitles, you will be introduced to so many more amazing films.”
Ya, audiens juga industri film di Amerika, atau yang biasa kita sebut Hollywood, benci dengan subtitles. Sebuah konsep yang bagi saya--sedari kecil menonton film Amerika dengan teks bahasa Indonesia--amatlah sulit dimengerti. Bagi kami, filmmaker independen di Asia, mendapatkan theatrical distribution di Amerika bagian utara (AS dan Kanada) saja sudah luar biasa sulit, sebuah feat yang hanya segelintir film Indonesia pernah dapatkan; dibeli perusahaan distribusi Amerika atau self-distribution dengan cara membeli kursi sendiri dari uang di kantong sendiri.
Ini prasyarat untuk bisa jadi pertimbangan masuk nominasi
film terbaik di Oscar. Apalagi menangi Oscar, untuk masuk nominasi saja, bayangkan harus bisa mendanai kampanye ke ribuan anggota Academy yang nanti akan voting. Sulit membandingkan award season di Amerika dengan festival film internasional seperti Cannes. Award season di Amerika lebih mirip seperti pilpres.
Ya, sebagai sutradara film di Asia, apalagi saya di Asia Tenggara, tidak pernah mimpi bisa sampai di Oscar. Namun, hari ini, Bong Joon-ho--sepertinya juga tak pernah mimpi sampai ke Oscar--dan Parasite telah mengubah stigma itu.
Saya punya banyak idola sutradara di Asia. Masuk urutan teratas ialah Koreeda Hirokazu dari Jepang dan Bong Joon-ho dari Korea Selatan. Saya pertama kali jatuh cinta dengan karya Bong ketika menonton Mother. Sebuah karya yang tidak hanya unik dan intens, tetapi juga berkarakter kuat.
Kamu tak bisa melupakan imaji-imaji yang ada dalam adegannya. Bong mungkin sedikit berbeda dengan Koreeda. Ia tak gebyar gaya bercerita dan karya-karyanya yang sangat ‘rendah hati’; sederhana tapi menyentuh.
Sekilas kalau melihat karya Koreeda, orang awam banyak berkomentar, “Kok nggak ada kejadian apa-apa.”
Kalau Bong memberi imaji seorang ibu paruh baya menari-nari di tengah ilalang, Koreeda menyembunyikan seorang gadis kecil di dalam sebuah koper. Koreeda lebih sejalan dengan gaya maestro-maestro Asia yang lain, seperti Apitchapong Weerasethakul dari Thailand, yang pernah mengadegankan permainan bola kaki berapi dengan kaki telanjang. Keduanya juga pernah memenangi penghargaan tertinggi di Festival Cannes.
Di Parasite, Bong punya gaya lain. Kadang sering dituduh punya gaya bercerita yang kebarat-baratan, senang mempergunakan konvensi-konvensi genre yang familier dengan penonton awam, tetapi tetap ada kekhasan bercerita yang kuat yang memang patut dimiliki seorang auteur. Bong punya gaya bercerita klasik, memakai tata bahasa sinema yang nyaris tanpa cela dalam menceritakan tema perbedaan kelas sosial dengan begitu lugas, penuh kejutan, tetapi juga universal.
Parasite memang punya cerita yang spesial. Siapa yang tidak bisa memahami tentang kesenjangan si miskin dan si kaya? Eksplorasi ceritanya juga tidak hanya dari kacamata si keluarga miskin, tetapi juga dari perspektif keluarga kaya. Ketika si ibu bos mengeluhkan sopirnya yang bau badan. Kita bisa melihat arogansi si kaya, tetapi juga memahaminya.
Adegan yang paling saya suka dari Parasite ialah ketika keluarga yang miskin pulang ke rumah di tengah hujan lebat. Menuruni tangga curam menuju rumah yang berada hampir di bawah tanah, sedangkan si kaya rumahnya mesti menanjak berbukit-bukit.
Rumah si miskin habis kebanjiran hingga toilet meledak-ledak dengan kotoran yang meluap dari tanki yang kebanjiran. Anak perempuan yang begitu jago menipu duduk di atas toilet tersebut. Sungguh sebuah mahakarya sinema dengan imaji yang tak terlupakan.
Hari ini Parasite dan Oscar sudah membayar rasa sakit hati saya di 2013 ketika Amour dan Haneke tidak menang. Hari yang sangat baik untuk sinema Asia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved