Sabtu 08 Februari 2020, 06:00 WIB

Menjaga Pers, Menjaga Aset Perjuangan

Asep Setiawan Anggota Dewan Pers | Opini
Menjaga Pers, Menjaga Aset Perjuangan

Dok Dewanpers

 

PERS nasional menghadapi tantangan berat. Informasi yang dihasilkan sering kali tidak lagi menjadi panduan publik, model bisnis pers juga telah berubah.

Teknologi telah membuka pintu bagi semua orang--bahkan mereka yang tidak mengetahui bagaimana seharusnya membuat berita--untuk menghasilkan berita, kabar, opini, pendapat, bahkan sampai pada tahap fake news (berita palsu). Ya, teknologi memungkinkan semua pengguna gadget di Indonesia, yang melebihi 100 juta orang, mampu memberikan pendapat dan menyebarkan informasi.

Tulisan ini ingin menjadikan momentum Hari Pers Nasional untuk membuat refleksi bahwa semua elemen bangsa sudah saatnya menjaga aset pers nasional. Pertama, aset pers nasional merupakan alat perjuangan bangsa Indonesia yang sudah sejak lahirnya menjadi sumber informasi yang inspiratif untuk membangun. Kedua, aset pers nasional ini juga menjadi bagian kekuatan bangsa yang apabila tidak dirawat akan mencelakakan bangsa.

Alat perjuangan

Pers Indonesia seperti halnya pers di berbagai negara, memiliki nilai-nilai idealisme yang tidak dapat dilepaskan dari lahirnya pers itu sendiri. Pers nasional memiliki nilai-nilai ideal sejak muncul di Indonesia, bahkan sejak sebelum Indonesia lahir sebagai sebuah alat perjuangan untuk memajukan bangsa.

Jauh menjelang kemerdekaan, Bapak Bangsa Soekarno menggunakan pendapat dan opini bahkan analisisnya sebagai bahan bakar perjuangan memerdekakan Indonesia.

Demikian juga ketika proklamasi kemerdekaan, radio menjadi alat perjuangan menyebarkan suara Bung Karno ketika membacakan naskah proklamasi, yang menjadikan bangsa Indonesia bebas dari penjajahan.

Kehadiran pers seperti radio dan surat kabar saat itu dirasakan sebagai sebuah berkah karena masyarakat Indonesia mampu menerima informasi yang benar sekaligus memberikan solusi bagi kehidupan bangsa ini.

Di sinilah pers memainkan perannya yang utama sebagai pemberi informasi sekaligus edukasi bagi bangsa. Ketika teknologi masih sederhana dan pers dikelola wartawan profesional, informasi yang disiarkan dan dicetak juga mampu memberikan pencerahan kepada masyarakat.

Memang pers ketika era Orde Baru mendapatkan tekanan besar karena kebijakan terhadap pers nasional berubah. Namun, esensi pers sebagai alat perjuangan membangun demokrasi tidak pernah berhenti. Berbagai cara dilakukan media cetak, terutama untuk menyuarakan perlunya kehidupan demokrasi ditegakkan. Perlunya kebebasan berpendapat dijaga dan dirawat semua pihak. Pers nasional kembali memainkan perannya sebagai alat menyuarakan kebebasan di Indonesia demi sehatnya bangsa ini.

Di era Reformasi, ketika kebebasan berbicara dibuka selebar-lebarnya, pers tumbuh pesat karena memang peluangnya besar dan pemerintah memberikan kesempatan seluas-luasnya menjadikan pers sebagai media massa yang hidup dalam sistem demokrasi Pancasila.

Undang-undang Pers No 40 Tahun 1999 yang lahir pada masa pemerintahan BJ Habibie menjadi momentum tepat untuk menata ulang pers nasional.

Pers nasional memiliki peran sebagai media yang memberikan informasi, edukasi, hiburan, dan bahkan sebagai lembaga yang melakukan kontrol sosial. Kemudahan mendirikan lembaga pers setelah 1999 menjadikan pers nasional hidup dalam lingkungan baru dan kebebasan dibuka seluas-luasnya.

Dari alat perjuangan, kadang melenceng menjadi alat ekonomi dan politik, yang kemudian perlu publik menjaga secara bersama agar aset nasional ini tetap pada kiprahnya, menjadikan masyarakat cerdas dan dewasa dalam berbangsa dan bernegara. Dengan segala kelemahan dalam pers saat ini, kalau melihat perjalanan sejarah pers, aset bangsa ini perlu dijaga bersama agar tetap pada relnya sebagai alat perjuangan nasional.

Kekuatan bangsa

Jika kita menengok lanskap pers saat ini memang telah berubah. Seperti sudah dijelaskan di depan karena kemudahan teknologi dan kehadiran media sosial menjadikan pers bukan menjadi satu-satunya andalan dalam menerima informasi dan berita.

Pers tidak lagi penyedia tunggal informasi dan bahkan opini bagi publik karena publik dapat membuat berita tandingan dan mengonsumsi informasi sesuai dengan kehendaknya.

Itulah kemudian era ini disebut post-truth karena berita yang dipercaya bukan berita yang benar, akurat, dan berimbang, tapi yang sesuai dengan persepsi kebenaran yang dianutnya. Itulah mengapa ada produsen berita palsu dan ada konsumennya yang juga ikut menyebarkan.

Jika pers dibiarkan lemah dan mati karena para penyedia informasi palsu dan tidak profesional melalui kemudahan teknologi dan aplikasi ini dibiarkan menguasai publik, dapat diperkirakan munculnya berbagai masalah baru yang tidak mudah diselesaikan. Munculnya ujaran kebencian yang dipelihara sebagian masyarakat ialah bagian dari lanskap media yang sudah berubah.

Dengan kondisi seperti itulah pers sebenarnya menjadi kekuatan nasional yang dapat menjaga negeri ini dari pecah belah dan menjaga optimisme tetap ke depan sebagai satu bangsa. Pers telah menjadi aset perjuangan bangsa Indonesia di tengah era globalisasi informasi ini. Pers diperlukan kehadirannya karena telah memainkan peran penting dalam perjalanan bangsa ini.

Menjaga pers sebagai aset perjuangan bangsa ini berarti masyarakat peduli akan keberadaan pers, dengan menjaganya tetap profesional dan menempatkan idealismenya yang mampu mencerdaskan bangsa.

Dengan kepedulian menjaga pers ini, konsumsi terhadap berita tetap mengandalkan pers nasional yang sudah seharusnya berada dalam napas perjuangan bangsa ini, tidak semata-mata mencari keuntungan ekonomi. Selamat Hari Pers Nasional!.

Baca Juga

Ilustrasi

Marketplace dan Quo Vadis Profesi Guru

👤Cecep Darmawan Guru Besar dan Ketua Prodi Magister dan Doktor Pendidikan Kewarganegaraan FPIPS UPI 🕔Jumat 09 Juni 2023, 05:05 WIB
KEBIJAKAN pendidikan nasional kembali disorot. Kini wacana marketplace guru yang dirancang oleh Kementerian Pendidikan,...
MI/Seno

Brutalisasi Politik dan Munculnya Zombie Politik

👤Pius Rengka Mahasiswa Doktoral Studi Pembangunan UKSW, Salatiga 🕔Jumat 09 Juni 2023, 05:00 WIB
FILSUF Hannah Arendt (agak) keliru. Arendt keliru, tatkala dia menduga pendidikan sebagai salah satu...
MI/Seno

Mengapa Jepang Abaikan Protes Global atas Limbah Nuklir di Samudra Pasifik?

👤Esa Elmira Pemerhati sosial dan peminat masalah lingkungan 🕔Kamis 08 Juni 2023, 05:10 WIB
Jepang mengklaim bahwa air limbah, yang mengandung isotop radioaktif yang disebut tritium dan kemungkinan jejak radioaktif lainnya, akan...

E-Paper Media Indonesia

Baca E-Paper

Berita Terkini

Selengkapnya

BenihBaik.com

Selengkapnya

MG News

Selengkapnya

Berita Populer

Selengkapnya

Berita Weekend

Selengkapnya