Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
TENTU ketika Perhimpunan Indonesia, Indonesische Vereniging (1924), dideklarasikan dan Hatta menulis Indonesia Merdeka (Indonesia Vrije) sebagai pleidoi di Den Haag (1928) karena dianggap telah menghina Hindia Belanda, Partai Komunis Hindia Belanda mengubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (1924). Bung Karno membacakan pembelaan Indonesia Menggugat (1930) setelah sebelumnya mendirikan Partai Nasional Indonesia (1925) yang diawali Algeemene Studi Club. Tan Malaka menulis dari tanah pelarian, Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia), pada 1925, frasa 'Indonesia' saat itu belum mewujud menjadi sebuah negara.
Secara kolektif 'Indonesia' juga digemakan pada kongres pemuda pertama (1926) yang dihadiri Jong-Java, Jong Sumatranen Bond, Jong Islamieten Bond, Sekar Roekoen, JongBatak, Jong Theosofen Bond, Ambonsche Studeerenden, Minahassache Studeerenden, Studieclub Indonesia, Boedi Oetomo, Moehammadijah yang menyerukan, "Rakyat Indonesia dari seluruh pulau, bersatulah."
Dan lebih bergema lagi dalam Sumpah Pemuda pada 1928 yang menghasilkan rumusan 'Satu bangsa, satu bahasa, dan satu tanah air' dengan teks lengkap: 'Pertama. Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah-darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedua. Kami poetera dan poeteri Indonesa mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga. Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia'. Bahkan dibuka pula dengan lagu Indonesia Raya ciptaan WR Supratman.
'Indonesia' tiba-tiba hadir menjadi kebutuhan bersama. Masyarakat yang berbeda etnik, suku, agama dan kebudayaan mereka digerakkan mimpi serupa tentang sebuah 'negara' yang bisa terbebas dari sekapan kolonialisasi Belanda. Demi mimpi itu mereka rela mengorbankan darah, air mata, dan hartanya. Manusia pergerakan siap diajukan ke pengadilan bahkan dibuang ke pengasingan.
Konsolidasi ingatan dan kesadaran ini yang kian mempercepat Hindia Belanda mengalami 'hamil tua' yang kemudian puncaknya pada 17 Agustus 1945 diproklamasikan Soekarno-Hatta di Gang Pegangsaan Timur: 'Atas nama bangsa Indonesia'. Persoalan Belanda tidak mengakui, ini hal lain.
Secara politis tanggal itu menjadi keramat dan teks proklamasi itu menjadi rajah politik yang kuat karena sejak saat itu mimpi besar telah direngkuh.
Atas nama mimpi ini Hindia Belanda yang merasa berhak kembali lagi ke tanah jajahannya dengan keberanian tuntas dihadang rakyat baik lewat kontak fisik ataupun melalui jalur diplomasi seperti terekam dalam Perang Surabaya November 1945, Perjanjian Linggarjati 1946, Perjanjian Roem-Royen, pertempuran Yogyakarta 1948, Konferensi Meja Bundar 1949 di Den Haag yang menghasilkan 'penyerahan kedaulatan' dan serangkaian peristiwa lainnya.
Seandainya Belanda saja bisa dihalau, apatah lagi gerakan separatis seperti PKI, PRRI, DI, dan lainnya yang diekspresikan sesama warga karena perbedaan sudut politik atau persimpangan perebutan kekuasaan dengan mudah dapat dipatahkan. 'Persatuan dan Kesatuan' menjadi narasi besar dan seolah menjadi kesepakatan bersama yang tidak boleh dikorbankan atas nama apa pun malah dianggitnya kearifan perenial yang hidup pada abad ke-14 lewat buku Sutasoma-nya Emu Tantular, Bhinneka Tunggal Ika. Berbeda tapi satu.
Tubuh keindonesiaan
Sejak proklamasi sesungguhnya roh 'Indonesia' itu menemukan tubuh politisnya. Apa yang tempo hari dibayangkan tentang 'nasionalisme' menemukan tautan tanah airnya yang merdeka. Mungkin ini yang dibilang mendiang Anderson sebagai imaji komunitas politik kebangsaan. Orang mufakat bersatu karena didorong sebuah imajinasi, dipersatukan tersebab memiliki kesamaan nasib ketertindasan.
Nasionalisme sebagai sikap mental di mana loyalitas sepenuhnya dipersembahkan untuk bangsa dan negara (Britanica Encyclopaedia, 1956), sekaligus sebagai paham yang memberikan peneguhan tentang prinsip-prinsip hak-hak kewarganegaraan (citizenship). Nasionalisme yang pada gilirannya membentuk 'wawasan nasional' dengan mensyaratkan terpenuhinya lima prinsip pokok (Sartono Kartodirdjo, 1992). Yakni, (1) kesatuan yang dinyatakan sebagai conditio sine qua non, syarat mutlak yang harus ada, (2) kemerdekaan, (3) persamaan bagi setiap warga untuk mengembangkan potensi dan kemampuannya masing-masing, (4) kepribadian yang terbentuk dari pengalaman sejarah dan budaya dan, (5) kualitas yang dapat menjadi kebanggaan dan bisa dibanggakan di depan bangsa lain.
Nasionalisme tubuh kebangsaan dengan sejarah yang melintang panjang. Terbentang mulai zaman perjuangan melawan kaum kolonial dan kemudian berlabuh pada upaya pembentukan paham kebangsaan itu. Dalam telaah Organski (1985) seperti dikutip Nasikun (1996), nasionalisme itu semestinya tidak diposisikan sebagai sesuatu yang statis, sebatas kebanggaan atas tanah air tapi harus digarami dengan etos dan etika sehingga pada akhirnya memberikan kesejahteraan bagi warga.
Nasionalisme bergerak dari tahap perkembangan politik kesatuan primitif, kemudian perkembangan politik industrialisasi, tahap selanjutnya politik kesejahteraan nasional dan keempat nasionalisme yang berporos bagi upaya berkembangnya politik kemakmuran.
Kontekstualisasi ingatan
Ingatan (memoria) kebangsaan seperti itulah yang semestinya terus kita rawat. Keindonesiaan semestinya terus disegarkan kembali dengan cara menginjeksikan tindakan politik harian yang akan mempercepat tercapainya kesejahteraan. Politik yang dahulu dibayangkan Bung Karno sebagai siasat mempercepat kemakmuran sudah selekasnya menjadi concern bersama.
Keindonesiaan tanpa kehendak mengisinya dengan tindakan positif hanya akan membuat tubuh itu tinggal tulang belulang. Nasionalisme itu hanya pekik yang kehilangan makna. Dan sekarang situasi seperti ini dapat kita rasakan bersama. Bagaimana tidak hanya menyisakan tulang-belulang kalau kekayaan alam bangsa ini dieksploitasi untuk kepentingan segelintir orang, bumi, dan isinya dikelola bangsa asing dan kita hanya mencicipi sisa-sisanya. Mungkin betul apa yang dirisaukan penyair Sutardji Calzoum Bachri bahwa diam-diam 'tanah air' itu sudah menjelma 'tanah air mata', 'Ke mana pun kalian memandang, akan kalian temukan tumpah darah air mata kami'.
Saya selalu teringat sajak sikat giginya Yudhistira ANM Massardi, "Ketika ia bangun pagi hari/sikat giginya tinggal sepotong/sepotong yang hilang agaknya/tersesat dalam mimpinya dan tak bisa kembali." Dan empat dekade setelah puisi itu ditulis ternyata, 'sakit gigi' itu belum juga sembuh, mungkin sikatnya yang kotor atau kita ditakdirkan Tuhan sebagai bangsa yang terkena abses-karies permanen. Atau giginya sekalian yang harus dilucuti, atau menunggu renta ketika semua gigi secara alamiah satu persatu tanggal.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved