Headline
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.
Oktober 2019, pemerintah akhirnya mengesahkan perubahan kedua UU No 30/2002 tentang KPK. Salah satu isu yang cukup menyita perhatian publik adalah pembentukan dewan pengawas yang nantinya bertugas mengawasi kinerja lembaga antirasuah itu.
Fungsi pengawasan merupakan keniscayaan dalam tata kelola pemerintahan yang baik dan demokratis. Menurut para pakar 'reformasi sektor keamanan'--seperti Nicole Ball dan Herbert Wulf, keberadaan badan pengawas amat instrumental bagi terselenggaranya transparansi dan akuntabilitas di sektor keamanan.
Fungsi pengawasan diharapkan mampu melindungi aparat penegakan hukum dari gangguan atau intervensi politik dan sekaligus mencegah mereka terlibat politik praktis.
Selain KPK, tuntutan demokrasi atas akuntabilitas berlaku setara pada instansi kepolisian. UU No 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) mengamanatkan pembentukan Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Tugas pokok komisi ini adalah membantu Presiden menetapkan arah kebijakan Polri, dan memberikan pertimbangan dalam pengangkatan dan pemberhentian Kepala Polri.
Guna kepentingan tersebut, Kompolnas berwenang untuk pertama, mengumpulkan dan menganalisis data sebagai bahan pemberian saran mengenai anggaran, pengembangan SDM dan pembangunan sarana maupun prasarana Polri.
Kedua, memberikan saran dan pertimbangan lain dalam upaya mewujudkan Polri yang profesional dan mandiri. Dan, ketiga, menerima saran dan keluhan dari masyarakat tentang kinerja kepolisian dan menyampaikannya kepada Presiden.
Perpres No 17/2011 juga mengatur tugas pengawasan Kompolnas atas Polri. Anggota Kompolnas tidak sebatas menerima dan meneruskan saran dan keluhan publik kepada Polri, tetapi juga dapat melakukan klarifikasi dan pemantauan terhadap proses tindak lanjut tersebut.
Selain mengikuti pemeriksaan dan gelar perkara atas kasus pelanggaran disiplin dan kode etik oleh anggota Polri, Kompolnas juga berhak meminta pemeriksaan ulang atau tambahan yang telah dilakukan satuan pengawas internal di kepolisian.
Sayangnya, Kompolnas belum cukup optimal menjalankan peran dan tanggung jawab institusionalnya. Perhatian dan waktu anggota Kompolnas cenderung tersita pada penanganan laporan-laporan keluhan masyarakat mengenai penyalahgunaan wewenang oleh aparat kepolisian, alih-alih memberikan saran kebijakan untuk mendukung reformasi Polri.
Akibatnya, pengawasan Kompolnas cenderung kurang efektif dalam memperbaiki kinerja Polri dalam jangka panjang. Jika hanya sebatas menerima laporan keluhan publik dan memantau tindak lanjutnya, tugas tersebut sebenarnya telah dilakukan lembaga pengawas independen yang sudah ada--seperti Ombudsman ataupun satuan-satuan pengawas internal di Polri.
Padahal, tugas pokok Kompolnas adalah membantu Presiden menetapkan kebijakan perpolisian nasional. Anggota Kompolnas perlu berperan lebih aktif dalam merumuskan berbagai rekomendasi kebijakan. Misalnya, strategi nasional pencegahan dan pemberantasan tindak pidana, rencana strategis pengembangan postur Polri, saran perbaikan sistem rekrutmen dan pembinaan personil kepolisian.
Usulan kebijakan seperti itu amat diperlukan Polri sebagai pedoman dalam menyusun peraturan dan prosedur internal bagi pelaksanaan tugas-tugas kepolisian. Singkatnya, pelaksanaan kewenangan Kompolnas semestinya diarahkan untuk membawa dampak strategis berupa perbaikan-perbaikan pada tataran operasional kepolisian.
Kekurangoptimalan Kompolnas dalam menegakkan akuntabilitas fungsional atas Polri, diantaranya terkait dengan susunan keanggotaannya. Berdasarkan Perpres No 17/2011, anggota Kompolnas berasal dari unsur-unsur pemerintah, pakar kepolisian, dan tokoh masyarakat. Saat ini unsur pemerintah diwakili Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, serta Menteri Dalam Negeri.
Mengingat beban tanggung jawab mereka pada kementerian masing-masing, ketiga pejabat tinggi negara ex- officio tersebut kerap menghadapi kesulitan untuk bekerja secara intensif bersama anggota Kompolnas lainnya. Sementara itu, Kompolnas harus mengemban tugas besar untuk mengawasi kinerja kepolisian nasional. Sangat wajar apabila Kompolnas mengalami kesulitan dalam merumuskan dan mengusulkan sebuah kebijakan kepolisian nasional kepada Presiden.
Dalam waktu dekat, Presiden Joko Widodo perlu mempertimbangkan tiga langkah strategis. Pertama, mengkaji kembali substansi Perpres No 17/2011. Pengaturan tentang struktur organisasi dan tata kerja Kompolnas perlu diperbarui untuk mendukung efektivitas pelaksanaan tugas pokoknya.
Kedua, mempersiapkan proses seleksi keanggotaan Kompolnas 2020-2024. Guna menghindari kekosongan jabatan, pemerintah harus melantik anggota Kompolnas baru paling lambat Mei 2020.
Ketiga, menyediakan dukungan sumber daya yang lebih memadai bagi Kompolnas. Pada 2019, misalnya, pemerintah hanya mengalokasikan sekitar Rp16 miliar untuk mendukung manajemen dan pelaksanaan tugas teknis Kompolnas.
Tak kalah penting pula, Komisi III DPR hendaknya menjadikan Kompolnas sebagai mitra kerja guna memperkuat legitimasi kelembagaannya dalam menegakkan fungsi 'kendali demokratik' atas Polri.
Komitmen memperkuat fungsi pengawasan hendaknya tidak diberlakukan secara eksklusif pada instansi penegak hukum tertentu.
Serupa dengan Kompolnas dan Dewan Pengawas KPK, terobosan kebijakan diperlukan untuk memperkuat peran Komisi Kejaksaan guna mengawasi kinerja kejaksaan ke depan. Pendek kata, revitalisasi fungsi lembaga pengawasan diharapkan dapat menjadi 'warisan' (legacy) Presiden Jokowi di bidang penegakan hukum bagi bangsa Indonesia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved