Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
MASALAH peredaran benih kembali membuat berita. Kali ini terkait dengan benih padi varietas IF 8 di Aceh. Karena mengedarkan benih padi varietas IF 8 yang belum dilepas dan tidak bersertifikat, Munirwan harus berurusan dengan polisi (Kompas, 29 Juli 2019). Sebagaimana berbagai kasus sebelumnya, untuk kasus padi Varietas IF 8 ini, dikesankan pemerintah tidak berpihak kepada inisiatif petani kecil. Akibatnya, aparat yang berhubungan langsung dengan kasus ini dicerca berbagai pihak.
Bila dirunut secara jernih, harusnya kasus ini tidak perlu terjadi, bila semua pihak memahami dan melaksanakan berbagai regulasi yang ada. Peredaran benih diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, yang pada ayat 1 disebutkan varietas hasil pemuliaan atau introduksi dari luar negeri sebelum diedarkan terlebih dahulu dilepas pemerintah.
Pelepasan ialah bentuk pengakuan pemerintah terhadap keunggulan suatu varietas, setelah menjalani serangkaian pengujian yang meliputi uji adaptasi, uji ketahanan terhadap hama dan penyakit, uji mutu hasil, dan produksi benih. Semua proses itu dimaksudkan untuk melindungi petani pengguna benih agar mereka memperoleh benih bermutu untuk ditanam di lahannya.
Ketentuan Pasal 12 ayat 1 ini memang telah dilakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2012. Berdasarkan putusan MK Nomor 99/PUU-X/2012 disebutkan antara lain khusus terhadap varietas hasil pemuliaan yang dilakukan perorangan petani kecil dalam negeri untuk komunitas sendiri, tidak diharuskan adanya pelepasan pemerintah. Pengedaran untuk komunitasnya sendiri dapat dilakukan tanpa adanya pelepasan oleh pemerintah.
Ketentuan inilah yang dipakai Munirwan dalam mengedarkan benih IF 8 di Aceh. Benih IF 8 merupakan varietas hasil pemuliaan petani kecil, anggota Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) di Karang Anyar, Jawa Tengah, dan benih ini dibawa AB2TI ke Aceh.
Munirwan sebagai Ketua AB2TI Aceh Utara, pada awalnya mengedarkan benih IF 8 dalam komunitas AB2TI. Posisi Munirwan yang juga sebagai kepala gampong atau kepala desa memungkinkan yang bersangkutan untuk mempromosikan benih IF 8 dalam berbagai kegiatan terkait dengan desa. Hal itu mendorong terjadinya peningkatan minat petani di luar AB2TI untuk mencoba benih padi IF 8. Permintaan terhadap benih IF 8 terus meningkat. Pada tahap ini peredaran benih di luar komunitas tidak bisa lagi dikontrol. Pemanggilan Munirwan oleh polisi karena yang bersangkutan telah mengedarkan benih yang belum dilepas di luar komunitasnya.
Hasil pengamatan Pengawas Benih Tanaman Kabupaten Aceh Utara, ternyata produktivitas IF 8, belum sepenuhnya seperti yang diklaim para pihak yang mengedarkan benih ini, terutama untuk penggunaan benih pada pertanaman kedua dan seterusnya. Selain itu, fungsional pengendali organisme pengganggu tumbuhan (POPT) Aceh Utara, juga menemukan beberapa pertanaman IF 8 telah diserang hama wereng batang cokelat. Kondisi itu tentu merugikan petani dan karena benih ini belum dilepas, jadinya kepemilikannya tidak jelas, sehingga pihak yang bertanggung jawab melakukan penarikan varietas sebagai bagian dari kegiatan pengawasan oleh pemerintah. Hal itu, sesuai Peraturan Menteri Pertanian No 40 Tahun 2017 tentang Pelepasan Varietas Tanaman, tidak bisa dilakukan.
Pemerintah dan industri benih
Seandainya AB2TI sebelum membawa benihnya ke Aceh telah dilepas terlebih dahulu, berbagai persoalan di atas tidak akan terjadi. Terkait dengan proses pelepasan yang banyak dikeluhkan karena mahal dan lamanya waktu pengujian, Kementerian Pertanian (Kementan) terus melakukan perbaikan dalam proses pengujian. Untuk pemulia petani kecil, proses pelepasan tidak memerlukan biaya karena proses pengujian dilakukan pada institusi milik pemerintah.
Dalam pengembangan industri benih di dalam negeri, posisi pemerintah memberikan kesempatan yang seimbang kepada tiga kelompok utama, yaitu 1. Inisiatif petani kecil secara perorangan atau komunal, 2. Perusahaan benih BUMN, swasta termasuk multinasional, serta 3. Lembaga penelitian pemerintah dan perguruan tinggi.
Sejarah industri perbenihan pada awalnya merupakan aktivitas petani secara perorangan atau komunal. Domestikasi beberapa tanaman liar dilakukan petani dan untuk benih, petani yang awalnya melakukan pemilihan dan pemilahan dari hasil produksi terbaik mereka sendiri. Benih ini disimpan dan dipertukarkan di antara para petani. Pola ini masih banyak ditemui di berbagai tempat.
Secara internasional inisiatif petani semacam ini dipayungi dalam kesepakatan internasional tentang Sumber Daya Genetik Tanaman untuk Pangan dan Pertanian, atau International Treaty on Plant Genetic Resources for Food and Agriculture (ITPGRFA), terutama pada Pasal 9 tentang Hak-Hak Petani atau farmers' rights. Indonesia telah meratifikasi kesepakatan ini dengan Undang-Undang No 4 Tahun 2006, sehingga Indonesia mengakui hak petani terkait dengan benih. Inisiatif petani ini diharapkan juga dapat menjaga keberagaman sumber daya genetik yang kita miliki.
Kegiatan pemuliaan yang berbasis ilmu genetika berkembang dari yang konvensional sampai yang modern. Untuk yang terakhir ini antara lain ditandai dengan penggunaan marka molekuler untuk mempermudah dalam mengidentifikasi sifat unggul yang ingin diturunkan pada benih yang dihasilkan. Rekayasa genetik merupakan bentuk lain yang dikembangkan dan banyak menimbulkan kontroversi. Saat ini pemulia mengembangkan smart breeding yang lebih ramah lingkungan.
Semua perkembangan itu berjalan beringan dengan revolusi hijau, yang menghendaki keseragaman dan ketergantungan yang tinggi pada benih dari hasil industri. Kondisi inilah yang melahirkan beberapa raksasa industri benih di dunia. Sebelum 2015, di dunia perbenihan dikenal dengan istilah 'big six', yaitu enam perusahaan yang menguasai perbenihan dunia, yaitu Syngenta (Swiss), Bayer (Jerman), BASF (Jerman), DuPont (AS), Monsanto (AS) dan DOW (AS). Keenam perusahaan mengontrol sekitar 60% peredaran benih di dunia. Saat ini hanya 4 perusahaan yang menguasai sekitar 70% pasar benih dunia, setelah terjadi akuisisi di antara beberapa perusahaan di atas, dan masuknya perusahaan Chem Tiongkok yang mengakuisisi Syngenta.
Kebijakan benih di dunia banyak diwarnai kepentingan para raksasa ini. Melalui Konvensi Internasional bagi Perlindungan Varietas Tanaman pada 1961 atau Union Pour la Protection des Obtentions Vegetables (UPOV), diberilah perlindungan bagi hak-hak pemulia atau breeders' rights, yang menjadi dasar dalam penguasaan pasar benih oleh beberapa perusahaan. Terlebih setelah adanya kesepakatan dalam World Trade Organization yang mengadopsi Agreement on Trade-Related Aspects of intellectual Property Right (TRIPS) pada 1994, yang setiap negara yang meratifikasi kesepakatan perdagangan dunia, diminta untuk membuat perlindungan terhadap varietas tanaman yang mereka perdagangkan.
Indonesia sebagai anggota WTO menerbitkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Indonesia mengakui hak pemulia dan lebih memilih Sui Generis tanpa harus menjadi anggota UPOV.
Di antara kepentingan petani dan industri swasta skala besar, ada kegiatan pemuliaan yang dilaksanakan lembaga litbang pemerintah dan perguruan tinggi, yang produknya lebih banyak sebagai publik domain. Kegiatan yang dilakukan litbang pemerintah dan perguruan tinggi tersebar hampir pada semua komoditas, dan dimaksudkan sebagai penyeimbang serta melaksanakan pemuliaan yang tidak dikembangkan pihak lain, termasuk multinasional.
Untuk komoditas pangan utama seperti padi, perannya sangat dominan. Lebih dari 90% varietas padi yang digunakan petani merupakan hasil litbang pemerintah. Benih itu tersebar di masyarakat dan dikembangkan ribuan penangkar. Di sini peran perusahaan besar sangat kecil, sehingga untuk kasus Munirwan, misalnya, tidak masuk akal bila ada yang beranggapan adanya kepentingan perusahaan besar di belakang kasus ini.
Berbagai regulasi yang dibuat pemerintah dimaksudkan untuk memberikan peran yang seimbang kepada ketiga kelompok pelaku di atas, dan juga melindungi kepentingan petani. Pada ujungnya tentu diharapkan semua dapat secara optimal menyediakan benih unggul yang lebih beragam dan harga terjangkau, sehingga petani memunyai beragam pilihan untuk ditanam di lahannya.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved