Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Salah Menilai Ancaman IS

Ibnu Burdah Pemerhati Timur Tengah dan Dunia Islam Koordinator Kajian Timur Tengah Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
16/1/2016 14:00
Salah Menilai Ancaman IS
(MI/PATA AREADI)

AKSI brutal kelompok Islamic State (IS) kembali memakan korban.

Setelah mereka berhasil melakukan rentetan kekejian di wilayah Timur Tengah dan Barat, kini kelompok itu melakukan aksi serupa di wilayah Timur.

Jakarta, ibu kota negeri kita, berada jauh di sebelah timur dari teritorium utama mereka di Irak dan Suriah.

Pengamanan ekstra ketat pada saat Natal dan Tahun Baru membuat sel-sel kelompok itu tiarap sementara.

Pada saat kita mulai merasa aman dari ancaman IS, mereka beraksi.

Itulah persoalan krusial dalam menghadapi sel-sel kelompok teroris seperti IS dan Al-Qaeda selama ini.

Persoalan serupa juga dialami Yaman ketika kelompok ini melakukan pembunuhan Wali Kota Eden.

Demikian pula kekerasan yang mereka lakukan di area wisata pantai utara Tunisia dan juga di Suruc, Turki.

Kelompok keji itu justru beraksi ketika psikologi masyarakat dan aparat mulai merasa aman dari ancaman mereka.

Persoalan 'merasa aman' atau salah penilaian terhadap potensi ancaman mereka selama ini memang jadi salah satu sebab membesarnya kelompok itu.

Potensi ancaman dari kelompok itu sesungguhnya jauh lebih besar daripada yang diduga banyak kalangan.

Penetrasi

Dulu masyarakat Barat mengira bahwa kelompok itu, kendati sangat brutal, tak akan 'mengusik' ketenangan hidup mereka di negeri Eropa atau Amerika.

Faktanya kelompok itu ternyata mampu melakukan penetrasi begitu dalam ke negeri-negeri Eropa dan AS.

Pascaaksi brutal di Paris, Prancis, negara-negara Barat tersadar dengan kemampuan kelompok itu.

Mereka mampu melakukan banyak hal yang pendahulunya, tandzim Al-Qaeda, tak mampu melakukannya.

Pemerintah Amerika Serikat dan negara Eropa Barat lain semula juga mengira bahwa IS mudah ditaklukkan.

Itu ternyata tak terjadi hingga saat ini kendati mereka dikeroyok kekuatan-kekuatan besar dari berbagai penjuru baik darat, laut, maupun udara.

Baik kekuatan regional maupun internasional.

Hingga saat ini, negara-negara besar kawasan dan internasional, termasuk Rusia, hanya mengirim kekuatan dari udara untuk menggempur kantong-kantong IS di Irak dan Suriah.

Faktanya hingga kini gempuran itu tak membuahkan hasil besar kendati didukung pasukan darat Irak, Kurdi, dan barisan milisi.

Jauh sebelumnya, ketika IS belum terbentuk, pasukan AS di Irak dan militer Irak juga salah estimasi terhadap Ibrahim bin Awad. Tokoh itu pernah meringkuk di penjara mereka beberapa lama.

Akan tetapi, mereka menyimpulkan orang itu tak memiliki potensi membahayakan.

Karena itu, tokoh yang kemudian berjuluk Abu Bakar al-Baghdadi itu kemudian dilepaskan.

Tokoh itu ternyata tak seperti diduga.

Ia jauh lebih berbahaya bahkan jika dibandingkan dengan Osama bin Laden ataupun penggantinya, Ayman Adz-Dzawahiri.

Tokoh yang selama dalam penjara dikenal sangat ramah dan rendah hati itu ternyata menyimpan rencana besar, strategi yang masuk akal dan terencana dengan baik.

Rencana itu melampaui proyek Bin Laden yang mengobarkan jihad global melawan Barat, khususnya Amerika Serikat, saat awal berdirinya Al-Qaeda.

Al-Baghdadi tak hanya berobsesi melawan kehadiran Barat di Timur Tengah dan mengusir mereka.

Namun, ia ternyata juga melawan siapa saja yang ia kategorikan sebagai thaghut, yakni semua pihak yang tak mendukung kelompoknya.

Karena itu, kelompok itu tak seperti diduga sebelumnya yang sangat anti-Syiah saja, tetapi juga anti terhadap kelompok-kelompok Sunni yang tak berpihak kepada mereka.

Ia menjadi ancaman bagi semua pihak di kawasan Timur Tengah, dunia Islam, bahkan seluruh kehidupan umat manusia.

Basis teritorium

Tidak hanya itu, Al-Baghdadi ternyata merasa tak cukup dengan strategi seperti Al-Qaeda yang hanya jadi 'sel' yang melakukan aksi kekerasan di mana-mana.

Al-Baghdadi ingin melengkapi strategi itu dengan pendirian negara ideal seperti keinginannya. Negara itu baginya tak hanya menjadi tempat hijrah para kombatan muslim dan yang setuju dengan mereka, tapi juga sebagai basis untuk menyiapkan penghancuran terhadap musuh-musuh.

Dengan basis teritorium yang begitu luas saat ini, jumlah kombatan begitu besar dan sepertinya terus meningkat, sumber daya alam dan manusia yang begitu kuat terutama anak muda, negara yang didirikan Al-Baghdadi benar-benar memproduksi gelombang ancaman yang semakin besar ke seluruh dunia.

Lebih celaka lagi, ada dugaan kelompok itu mulai mengembangkan senjata-senjata yang sifatnya nonkonvensional.

Mereka memang telah berhasil menguasai gudang-gudang senjata militer di Irak, Suriah, dan Libia.

Mereka juga memiliki tenaga ahli dalam berbagai bidang.

Itu jelas menjadi modal penting mereka.

Ambisi kelompok itu untuk menguasai senjata nonkonvensional tentu sangat besar.

Dengan ideologi sedemikian ekstrem dan manajemen negara yang modern, negara produsen teror pimpinan Al-Baghdadi sangat mungkin memiliki peluang untuk mencapai senjata nonkonvensional kendati dalam level yang minimal.

Jika itu terjadi sebagaimana diduga beberapa peneliti teroris, itu benar-benar akan jadi ancaman serius bagi survival kemanusiaan.

Taruhannya sangat besar jika kelompok itu tak segera dilenyapkan dari muka bumi.

Oleh karena itu, sikap merasa aman atau underestimate terhadap negara Al-Baghdadi itu sungguh bisa membahayakan.

Semua dugaan itu tak perlu ditunggu untuk menjadi kenyataan.

Cukup tragedi Eden, Suruc, penembakan pesawat Rusia di Sinai, pengeboman di Tunisia, Libanon, Kuwait, Arab Saudi, tragedi Paris, dan teror Jakarta menjadi pelajaran bagi semua pihak.

Bahwa merasa aman, bahkan merendahkan kemampuan terhadap IS, hanya akan memperbesar ancaman mereka di masa yang akan datang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya