Headline

Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.

Fokus

Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.

Kunti yang Terzalimi

Ono Sarwono
03/8/2019 23:00
Kunti yang Terzalimi
Opini(MI)

KASUS terpidana Baiq Nuril Maknun, yang baru saja mendapat amnesti Presiden Joko Widodo, menjadi bukti bahwa hukum ternyata tidak selalu melahirkan keadilan. Hukum seperti telah terdegradasi menjadi sekadar cara menyelesaikan masalah, bukan tempat mewujudkan keadilan. 

Itu bisa saja terjadi akibat hukum (pengadil) hanya berpijak pada teks dalam pasal juncto pasal undang-undang tanpa mengakar pada rohnya, yakni moral dan nurani. Inilah kerentanan hukum kita. Hukum semestinya dijangkarkan pada ‘sukma’-nya sehingga benar-benar adil.

Kisah hilangnya keadilan dalam hukum juga pernah terjadi di dunia pakeliran, yakni di Negara Mandura pada rezim Prabu Basukunti. Korbannya malah bukan rakyat biasa, melainkan sang putri kedhaton, Kunti, yang ialah satu-satunya putri sang raja sendiri.


Mengandung

Syahdan, sudah sekian lama Kunti tidak menghadap orangtuanya, Prabu Basukunti-Dewi Dayita. Ketidakmunculannya bukan saja dalam acara resmi, melainkan juga nonformal, keluarga. Basudewa, Arya Prabu Rukma, dan Ugrasena pun merasa kehilangan Kunti, saudari kandung mereka, yang bak lenyap ditelan bumi.

Barangkali karena kesibukan masing-masing, mereka tidak menyadari bila sudah beberapa waktu Kunti tidak tampak. Inilah yang kemudian membuat Basukunti memerintahkan putra sulungnya, Basudewa, untuk memastikan keberadaan Kunti, di mana dan apa yang terjadi pada putrinya.

Bergegas Basudewa mendatangi taman keputren yang menjadi tempat tinggal Kunti. Kehadiran sang putra mahkota disambut hangat Cangik dan Limbuk. Kepada dua abdi dalem itu, Basudewa menyatakan dirinya ingin bertemu Kunti. Cangik dengan sopan matur bahwa momongannya (Kunti) sedang sakit dan hanya bisa tiduran di dalam kamar.

Basudewa kaget. Hatinya bergumam, kenapa adiknya sudah sekian lama sakit sampai dirinya tidak tahu, padahal sama-sama tinggal dalam satu kompleks istana. Ia kemudian menyegerakan diri ke kamar Kunti.

Tampak di atas kasur, Kunti tidur-tiduran menggunakan selimut tebal. Basudewa bertanya kapada adiknya tentang sakitnya. Ia juga meminta maaf karena sampai tidak punya perhatian, pun saudara lainnya. Basudewa juga menyatakan bahwa kehadirannya atas perintah ayahnda.

Kunti tidak bisa menjelaskan tentang sakitnya. Di depan sang kakak, Kunti hanya terus-menerus menangis tanpa berkata-kata. Berulang kali, dengan rasa kasih sayang, Basudewa menanyakan sakitnya. Namun, lagi-lagi, Kunti alias Prita, hanya menjawab dengan tangisan pilu. 

Pada akhirnya, Basudewa berniat membopong adiknya untuk dibawa ke panti usada guna mendapatkan pengobatan. Namun, Kunti berulang kali menolak keras. Inilah yang membuat Basudewa hilang kesabaran hingga ia memaksa kehendak. Ketika selimut dibuka, Basudewa terbelalak mendapati sang adik perutnya membuncit, sedang mengandung.

Jantung Basudewa berdetak kencang. Ia bingung dan sedih, Kunti yang setahunya belum menikah ternyata sudah mengandung. Ia langsung menyimpulkan bahwa adiknya yang sangat ia sayangi itu telah berbuat sedheng (melenceng). Ini perbuatan melawan hukum dan amoral sehingga mempermalukan keluarga besar raja dan juga bangsa.

Ketika kekecewaannya memuncak dan nyaris berubah menjadi kemarahan yang luar biasa, datanglah Resi Druwasa. Priayi sepuh berjanggut ini ialah brahmana Mandura yang tinggal di pertapaan Jagadwitana. Ia menjadi guru Prabu Basukunti dan putra-putrinya.


Dinyatakan bersalah

Druwasa menjelaskan bahwa kasus yang terjadi pada Kunti bukan kesalahannya. Kunti hanyalah objek pelecehan seksual Bathara Surya, ‘playboy’ dari Kahyangan Ekacakra. 
Lebih lanjut Druwasa menceritakan bahwa jauh sebelumnya, dirinya pernah menghadiahi Kunti semacam smartphone yang bernama ajian putu wekaning tunggal. 
Keistimewaan ajian itu, antara lain bisa memanggil atau menghadirkan siapa pun yang dikehendaki. Druwasa mewanti-wanti agar ajian itu tidak ‘dimainkan’ ketika sedang mandi dan atau melakukan kesembronoan lain.

Entah lupa atau sekadar mencoba-coba, Kunti merapal ajian itu ketika sedang dalam kamar mandi tanpa sehelai benang yang membalutnya. Ia ’call’ Bathara Surya yang pagi itu hangat menyapa bumi. 

Maka dari itu, hadirlah Surya. Karena Kunti tidak bisa menjelaskan alasan mendatangkannya dan hanya gugup adanya, Surya lalu memberikan ‘sanksi’ berupa kama yang ditanam dalam rahim Kunti. Benih itu terus berkembang dalam perut Kunti hingga akhirnya terbuka aibnya.

Basukunti meminta Druwasa mencari jalan keluar agar keluarga istana tidak menanggung malu atas peristiwa tersebut. Dengan kesaktiannya, Druwasa mampu mengeluarkan orok dari rahim Kunti lewat telinga. Dengan demikian, Kunti masih tetap terjaga keperawanannya.

Meski ada solusi, hukum negara mesti ditegakkan. Basukunti memutuskan Kunti harus berpisah dengan bayinya, yang oleh Druwasa diberi nama Karna, yang artinya telinga. Kala itu Kunti memohon agar diberi hak untuk mengasuh Karna karena bagaimanapun ia darah dagingnya sendiri.

Permohonan Kunti ditolak. Bahkan, Karna harus dibuang untuk membersihkan ‘noktah’ keluarga istana. Kunti akhirnya hanya bisa pasrah dalam duka yang mendalam atas hukuman yang dijatuhkan pada dirinya. Druwasa menaruh jabang bayi dalam kendaga, sejenis kotak dari kayu, dan kemudian ia hanyutkan di Sungai Gangga.

Sanksi kepada Kunti tidak sampai di situ. Ia dilarang meninggalkan istana dalam waktu tidak terbatas dan juga tidak boleh bergaul dengan laki-laki bukan keluarganya. Hukuman itu baru berakhir ketika kesatria Astina, Pandu, memenangkan Sayembara Kunti yang digelar di Mandura.

Kunti akhirnya menjadi permaisuri Pandu. Pandu menjadi raja Astina menggantikan ayahanda, Prabu Kresnadwipayana (Abiyasa). Dari pernikahan itu lahirlah tiga putra, yakni Puntadewa, Bratasena, dan Arjuna. Kunti juga menjadi ibu tiri Nakula dan Sadewa.         


Bukan barang suci

Hikmah kisah itu ialah bahwa Kunti yang senyatanya korban, tetapi justru ia dinyatakan bersalah. Pihak yang seharusnya bertanggung jawab, Bathara Surya, tidak memberikan pertolongan (pengakuan) dan membiarkan Kunti sendirian menanggung kasusnya.

Satu sisi yang tidak dipahami Kunti, yang membawanya sebagai ‘terpidana’, ialah ketidaktahuannya akan adanya ekses yang sangat serius ketika menggunakan ‘smartphone’-nya. 

Terkait dengan kasus Baiq, semestinya semua warga paham adanya risiko ketika menggunakan media sosial. Di sana ada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang bisa menjerat siapa saja, meski ia sebagai korban perbuatan amoral sekalipun.

Namun, UU tersebut bukanlah barang suci. Ketika dalam praktiknya justru melahirkan ketidakadilan, selayaknya dikoreksi. Normanya, keadilan sejati tidak akan pernah lahir bila hukum mengingkari nurani. (M-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya