Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

NU, Kiai dan Political Actor

Asep Salahudin Ketua Lakpesdam PWNU Jawa Barat Wakil Rektor IAILM Suryalaya Tasikmalaya
09/5/2019 02:15
NU, Kiai dan Political Actor
Ilustrasi(MI/Seno)

ANTROPOLOG Clifford Geertz dalam The Javanese Kijaji: the Changing Role of a Cultural Broker (1960) yang menyebut kiai sebagai cultural broker. Sebuah istilah yang merujuk kepada peran kiai sebagai penghubung antara pesantren dan kekuasaan. Kiai sebagai penyaring dunia santri dan masyarakat sekitar dengan budaya di luar, sebagai penerjemah tradisionalisme dengan modernisme.

Tentu saja teori Geertz ini sangat relevan untuk memotret peran para kiai terutama kisaran 1950 ketika penelitian itu dilangsungkan. Hari ini, bukan hanya ada banyak perubahan yang semakin menjelaskan bahwa fungsi kiai sebagai cultural broker sudah tidak lagi memadai. Kiai sekarang telah menjadi political broker bahkan bergeser jauh sudah menjadi political actor.

Pascareformasi tidak sedikit kiai yang bukan hanya pendulang suara, melainkan juga ikut terlibat menjadi anggota dewan, bahkan di beberapa tempat menjadi kepala daerah. Sebut saja, misalnya, sebagaimana dalam penelitian Abdul Halim (2014),  KH Fathul Huda (Bupati Tuban), KH Amin Said Husni (Bupati Bondowoso), KH Busyro Karim (Bupati Sumenep), dan KH Robbah Maksum (Bupati Gresik).

Puncaknya ialah ketika kader terbaik NU KH Abdurrahman Wahid menjadi Presiden Indonesia keempat. Seandainya penghitungan quick count pada Pemilu 2019 tidak jauh berbeda dengan real count yang akan ditetapkan pada sidang pleno KPU, kali ini giliran Rais Aam PBNU KH Maruf Amin yang menjadi Wakil Presiden Repubik Indonesia.

Tentu saja ketika kader NU menjadi pejabat publik, posisinya bukan lagi hanya milik NU, tapi juga harus diwakafkan sebagai milik segenap warga. Maka dari itu, pemikiran pejabat itu harus melambangkan sosok negarawan yang melakukan penguatan terhadap upaya perwujudan politik kewargaan yang diacukan pada semangat menebarkan kebajikan publik tanpa melihat asal usul agama, etnik, dan ras.

Plus dan minus

Ketika Kiai berkiprah di politik tentu dua hal yang tak bisa dihindarkan. Pertama, dia harus siap dirisak dan terus dicari kesalahan oleh lawan-lawan politiknya.  

Di pesantren yang relatif homogen, posisi kiai sangat sentral, tidak ada yang berani melakukan bantahan terhadap dawuh kiai, berbeda dengan politik yang sarat intrik, penuh jebakan, dan menjadi sorotan semua orang. Seorang KH Abdurrahman Wahid, pernah dirundung sedemikan rupa sampai jatuh dari takhtanya, hal mana tak mungkin terjadi ketika beliau berkiprah di sektor masyarakat sipil.

Kedua, jabatan politik memungkinkan seseorang melebarkan sayap dakwahnya lewat kebijakan-kebijakan yang memihak orang banyak. Kiai dapat mewarnai jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Apa yang menjadi pemikiran dan platform yang diperjuangkannya ketika berada di luar kekuasaan bisa dieksekusi dengan cepat ketika menjadi penguasa.

Justru di titik ini, kiai dan siapa pun juga sering berada dalam persimpangan ujian yang tidak mudah. Tarik-menarik antara pragmatisme politik dengan idealisme dan moralitas yang diusung dan diyakininya.     

Apabila selamat pada tikungan itu serta mampu memertahankan posisi dan kekuatan moralnya di tengah godaan pesona yang ditawarkan kekuasaan, tentu akan menjadi penanda positif bahwa kiai khususnya dan pesantren pada umumnya telah memberikan sumbangan berarti bagi kehidupan berbangsa.

Dalam istilah Gus Dur, ‘kita tahu, para politikus semuanya bajingan. Nah, Islam justru berfungsi untuk membentuk akhlakul karimah (moral yang baik) agar mereka tidak terlalu mementingkan diri sendiri. Mestinya umat Islam dapat bekerja sama dengan baik agar kepentingan dakwah dan duniawi mereka dapat terwujud selaras. Umat Islam tidak dapat berharap sepenuhnya dari para politikus. Jika mengandalkan para politikus untuk mencapai tujuan terciptanya masyarakat Islam, sama saja dengan menunggu sebuah kebohongan menjadi kebenaran’.

Politik NU

Sudah barang tentu NU bukan organisasi politik dengan orientasi kekuasaan, melainkan organisasi keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah). Namun, di sisi lain politik juga tidak bisa sepenuhnya ditinggalkan.

Masyarakat membutuhkan tindakan-tindakan politik dalam rangka menjaga persatuan dan kesatuan serta mengukuhkan NKRI. KH Sahal Mahfudh menyebutnya dengan politik tingkat tinggi (siyasah ‘aliyah samiyah) Nahdlatul Ulama, yang meliputi politik kebangsaan, politik kerakyatan, dan etika berpolitik.

Menurut Kiai Sahal Mahfudh, politik kekuasaan yang lazim disebut politik tingkat rendah (siayasah safilah) ialah porsi parpol bagi warga negara, termasuk warga NU secara perseorangan. Sementara itu, NU sebagai lembaga atau organisasi harus steril dari politik semacam itu.

Ini juga yang menjadi alasan utama Muktamar ke-28 NU 1989 di Pondok Pesantren Krapyak, Yogyakarta, menyusun sembilan pedoman berpolitik bagi warga NU. Pertama, berpolitik bagi NU mengandung arti keterlibatan warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara secara menyeluruh sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945.

Kedua, politik bagi NU ialah politik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan langkah yang senantiasa menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan untuk mencapai cita-cita bersama, yaitu terwujudnya masyarakat adil dan makmur, lahir dan batin, dan dilakukan sebagai amal ibadah menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Ketiga, politik bagi NU ialah pengembangan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis. Mendidik kedewasaan bangsa untuk menyadari hak, kewajiban, dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.

Keempat, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan moral, etika, dan budaya yang berketuhanan YME. Berperikemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi persatuan Indonesia. Berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Kelima, berpolitik bagi NU haruslah dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama, konstitusional, adil sesuai peraturan dan norma yang disepakati. Selain itu, dapat mengembangkan mekanisme musyawarah dalam memecahkan masalah bersama.

Keenam, berpolitik bagi NU dilakukan untuk memperkukuh konsensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jamaah.

Ketujuh, berpolitik bagi NU, dengan dalih apa pun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.

Kedelapan, perbedaan pandangan di antara aspirasi-aspirasi politik warga NU harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan, tawadu, dan saling menghargai. Itu sehingga dalam berpolitik tetap dijaga persatuan dan kesatuan di lingkungan NU.

Kesembilan, berpolitik bagi NU menuntut komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional untuk menciptakan iklim perkembangan organisiasi kemasyarakatan yang lebih mandiri dan mampu melaksanakan fungsi sebagai sarana masyarakat berserikat, menyalurkan aspirasi, serta berpartisipasi dalam pembangunan.

Ketika sembilan etika berpolitik itu diterapkan, peran kiai sebagai political actor akan membawa kemasalahatan (mashlahah ammah). Sebaliknya, manakala terabaikan, politik akan membawa petaka dan martabat kiai yang menjadi pertaruhannya.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya