Fanny Octavianus dan karyanya.(ANTARA/Prasetyo Utomo)
JUMAT (7/8) siang, dua pekan lalu, panas menyengat di Pasar Baru. Tak hanya di luar jendela, kombinasi terik matahari dan jilatan hawa panas menguar hingga ke dalam Gedung Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA). Panas kian saya rasakan ketika melihat foto-foto tentang Jakarta yang terpampang di dinding gedung bersejarah itu. Jejeran fakta visual karya fotografer Antara Fanny Octavianus itu membuat Jakarta terasa bertambah sumpek dan tak bersahabat.
Foto-foto yang sebagian besar tanpa bingkai tersebut seakan menebarkan aroma kegelisahan. Terbayang sepanjang siang hingga malam ketika mata hendak terpejam, menerbangkan angan sampai lelap hingga kembali terjaga. Membentangkan ruang-ruang kontemplasi. Memberi sekat sunyi. Memantik imajinasi.
Fanny telah menerbitkan karyanya dalam buku bertajuk JKT. Buku itu berisi pengelanaan dan dedikasinya selama 10 tahun sebagai jurnalis foto jempolan. Tiap-tiap imaji yang disajikan bak goresan pena pekat nan tebal yang susah dihapuskan. Bukan seperti coretan di pasir pantai yang buyar ketika tersapu gelombang.
Membaca JKT, serupa membaca jiwa Fanny yang selalu gelisah. Jiwa yang tak lelah berpetualang. Jiwa yang terus berkelana menyusuri sudut-sudut kota.
Dalam buku hitam putih itu sesungguhnya Fanny telah membawa kita pada kisah tanpa batas. Cerita saujana Jakarta yang beraneka rupa. Ihwal Ibu Kota yang dalam pandangannya tidak hanya hitam atau putih, tetapi juga abu-abu. Tentang megapolitan yang kata patronnya, Oscar Motuloh, sebagai kota buta tak berjiwa.
Menikmati buku karya Fanny membuat saya rindu kampung halaman. Rindu pada kokok ayam di dini hari dan kicau burung di pohon bambu belakang rumah. Rindu pula pada padi menguning di hamparan sawah. Buku yang kian meneguhkan konklusi bahwa Ibu Kota memang rapuh, tetapi angkuh. Kota yang tidak saja juara dunia macet, tetapi juga berselokan banyak mampet.
Namun, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, Jakarta nyatanya ialah magnet jutaan manusia. Daya pikatnya tak tergerus oleh bopeng-bopeng di sekujur tubuhnya. Meski banyak noda, Ibu Kota ialah pelabuhan mimpi-mimpi para pendatang. Itulah sebabnya banyak yang tertantang menaklukkan Jakarta, dengan semua daya yang mereka miliki. Seperti apa yang telah dilakukan Fanny.
Bagi saya, Fanny telah menyemai keresahan ganda. Pertama, sejak awal fotonya menghiasi Biro Foto Antara pada 2006, semenjak itu pula saya berusaha mencari tahu siapa gerangan dia. Karyanya kadang tak kuasa menahan saya untuk tidak memberikan sanjungan.
Pesan singkat berisi pujian kerap saya kirimkan melalui Kadiv Foto Antara, Hermanus Prihatna. Fanny ialah salah satu kunci utama Biro Foto Antara untuk memuaskan pelanggannya. Ia konsisten, idealis, dan total dalam bekerja. Kalimat itulah yang disampaikan seniornya, Saptono Soemardjo, saat menggambarkan sosok juniornya itu.
Kedua, keresahan yang ia semai melalui bukunya. Buku yang memaksa saya membuka catatan lama, mencari tahu apa makna foto-foto di dalamnya. Buku yang mengingatkan kita bahwa keresahan menjadi modal berharga jika selaras dengan kegairahan. Saya meyakini, JKT hanyalah prolog. Dengan kegelisahannya, ia akan terus mengembara sampai saatnya kelak bertemu epilog yang indah, saat semaian keresahan bersalin rupa menjadi panen kedamaian. (Hariyanto)