Headline

Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.

Fokus

Sejumlah negara berhasil capai kesepakatan baru

Perkara Etika

19/1/2016 17:56
Perkara Etika
()

Foto karya fotografer Xinhua, Veri Sanovri, yang banyak dijadikan sebagai bahan meme.

ETIKA itu penanda peradaban. Aksioma jamaknya, semakin tinggi etika dipraktikkan dalam kehidupan sebuah bangsa, kian menjulang pula peradaban bangsa itu. Mengapa? Karena etika menaungi segala laku kehidupan. Ia suara hakiki dari nurani.

Etika bukan lagi bicara benar salah. Ia bersuara tentang pantas dan tidak pantas. Etika menerawang gejala dalam bingkai mata hati, bukan dengan mata pancaindra semata. Kehidupan akan menjadi indah dan berbudaya ketika radar etika bekerja.

Kini, problematik etika masih membelit bangsa kita. Bangsa yang kerap menyebut diri sebagai bangsa adiluhung dan memiliki filosofi etis melampaui bangsa lain ini pada faktanya sering gagap memeluk teguh filosofi tersebut. Di antara yang gagap itu, tidak sedikit yang berasal dari kalangan pejabat publik yang semestinya memiliki tingkat sensitivitas etika lebih tinggi.

Ketika kepekaan etis telah melekat pada jiwa-jiwa kita, setiap pergunjingan ataupun riak-riak kecil yang 'melawan' rambu etis melanda, seharusnya ia menjadi alarm. Realitas itu pula yang harus disadari pada para pejabat negara. Tak perlu lagi dibentuk Mahkamah Kehormatan Dewan. Tak harus lagi bertarung habis-habisan di depan hukum. Hukum biarlah membuktikan benar atau salah. Namun, soal pantas atau tidak pantas selayaknya sudah ada di dalam bingkai nurani.

Situasi nyaris serupa terasa pula di jagat media. Hari-hari ini perilaku abai terhadap etika kian menyeruak ke ruang-ruang media, utamanya media daring dan media sosial. Kini, menyebarluaskan berita dan foto tanpa menyebutkan sumber utamanya seperti merupakan hal yang biasa. Menyebarluaskan berita dan foto yang belum jelas faktanya juga seolah menjadi hal lumrah.

Cermatilah penayangan berita peristiwa serangan teroris yang mengguncang Ibu Kota di Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Kamis (14/1) lalu. Televisi, radio, koran, media daring, dan media sosial semuanya berlomba menunjukkan eksklusivitas dalam menyajikan fakta. Dampaknya kita tidak hanya diberi informasi yang bermasalah dari sisi akurasi dan verifikasi, tetapi disuguhi pula imaji-imaji mengerikan dari korban dan pelaku serangan itu. Kecerobohan itu tentu saja kian mengoyak ketenteraman warga.

Pemberitaan yang serampangan itu berujung pemberian sanksi pada sejumlah televisi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Sayangnya, langkah KPI tidak diikuti Dewan Pers. Padahal, apa yang telah dilakukan banyak pekerja media daring dan media cetak tak kalah mengenaskan.

Selain itu, tindakan memprihatinkan juga banyak dilakukan para pembuat meme. Tren yang sepatutnya tidak perlu melahirkan viral dan resonansi. Mereka seenaknya mencomot foto-foto karya para jurnalis foto yang telah bertaruh nyawa demi mendapatkan foto-foto terbaik di titik api peristiwa. Padahal, bukanlah hal sulit untuk mencantumkan sumber dari mana dan siapa yang mengabadikan foto tersebut.

Ulah semacam itu tidak akan terjadi jika etika dipraktikkan nyata. Segala produk yang merupakan ciptaan orang lain mestinya tidak usah lagi kita bicarakan apakah sudah didaftarkan sebagai hak cipta atau belum. Ketika kita merasa mengambil atau mempergunakan karya orang lain, secara otomatis kita bertanggung jawab terhadap pemiliknya.

Sejatinya, untuk apa pun yang kita ambil dari orang atau media lain secara sengaja, tidak ada pilihan lain, kita harus menyebutkan pemilik hak ciptanya. Ada bermacam konsekuensi di dalamnya. Pertama, ada pengakuan atas sebuah karya. Kedua, ada ketaatan atas prinsip-prinsip etis profesi. Ketiga, ada penghormatan terhadap hak-hak orang lain, termasuk hak intelektual. Yang tak kalah penting ialah hak ekonomi yang menyertainya.

Ajaran kebaikan seperti etika tak semestinya kita simpan dalam 'laci kaca' lalu kita kunci rapat-rapat sebagai sekadar ornamen kehidupan. Ia harus terus menggema, mengusik relung-relung jiwa, dan menampar siapa pun yang hendak berlaku culas. Dengan begitu, hidup akan senantiasa terjaga. (Hariyanto)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya