Headline

Manggala Agni yang dibentuk 2002 kini tersebar di 34 daerah operasi di wilayah rawan karhutla Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan.

Fokus

Sejak era Edo (1603-1868), beras bagi Jepang sudah menjadi simbol kemakmuran.

Urun Biaya dan Selisih Biaya JKN

Ferdinandus S Nggao Kepala Kajian Pembangunan Sosial LM-FEBUI
24/1/2019 06:20
Urun Biaya dan Selisih Biaya JKN
(Grafis MI)

MENTERI Kesehatan RI akhir tahun lalu menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) No 51/2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan tertanggal 14 Desember 2018.     

Urun biaya adalah tambahan biaya yang dibayar peserta JKN pada saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan, sedangkan selisih biaya adalah tambahan biaya yang dibayar peserta JKN pada saat memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang lebih tinggi dari haknya (naik kelas perawatan).

Ketentuan ini berkaitan dengan beban tambahan bagi peserta JKN sehingga tentu saja menimbulkan reaksi negatif masyarakat. Ketentuan ini menjadi isu yang sangat sensitif sehingga berpeluang untuk dipelintir.

Bahkan, dalam situasi politik seperti saat ini, bisa saja berkembang menjadi hoaks.

Misalnya, adanya berita yang mengesankan bahwa semua peserta JKN akan dikenakan tambahan setiap kali berobat. kemudian JKN tidak lagi gratis, atau masyarakat dipaksa menanggung defisit BPJS Kesehatan.

Hal seperti ini tentu tidak hanya menyesatkan, tetapi juga merugikan masyarakat itu sendiri, juga mengancam keberlanjutan JKN.

Kebijakan baru ini, kalau dipahami secara keliru, memang tampak aneh.

Artinya, sudah bayar iuran kok masih dimintai tambahan biaya. Karena itu, kebijakan ini perlu dikomunikasikan dengan tepat kepada masyarakat.

Urun biaya
Terkait dengan urun biaya, ada beberapa poin penting yang perlu dipahami.

Pertama, ada batasan cakupan peserta dan layanan.

Dari sisi cakupan peserta, urun biaya hanya dikenakan kepada peserta yang diasumsikan memiliki kemampuan.

Artinya, ketentuan baru ini sudah mempertimbangkan kemampuan peserta.

Kebijakan ini justru sudah melindungi kepentingan masyarakat miskin dan orang yang tidak mampu. Mereka menikmati layanannya, tetapi tidak dikenakan biaya tambahan.

Dalam PMK ini, urun biaya tidak dikenakan kepada peserta penerima bantuan iuran (PBI), baik yang ditanggung pemerintah pusat (APBN) maupun yang ditanggung pemerintah daerah (APBD).

Penerima PBI adalah masyarakat miskin dan tidak mampu sehingga iurannya dibayar pemerintah.

Kalau dihitung jumlahnya, sebagian besar peserta JKN dibebaskan dari beban biaya tambahan.

Data per 1 Januari 2019 menunjukkan, 60% peserta JKN merupakan peserta PBI.

Kepentingan mereka tetap dilindungi.

Dari sisi cakupan layanan, tidak semua jenis penyakit dikenakan biaya tambahan. Urun biaya hanya dikenakan pada jenis pelayanan yang dapat menimbulkan penyalahgunaan pelayanan.

Dalam penjelasan Pasal 22 ayat 2 UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) disebutkan, jenis pelayanan yang dimaksud adalah yang membuka peluang moral hazard (sangat dipengaruhi selera dan perilaku peserta).

Misalnya, pemakaian obat-obat suplemen, pemeriksaan diagnostik, dan tindakan yang tidak sesuai dengan kebutuhan medik.

Sampai saat ini, Kementerian Kesehatan belum menentukan jenis layanan yang berpotensi disalahgunakan.

Hal ini tentu membutuhkan proses sebagaimana diatur dalam PMK baru ini.

Dengan demikian, ketentuan urun biaya ini belum diberlakukan.

Kedua, urun biaya dirancang untuk menjamin efektivitas atau ketepatan pencapaian sasaran penyelenggaraan JKN.

Layanan kesehatan yang diberikan memang sangat dibutuhkan, menghindari penggunaan yang sebetulnya tidak diperlukan. Artinya, urun biaya bukan untuk membatasi pelayanan bagi peserta JKN.

Ketiga, ketentuan urun biaya ini bukan tiba-tiba saja munculnya karena sudah diatur dalam Pasal 22 ayat 2 dan 3 UU No 40/2004 tentang SJSN. Dalam UU ini dinyatakan bahwa ketentuan rinci tentang urun biaya diatur dalam peraturan presiden (perpres). Memang disayangkan, perpresnya baru saja muncul melalui Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan, dan PMK No 51/2018 merupakan tindak lanjut dari perpres ini.  

Keempat, titik kritis yang perlu dipikirkan, tidak hanya penentuan jenis layanan yang dapat menimbulkan moral hazard, tetapi juga mengomunikasikannya dengan pasien atau keluarganya.

Di samping itu, ketentuan ini membuka peluang terjadinya moral hazard yang dilakukan rumah sakit.

Di sinilah pentingnya edukasi masyarakat, transparansi dalam penentuan jenis layanan yang dibebani urun biaya, serta pengawasan ketat dalam pelaksanaannya.  

Selisih biaya
Ketentuan tentang selisih biaya bukan hal baru karena sudah berlaku sejak lama sebagaimana diatur dalam PMK No 28/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan JKN.

Sebelum PMK No 51/2018 ini terbit, perihal selisih biaya diatur dalam PMK No 52/2016 yang telah beberapa kali diubah dan terakhir menjadi PMK No 6/2018.

Beberapa hal penting yang perlu dipahami terkait dengan aturan selisih biaya ini. Pertama, selisih biaya yang diatur dalam PMK baru ini hanya untuk kenaikan kelas perawatan atas permintaan pasien.

Sementara itu, aturan kenaikan kelas karena keterbatasan ruangan tetap mengacu pada PMK No 28/2014 tentang Pedoman Pelaksanaan JKN. Artinya, selisih biaya ini hanya berlaku bagi peserta yang mampu. Asumsinya, minta naik kelas berarti mampu membayar kelebihan biaya.

Karena itu, sejak awal ketentuan selisih biaya memang tidak berlaku bagi peserta PBI.

Hanya dalam ketentuan baru, peserta yang dikecualikan ditambah kategori baru, yaitu pekerja penerima upah (PPU) yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK).

Kedua, hal baru dari ketentuan ini terkait dengan batasan kenaikan kelas. Sebelumnya, peserta bisa naik lebih dari 1 tingkat. Misalnya, peserta kelas tiga bisa minta naik ke kelas 1.

Dalam ketentuan baru, kenaikan kelas perawatan hanya dibolehkan satu tingkat di atas haknya. Ini dilakukan untuk mengantisipasi adanya peserta yang mendaftar sebagai peserta kelas 3, tetapi sebetulnya memiliki kemampuan membayar iuran untuk kelas 1. Mendaftar sebagai peserta kelas 3, tetapi giliran sakit minta naik ke kelas 1. Jadi, pembatasan ini ada misi edukasinya.

Ketiga, titik kritisnya, aturan ini tetap saja berpeluang terjadi malapraktik yang dilakukan rumah sakit. Bisa saja pasien terpaksa menyetujui kenaikan kelas karena keterbatasan fasilitas di rumah sakit. Padahal, fasilitasnya masih tersedia.

Walaupun pasien mampu membayar selisih biaya, tetap saja ini tidak adil dan merugikan pasien.

Idealnya, ketentuan ini diberlakukan sejalan dengan ketersediaan kamar rawat inap sesuai dengan Permenkes No 56/2014 tentang Klasifikasi dan Perizinan Rumah Sakit.

Di atas semua itu, pelaksanaan ketentuan urun biaya dan selisih biaya ini membutuhkan kemampuan kontrol yang kuat dari pihak BPJS Kesehatan, Kementerian Kesehatan, dan pihak berkepentingan lainnya sehingga ketentuan baru ini tidak disalahgunakan, baik oleh pihak rumah sakit dan jajarannya, maupun oleh pasien sendiri.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya