Headline
KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.
FILSUF bahasa Ludwig Wittgenstein (1889-1951) menasbihkan betapa sentralnya permainan bahasa (language games) dalam kehidupan manusia. Bahasa merupakan piranti vital dalam interaksi dan komunikasi, yakni manusia dapat saling memahami dan memberi arti. Sebagai zoon politicon, manusia memanfaatkan bahasa (lisan dan tulisan), selain untuk saling memberi arti, tetapi juga saling memengaruhi satu dengan yang lain. Pikiran, ide, gagasan, dan bahkan ideologi sekalipun, niscaya selalu disampaikan dengan dan melalui bahasa. Tujuan utamanya, supaya orang atau masyarakat lain bisa memahami dan mengikuti alur pikiran, ide, gagasan, ideologi dari para pemiliknya.
Sebagai salah satu bagian dari seni untuk memengaruhi orang lain, tentu saja politik tidak bisa terlepas dari konstelasi permainan bahasa. Bahkan bahasa seolah-olah menjadi instrumen penting dalam mengekstrapolasi isu, pikiran, gagasan, dan ideologi yang ada dalam diri calon atau partai tertentu.
Orang yang gagap politik sekalipun, bisa dengan mudah mengetahui pikiran dari seseorang atau partai kontestan, ketika melihat dan membaca rangkaian bahasa yang tertera pada alat peraga kampaye (APK) seperti, baliho, leafleat, dan stiker, atau pada iklan yang dimuat di media elektronik, media cetak atau media sosial.
Ruang monologis vs ruang dialogis
Ada dua ruang yang mungkin bisa dimanfaatkan untuk mengeskplorasi berbagai bentuk bahasa pada momentum Pemilu 2019. Ruang pertama adalah ruang monologis. Dalam ruang monologis ini, para calon atau partai peserta pemilu aktif berbahasa kepada konstituen/masyarakat umum dengan memakai beragam kanal.
Dalam ruang monologis ini, bahasa bisa dimanifestasi dalam dua bentuk tujuan kegiatan, yakni; 1) Menginformasikan profil diri seseorang atau partai, disertai dengan penyampaian program-program (baru) yang hendak dijalankan pada masa-masa mendatang. Kegiatan informasi monologis ini dominan dilakukan para pendatang baru dengan tujuan agar mereka dikenal konstituen/masyarakat pemilih. 2) Mengafirmasi tentang apa yang sudah dilakukan seseorang atau partai tertentu. Dalam kegiatan ini, diksi-diksi yang kerap muncul antara lain; 'terbukti, lanjutkan, akan ditingkatkan', dll. Lumrahnya, rangkaian bahasa afirmatif ini banyak ditemukan pada media kampanye dari para petahana atau partai rezim.
Ruang kedua adalah ruang dialogis. Ruang ini mengandaikan adanya interaksi langsung antara para calon/partai dan konstituen/masyarakat. Ruang dialogis ini dilakukan dengan tatap muka, diskusi dan debat. Di sini bahasa dapat diramu dalam dua bentuk tujuan kegiatan; 1) Mengonfirmasi berbagai bentuk program yang akan dibuat seorang calon baru, atau meminta tanggapan konstituen/masyarakat mengenai segala hal yang sudah dijalankan para petahana. Tujuan kegiatan ini bisa tercapai bila ada ruang dialog untuk mendiskusikan tentang apakah programnya sudah mengena atau menjawabi kebutuhan masyarakat pemilih atau belum.
2) Mengelaborasi program dengan kebutuhan atau kepentingan riil masyarakat konstituen. Kegiatan elaborasi ini bisa dijalankan bila para calon bertemu langsung atau berdialog dengan masyarakat pemilih. Tujuan kegiatan ini akan tercapai secara efektif bila dilakukan dari pintu ke pintu, dari satu basis ke basis masyarakat yang lain demi menangkap secara komprehensif dan holistik kemauan dan kebutuhannya.
Kalau para calon hanya mengandalkan ruang monologis, akan mereduksi posisi masyarakat dari subyek menjadi obyek saja dalam demokrasi. Imbasnya, masyarakat pemilih kurang menangkap isi substantif, arti dan makna dari berbagai bentuk bahasa yang sudah dan akan menyeruak pada bermacam media kampanye.
Klaim atas nama konstituen
Dilihat dari irisan semantika dan gramatika, konstruksi bahasa dalam berbagai media kampanye bisa bermakna langsung atau sebenarnya (denotatif) dan bisa pula bermakna tidak langsung, kiasan, metafora atau simbolik (konotatif). Makna denotatif ditemukan dalam rumusan bahasa seperti '2019 ganti presiden', 'coblos nomor 1 (atau 2) pasti memperjuangkan keinginan rakyat', 'partai kami konsisten anti-KKN', 'siap memperjuangkan nasib rakyat', dll.
Sementara makna konotatif seperti yang ditemukan dalam rumusan bahasa, antara lain; 'Bumi boleh berputar, tapi janji politik saya tidak akan berputar-putar membohongi rakyat', 'kalau mobil lama masih bagus, ngapain pilih mobil baru', 'Pilih baju baru di tahun 2019, biar masyarakat nyaman', dll.
Kecenderungan berbahasa yang dipakai dalam etalase kampanye selalu berpretensi mengatasnamakan kepentingan, kebutuhan, dan keinginan masyarakat. Dalam setiap konstruksi bahasa, masyarakat senantiasa dipakai sebagai komunitas sasar atau sebagai subyeknya. Kecenderungan ini disebut sebagai populisme peyoratif.
Para calon/partai dengan sadar dan sengaja mengurat bahasa-bahasa tersebut. Seolah-olah bahasa-bahasa itu sudah lazim dipahami, bahkan diasumsikan mewakili isi hati masyarakat pemilih. Padahal, bila diuji-petik pada masyarakat konstituen, bunyi berbagai bahasa tersebut terlihat buntung tak berujung, sebab sebenarnya belum merepresentasi isi hati terdalam masyarakat.
Klaim parsial bernada populis peyoratif ini, seperti terlihat pada ragam penggunaan bahasa di media kampanye, tentunya sangat mereduksi dan menyimplifikasi demokrasi pada hanya sebatas dramaturgi berbahasa. Banyak bahasa berseliweran dan menguak bagai pepesan kosong, gamang, tanpa makna dan bahkan lepas begitu saja. Hal ini mengemuka, karena para calon/partai kontestan tidak memiliki political will dalam mengkreasi ruang dialogis demi sekadar melakukan studi kebutuhan (need assesment).
Padahal, ruang dialogis ini penting sebagai wahana untuk melakukan aktivitas konfirmasi dan elaborasi visi, misi dan program. Berbagai seruan, slogan, tagline yang melintas di media kampanye, secara faktual masih jauh dari keinginan dan kebutuhan masyarakat pemilih, dan dalam level tertentu bisa menjadi pemanis bibir (lip service), berikut menjadi buih dari kebohongan politik (politics lies).
Diferensiasi sosial
Dalam opini Dalam Riuhnya Karnaval Kelisanan (Kompas, 7/12/2018), Damhuri Muhamad menggambarkan, penggunaan kata-kata dalam konteks pemilu saat ini bisa mengacu pada tiga pola; 1) pola ofensif untuk menyampaikan isu, pikiran atau gagasan baru dari calon atau partai; 2) pola defensif untuk menyerang pihak lawan dengan menyebarkan isu, pikiran atau gagasan baru atau hasil modifikasi; 3) pola alegori atau satir untuk menciptakan keriangan, mengusir kejenuhan dan mencairkan suasana 'tegang' akibat determinannya dua pola terdahulu. Andai dijajal melalui perspektif sosiologis; jika pola pertama dan pola kedua semakin vulgar dan ekskalatif dalam penyampaiannya, akan menjadi pratanda menguatnya diferensiasi dan polarisasi sosial.
Dengan banyaknya kanal informasi dan kemudahan mengakses, dua pola ini begitu mudah 'dilahap' dan 'dicerna' publik. Bias jamaknya ialah timbul resistensi, provokasi dan bahkan agitasi, yang bukan tidak mungkin membuka ruang konflik dan friksi horizontal. Karena itu, hendaknya para kontestan dan tim suksesnya, wajib bijak dan santun dalam mengelola dua corak berbahasa ini, demi menghindari terjadinya kemerosotan demokrasi (democration decay). Kita perlu memperbanyak kualitas pola ketiga. Jadikan pemilu sebagai pesta demokrasi yang penuh keriangan dengan memproduksi bahasa-bahasa yang mengundang senyum dan tawa.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved