Headline
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Presiden memutuskan empat pulau yang disengketakan resmi milik Provinsi Aceh.
Kawasan Pegunungan Kendeng kritis akibat penebangan dan penambangan ilegal.
DALAM sejarah perjuangan di Amerika Latin, ada banyak teolog pembebasan yang mempunyai daya inspirasi kuat bagi pemikiran politik dan gerakan perubahan sosial. Misalnya, Gustavo Gutierrez, Leonardo Boff, Clodovis Boff, Jon Sobrino. Lalu, Joao Severino Croatto, Jose Baptista Comblin, Enrique Dussel, dan Rubem Alves.
Dari sekian banyak teolog pembebasan di Amerika Latin, secara khusus saya tertarik dengan tokoh yang terakhir itu, Rubem Alves. Hal itu karena ia mempunyai pemikiran sosial-politik yang menarik untuk dipakai membedah pelbagai wacana ideologi pembangunan yang kini gencar diwacanakan di Indonesia, di saat tahun-tahun politik ini.
Dalam buku monumentalnya tentang teologi pembebasan, A Theology of Hope (1969: 67-100) ia pernah mengemukakan gagasan yang disebut humanisme politis. Menurut Alves, humanisme politis ialah suatu wacana dan proses kreatif berakhir-terbuka yang selalu menegaskan dan juga percaya bahwa hari esok lebih baik bisa terwujud. Masa depan yang lebih cerah bisa digapai.
Cita-cita hari esok yang lebih sempurna bukan mimpi di siang bolong (wishful thinking). Bahkan, upaya mewujudkan hari esok yang lebih baik sudah bisa dimulai sekarang ini. Humanisme politik tidak pernah mewacanakan pesimisme tentang masa depan terkait dengan entitas politik, semisal negara ataupun sekadar sebuah masyarakat kecil.
Menurut Alves, humanisme politis mempunyai tiga unsur pokok. Pertama, ia tidak mengakui finalitas dari struktur-struktur inhuman yang ada sekarang ini dan mencekik.
Struktur inhuman itu, bukanlah bab terakhir dalam perjalanan sejarah. Yang ia maksudkan ialah kalau misal sekarang ini ada struktur opresif yang menyebabkan hidup manusia menjadi tidak manusiawi serta dilanda sengsara dan kepedihan, Alves yakin bahwa struktur-struktur inhuman yang opresif itu suatu saat bisa ditiadakan. Alves berpandangan bahwa struktur-struktur inhuman itu bukan merupakan bab terakhir sejarah manusia.
Kedua, orang harus terus berharap bahwa masa depan akan mencakup upaya penyingkiran bentuk-bentuk opresif yang kini merajalela. Sekilas poin kedua ini tidak berbeda dengan poin pertama. Akan tetapi, keduanya sangat berbeda satu sama lain. Poin pertama berfokus pada yang sekarang ini, pada masa sekarang, dan di sini. Sementara itu, poin kedua berfokus pada perubahan yang sedang mendatangi. Jadi, dia berorientasi futuristis, walau tetap berpijak dan berangkat dari masa sekarang dan di sini.
Ketiga, Alves percaya bahwa kemanusiaan dan hanya kemanusiaan sajalah (dan bukan sesuatu yang lain) yang bisa mendatangkan perubahan-perubahan itu dan menciptakan struktur-struktur yang mendorong keadilan bagi manusia.
Poin ketiga ini sangat optimistis tentang kemanusiaan. Ia mempunyai evaluasi yang sangat positif akan kemanusiaan. Humanisme politis ini mempunyai corak dasar optimistis, yaitu masyarakat yang jauh lebih baik dari yang sekarang ini ada, bisa dicapai, dan diwujudkan.
Pada dasarnya program pembangunan ialah upaya untuk membuat kehidupan manusia menjadi lebih baik, mengalami sebuah peningkatan. Karena itu, pembangunan ialah pembebasan juga. Saya bisa memahami bahwa di era 1990-an, Romo Mangunwijaya pernah mengemukakan pandangan bahwa wacana pembangunan ialah kata lain untuk pembebasan.
Gagasan yang tepat untuk teologi pembebasan (yang saat itu dicurigai berbau marxistis) di Indonesia ialah teologi pembangunan. Jika istilah teologi pembebasan dinilai terlalu revolusioner dan bahkan terkesan radikal-subversif, istilah teologi pembangunan terasa lebih halus. Mengandung nada eufemistis yang memperhalus wajah garang teologi pembebasan. Padahal jika ditilik dengan baik, sesungguhnya substansinya sama, yaitu pembebasan dan peningkatan mutu kehidupan manusia juga.
Wujud nyata
Dalam derap langkah menjelang tahun politik yang panas ini, muncul pelbagai wacana yang saling bersaing dan bahkan bertabrakan. Sebuah televisi swasta nasional bahkan membuat polarisasi antara wacana optimistis dan wacana pesimistis terkait dengan masa depan bangsa ini. Televisi itu mengkaitkan masing-masing wacana itu dengan dua kubu kandidat presiden kita yang sedang bersaing.
Kiranya apa yang diupayakan Presiden Jokowi saat ini ialah wujud nyata dari cita-cita dasar humanisme politis itu. Dalam empat tahun masa pemerintahannya, beliau sudah berbuat banyak untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik lagi di masa yang akan datang (walau bencana menggerogoti kita). Pembangunan yang dicanangkan Presiden Jokowi selama ini kiranya telah berhasil membuat Indonesia naik tingkat (peringkat) menjadi lebih baik.
Dari pelbagai laporan televisi dan media masa lainnya, saya merasa bahwa kita sudah lebih baik. Misalnya, tol yang berhasil dibangun dan diselesaikan pada masa Presiden Jokowi jauh lebih panjang daripada masa-masa sebelumnya.
Bendungan, bandara, pelabuhan laut, tol laut, dan jalan raya tersebar di seluruh pelosok negeri. Peretasan isolasionisme Papua berupa pembangunan infrastruktur jalan raya yang masif, pengentasan keterbelakangan pembangunan di perbatasan, kartu sehat dan kartu pintar, serta kebijakan satu harga BBM untuk seluruh Indonesia.
Masa pemerintahan Jokowi sungguh menghadirkan humanisme politis di Indonesia. Tanpa bermaksud kampanye mendukung petahana, saya mau mengakhiri tulisan ini dengan mengatakan bahwa humanisme politik itu erat terkait dengan mentalitas dan spiritualitas tokoh. Hal itu ada pada diri Jokowi. Karena itu, semboyan ‘kerja-kerja-kerja’, bukanlah semboyan kosong dan yang asal bunyi, melainkan semboyan transformatif menuju masa depan yang lebih baik dan lebih meningkat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved