Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Babinsa Antara Politik dan Netralitas TNI

Safriady Analis Komunikasi Intelijen dan Militer
27/12/2018 00:15
Babinsa Antara Politik dan Netralitas TNI
(MI/Seno)

SETAHUNAN ini sudah beberapa kali Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumpulkan para bintara pembina desa (babinsa), yang merupakan satuan teritorial terkecil organisasi TNI Angkatan Darat. Mengutip tulisan Patrik Matanasi dalam Tirto.id (Minggu, 10/6), organisasi babinsa mulai ada sejak 1963. Waktu itu, Angkatan Darat membentuk babinsa guna mengawasi gerak-gerik Partai komunis Indonesia (PKI) yang menjadi musuh tentara. Di tahun-tahun itu, ABRI khususnya Angkatan Darat membutuhkan satuan atau personel yang efektif dan efisien yang mampu memonitor kegiatan politik PKI di wilayah perdesaan.

Jika merujuk wilayah kerja, organisasi babinsa berada di bawah komando rayon militer (koramil) dan bagian dari komando distrik militer (kodim) dan komando resor militer (korem), yang menginduk di komando daerah militer (kodam).

Dalam konteks ini, satuan babinsa merupakan satuan terkecil yang berhadapan langsung dengan masyarakat. Dalam tugas pokoknya, babinsa bertugas melaksanakan pembinaan teritorial sesuai dengan kepentingan TNI Angkatan Darat.

Merujuk laman Wikipedia, babinsa dijabat seorang bintara/tamtama Angkatan Darat berpangkat kopral satu (koptu) sampai dengan sersan mayor (serma) merupakan pelaksana koramil, dengan tugas kewajiban sebagai berikut; melaksanakan pembinaan teritorial sesuai petunjuk danramil, melaksanakan pengumpulan dan pemeliharaan data geografi, demografi, kondisi sosial, dan potensi nasional meliputi SDM, SDA/SDB, serta sarana dan prasarana di wilayahnya.

Kemudian, memberikan informasi tentang situasi dan kondisi wilayah bagi pasukan yang bertugas di daerahnya. Melaporkan perkembangan situasi kepada danramil pada kesempatan pertama.

Babinsa dalam melaksanakan kewajibannya bertanggung jawab langsung kepada danramil. Periodisasi perjalanan babinsa di Indonesia tidak lepas dari perpolitikan di Indonesia sejak lama. Hingga hari ini pengaruh babinsa masih sangat melekat dalam masyarakat, meski dwifungsi ABRI telah dihapus pascareformasi.

Periodisasi babinsa  
Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia, babinsa menjadi alat yang paling penting. Di era Orde Lama, babinsa berfungsi untuk mencegah paham komunisme menyebar di wilayah perdesaan di Indonesia. Jenderal Ahmad Yani sebagai Panglima Angkatan Darat waktu itu menginstruksikan agar babinsa menjadi mata dan telinga Angkatan Darat untuk mencegah paham komunis.

Era Orde Baru merupakan masa operasional babinsa menjadi sangat maksimal, terutama pada saat jelang pemilu. Bukan rahasia umum pada era itu tugas-tugas yang berhubungan pemilu merupakan pekerjaan wajib bagi personel babinsa, mulai penggalangan dukungan, logistik pemilu, hingga operasi lainnya. Tidak ada kekuatan atau mesin politik pada waktu itu mampu untuk mengerjakan apa yang dikerjakan babinsa.

Penelitian Angel Rabasa dan John Haseman berjudul The Military and Democracy in Indonesia: Challenges, Politics, and Power, memotret kecenderungan politis babinsa pada rezim Orde Baru. Ketika itu, setiap komandan kodim dan koramil dimanfaatkan untuk tugas politik mendukung pemerintah.  

Jika ada pengamat atau analisis yang mengatakan bahwa keberhasilan  pembangunan era Presiden Suharto selama 32 tahun karena kehebatan menterinya, mungkin bisa saja salah. Peran utama babinsalah yang menjadikan pembangunan berjalan lancar pada era itu, kemampuan personel dalam mendata, melakukan pembinaan teritorial, hingga menggarap potensi sosial, membuat pemerintah mendapatkan manfaat dari laporan dan masukan yang bisa diarahkan dalam pembangunan nasional.

Meski gelombang reformasi 1998 mengoresi ulang peran ABRI/TNI, tetapi tidak mudah untuk begitu saja melepas peran militer dalam masyarakat. Hal ini masih berkaitnya wilayah kerja militer yang berada di perdesaan dan perbatasan.

Meski terdapat tuntutan sejumlah LSM atau NGO untuk membatasi ruang teritorial militer hingga menutup komando teritorial milik militer, faktanya tidak semudah membalik telapak tangan. Pro dan kontra terus muncul terkait dengan kekuatan teritorial babinsa milik TNI-AD ini. Kondisi ini tidak lepas bagaimana kemampuan militer yang mampu melakukan intervensi secara sosial dan politik. Peran militer yang taktis dan strategis pada kondisi tertentu dapat bergerak lebih efisien dalam mengimplementasi kebijakan politik.

Tidak bisa dimungkiri, keterlibatan babinsa baik langsung maupun tidak langsung dalam sejumlah konstelasi politik yang terjadi di Indonesia, mampu mengubah jalannya demokrasi yang terjadi di Indonesia.

Tarik-menarik
Sejumlah kegaduhan politik yang terjadi akibat isu babinsa kerap terjadi menjelang pemilu. Itu bisa merujuk laporan Tempo pada 2014, ketika ada dugaan keterlibatan oknum babinsa yang mendata pemilih dan mengarahkan warga Cideng, Jakarta, untuk memilih salah satu pasangan calon pada Pilpres 2014. Sementara itu, jelang Pilpres 2019 isu mengenai babinsa ini kembali mencuat, setelah Juni 2018 Presiden Jokowi berniat menaikkan tunjangan babinsa seluruh Indonesia. Masih pada tahun yang sama, pada 12 Desember, Presiden Jokowi kembali memastikan akan kenaikan tunjangan tersebut.

Berbagai interpretasi muncul terkait dengan kebijakan Presiden Jokowi ini. Padahal, sesuai UUD 1945 jelas disebut bahwa Presiden merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara. Sangat wajar dalam posisi sebagai presiden, Jokowi memiliki kewajiban meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI. Terlebih, bagi para prajurit yang berada di perdesaan atau perbatasan berhak atas penghidupan yang layak. Bahkan, sudah seharusnya pimpinan negara dan juga organisasi militer memberi perhatian lebih.

Pemilu 2019 sudah di depan mata, pemilu kali ini merupakan ujian terberat bagi TNI-Polri sebagai aparatur negara. Ibarat sebuah pertandingan sepak bola, KPU merupakan wasit di tengah lapangan. Sementara itu, aparat seperti TNI-Polri, BIN, dan BAIS merupakan hakim garis yang mengawal jalannya permainan dari luar arena.

Jangan lupakan Pasal 9 UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI yang menyebutkan prajurit TNI dilarang terlibat dalam politik praktis. Aturan serupa bagi Polri juga tercantum dalam UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Pada pasal 28 disebutkan Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri dalam kegiatan politik praktis. Ini artinya aturan main telah digariskan. Menarik-narik militer atau Polri dalam ranah politik akan memiliki implikasi yang signifikan terhadap kenetralan dalam Pilpres 2019.

Pimpinan TNI dan Polri pun sejak awal sudah menegaskan bahwa mereka bersikap netral. Bahkan, mereka juga mengingatkan berbagai pihak untuk tidak merayu aparat keamanan masuk politik praktis.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik