Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
BALAI Kota DKI Jakarta. Gedung warisan kolonial Belanda di Jalan Medan Merdeka Selatan No 8-9, Jakarta Pusat itu, pernah ramai dengan kehadiran warga Ibu Kota. Bukan hanya pernah, tapi setiap hari kerja, masyarakat datang berduyun-duyun untuk bersua dan bersilaturahmi dengan kepala pemerintahannya.
Suasananya, seperti datang ke tempat pesta resepsi. Saking antrusiasmenya, masyarakat bahkan sudah antre sebelum pengantin muncul di singgasana pada pukul tujuh pagi. Artinya, setelah solat subuh, ganti salin, mereka langsung berangkat menuju Balai Kota. Pada kisaran pukul 06.00 pagi, Kantor Gubernur DKI Jakarta, sudah ramai dengan warga yang datang dari berbagai penjuru Ibu Kota.
Warga saling bersilaturahmi dan menganggap Balai Kota sebagai rumah bersama. Mereka merasa seperti pulang ke rumah orang tua sendiri. Bertemu dengan ayah yang selalu semangat mendengarkan semua keluhan maupun pengaduan. Banyak hal dilaporkan, misalnya, belat belitnya mengurus pajak padahal mereka mau menyetor uang, bukan meminta.
Ada juga melaporkan birokrasi pengurusan izin usaha dengan antrean meja yang berderet, hingga persoalan pribadi pun ditumpahkan. Saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, menerima aduan dengan angguk-angguk.
Mantan Bupati Bangka Belitung itu lalu memanggil staf dan menginstruksikan agar menyelesaikan masalah warga bersangkutan.
Ajaibnya, persoalan yang sudah membebani warga selama bertahun-tahun, bisa selesai dalam sehari. Mukjizat itu nyata. Suatu hari, seorang ayah meminta bantuan laptop karena sangat dibutuhkan anaknya untuk kebutuhan pendidikan. Pemprov DKI tidak memiliki anggaran melayani permintaan demikian.
Setelah mendengar permintaan orang tua bersangkutan dan mengajukan sejumlah pertanyaan, Ahok memberikan laptop kepadanya. Staf Pemprov DKI yang mendampingi Ahok terlihat ikut senang ketika permintaan warga tersebut dapat terpenuhi. Birokrasi ternyata bisa menjadi kegembiraan bagi masyarakat maupun staf yang menerima aduan.
Hubungan mereka pun cair. Gaya Ahok yang dengan cepat memberi solusi menjadi buah bibir. Warga yang datang mengadu pun semakin banyak. Seperti kisah anak hilang yang rindu pulang ke rumah. Mereka datang ke Balai Kota bukan melulu punya urusan tapi banyak pula ingin tahu seperti apa Kantor Gubernur DKI itu, dan jika beruntung bisa foto bersama dan bersalaman dengan Ahok.
Birokrat yang ramah membuat ratusan orang datang setiap hari dengan bergairah. Tidak lagi cukup hanya seorang Ahok melayani sehingga ia kemudian mengajak serta PNS DKI dari berbagai satuan kerja perangkat daerah untuk membantu melayani aduan warga. Staf terpaksa membatasi hanya 1.000 orang per hari diperkenankan berfoto dengan Ahok, yang ketika itu, selalu memasang senyum ramah sambil terus melayani pengaduan warga dengan berdiri.
Saat Djarot Saiful Hidayat meneruskan kepemimpinan Ahok, metode pengaduan sedikit berubah. Meja-meja ditata rapi di pendopo Balai Kota. Gubernur tidak lagi selalu turun tangan. Warga yang mengadu ditunggu oleh PNS di meja sesuai bidang masalah. Karena cara tatap muka dianggap banyak faedah, warga berharap Anies Baswedan-Sandiaga Uno yang resmi memimpin Balai Kota DKI pada 16 Oktober 2017, tetap mengadakan acara ‘ayah temu anak’ itu.
Menyambut keinginan warga, saat itu, Anies mengutip pesan putra Betawi yang terpatri di kawasan Monas. Pesan itu berisi tentang keharusan pemerintah mendekati kemauan rakyat. “Inilah dasar membawa Jakarta untuk perubahan. Pemerintah yang tidak mendengarkan akan mengambil kebijakan diluar kemauan rakyat,” katanya.
Anies awalnya memenuhi janjinya dengan menyapa warga di halaman pendopo dan menerima keluhan lalu menyalurkan ke meja-meja pengaduan. Namun hari ke hari jumlah warga yang datang terus menyusut. Dengan alasan agar tidak membebani warga datang jauh-jauh ke Balai Kota DKI, Anies memerintahkan seluruh kantor kecamatan di Jakarta buka pengaduan.
Terhitung November 2017 atau sebulan setelah Anies-Sandi memimpin Jakarta, layanan pengaduan pindah ke kantor kecamatan dan buka setiap Sabtu pukul 08.00-11.00 WIB. Setahun sudah Anies memimpin Jakarta, irama layanan masyarakat kini kembali pulih ke rutinitas masa lalu.
Warga tidak terlihat lagi mengadukan masalah mereka ke Balai Kota DKI, bahkan ke kantor kecamatan pun sangat jarang. Kalaupun ada umumnya pengaduan warga soal lingkungan karena rimbunan pohon menghalangi rambu atau saluran air tersumbat. Apalagi setelah diharuskan pengadu melampirkan fotokopi KTP, nomor telepon, dan lokasi yang dilaporkan, warga semakin enggan datang.
Maksud staf kecamatan mengenakan syarat fotokopi KTP dan nomor ponsel, tentu positif agar dapat menghubungi warga bersangkutan untuk mencarikan solusi. Tapi bagi warga malah dianggap mengikat diri dan membebani. Akhirnya, keinginan mengadu pun kian luluh.
Dan, kemalasan warga mengadu ke kantor kecamatan dan Balai Kota, di satu sisi, tentu keuntungan bagi birokrasi. Seperti saat ini, staf kecamatan pun bisa kembali libur pada hari Sabtu seperti sebelumnya. Kegairahan bersilaturahmi pun tak lagi terasa di Balai Kota DKI.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved