Headline

RI-AS membuat protokol keamanan data lintas negara.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Industri Riset dalam Era RI 4.0

Yonvitner, Kepala Pusat Studi Bencana- Dosen MSP FPIK IPB
13/10/2018 10:57
Industri Riset dalam Era RI 4.0
(Mi/Duta)

RISET adalah industri, jadi harus dikelola dari hulu sampai hilir. Rencana pembentukan badan riset nasional (BRN) harus dalam skenario matang dengan roadmap yang jelas karena bukan sekadar persoalan peramping­an kelembagaan, melainkan juga sebuah proses redesain struktur industri data. 

Riset adalah ujung tombak proses pencarian, pengumpulan data yang diperlukan untuk perumusan kebijakan dan strategi pembangunan. Karena itu, sebenarnya yang harus diubah ialah cara pandang kita terhadap riset. 

Selama ini kita hanya memandang riset sebagai alat kelengkapan pemerintah ‘jika diperlukan’ untuk pengambilan keputusan dan kadang-kadang tidak dilirik sama sekali. Atau, sering kali dianggap riset hanya sebuah aktivitas yang hanya menghasilkan output berupa produk; kalau bukan produk, bukanlah sebuah riset. 

Cara pandang inilah yang seharus­nya lebih dahulu diubah sehingga riset lebih multiguna dan perjalanan kebijakan lebih terukur.

Sebuah industri
Riset adalah sebuah industri yang memberikan dampak ganda (multiplier effect) bagi pembangunan. Riset mampu membantu mendistribusikan anggaran pembangunan, menggerakkan ekonomi transportasi, menstimulasi pembangunan daerah, memperkuat data nasional ‘big data’, share income generating kepada lapisan masyarakat dan lapangan pekerjaan, juga menumbuhkan inovasi dan daya saing bangsa.

Riset saat ini berkembang tidak hanya melalui anggaran rutin pemerintah, tapi juga bersumber dari swasta, negera asing, serta swakarya masyarakat. Jika dilakukan pemantauan secara komprehensif dari semua kegiatan riset, kita akan melihat dengan jelas struktur manusia yang bergerak di area riset.

Sebagai sebuah industri, riset memerlukan sumber energi, SDM, dan storage system sebagai dokumen riset. Sumber energi riset ialah dana dan prasarana riset. Jika dipetakan, selama ini tidak kurang 25% dari anggaran belanja lembaga ialah untuk riset, baik riset dasar, terapan, maupun inovasi dan produksi baru.

SDM bukan hanya peneliti yang mengelola riset. Di dalamnya termasuk sumber daya asisten riset, pendamping riset yang dapat berasal dari masyarakat di lapangan yang terlibat pengumpulan data. Keberadaan tenaga pendamping riset sering kali tidak dilihat, padahal mereka memberikan kontribusi waktu dan tenaga demi susksesnya riset. 

Banyak sekali riset aplikatif yang melibatkan pendamping baik sebagai penerjemah, pembantu survei, tenaga angkut, maupun fasilitator lokal. Satu tema riset bisa melibatkan masyarakat dan tenaga periset sebagai sumber daya riset.

Sementara itu, output riset dapat berupa data, report, paten, produksi barang, dan inovasi lain. Sampai saat ini output riset kita belum terkelola baik. Banyak data penelitian yang masih terdokumentasi dalam tumpukan kertas report, laporan dan paper tanpa bisa dibunyikan.

Bahkan, lebih parahnya data riset kita terekam di negeri asing mulai dari riset biodiversitas, nanobiotek­nologi, sampai dokumentasi riset. Kondisi menyedihkan kadang terjadi ketika data riset kita dipublikasikan peneliti asing.

Mengelola data riset sama saja dengan menguasai data untuk me­nguasai masa depan. Menyimpan data riset kita dalam sebuah big data ialah bagian dari aset yang perlu dikelola dalam sistem Industri 4.0.

Riset dalam RI 4.0
Transformasi riset dalam era Revolusi Industri (RI) 4.0 dimulai melalui tiga langkah yang sa­ling bersinergi. Pertama memperkuat tata kelola data melalui big data riset. Kedua, penguatan kelembagaan riset, dan ketiga, mendorong kemanfaatan dan fungsi manfaat riset.

Kebutuhan yang mendesak saat ini ialah menyiapkan big data riset terintegrasi perguruan tinggi dan lembaga riset nasional. Indonesia tidak boleh lagi membiarkan ada data yang tercecer dari big data baik karena akses jaringan internet, kemampuan memanfaatan informasi teknologi, maupun kemampuan individual yang sering terbatas. 

Setiap researcher tidak boleh lagi ada yang tidak paham internet karena tidak lagi menjadi mewah, yang sulit dijangkau. Potensi kekayaan negara tropis yang kaya dengan biodiversitas ialah bagian dari kekayaan data kita. Untuk itu, tata kelola data riset bukanlah hal yang main-main. 

Kita tidak lagi sekadar meng-input pdf format riset nasional, tapi harus memiliki sistem yang mengenali semua data riset untuk menghasilkan performa sumber daya hayati dan nonhayati serta lingkungan kita. Tata kelola data riset akan berfungsi strategis bagi bangsa kita.

Kedua, penguatan kelembagaan riset yang ada saat ini harus segera dilakukan. Penguatan tidak selalu berarti pembentukan lembaga riset baru, tapi dapat berupa reorientasi fungsi lembaga masing-masing. Kelembagaan LIPI dengan BPPT tentu memiliki level yang berbeda.     

Research dasar dan eksploratif dapat didorong dan dikelola di LIPI, sedangkan research terapan dan inkubator bisa disiapkan melalui BPPT dan Puspiptek. Untuk itu, tidak perlu melebur lembaga ini, tetapi mengembalikan fungsi masing-masing yang lebih utama sehingga riset menjadi produk melalui proses yang benar dan atraktif bagi pasar. 

Selain itu, pada tingkat perguruan tinggi, dengan adanya tiga kelompok perguruan tinggi yaitu satuan kerja (satker), badan layanan usaha, serta berbadan hukum, maka akselerasi riset dapat difungsionalkan secara optimal. 

Ke­oto­nomi­­an PTNBH seharusnya tidak sebatas akademik (membuka program studi), tapi termasuk keuangan dan aset. Sampai saat ini PTNBH masih berkutat dengan administrasi riset. Hasil riset sering kali sulit dikomersialkan dalam skala industri yang dikelola kampus karena alasan bukan unit bisnis. 

Jika PTNBH tidak mengembangkan bisnis dari riset, akan sulit mencari sumber pembiayaan dalam mendukung kemajuan kampus. Faktanya sangat sulit izin menggunakan aset untuk pengembangan bisnis pendidikan nonakademik berbasis riset tersebut.

Ketiga, mendorong kemanfaatan riset sebagai alat pengambilan keputusan. Kenapa hasil riset tercecer ketika menformulasi kebijakan? Karena riset tidak dianggap mampu diterjemahkan dalam bahasa publik bahkan politik. Siapa sebenarnya yang harus belajar? Pembuat kebijakan yang harus belajar bahasa akademik, atau bahasa akademik yang bertransformasi menjadi bahasa politik.

Namun, dengan keberadaan big data centre, hasil riset dapat dengan mudah diinterpretasi dalam bahasa kebijakan. Ke depan kebijakan nasional tidak ada lagi yang tidak berbasis data. Fenomena saat ini yang kita hadapi seperti impor komoditas pangan terjadi salah satunya karena kita tidak mampu mengumpulkan data dengan baik. Produksi tahunan tidak terekam baik, sebaran panen, yang kemudian berbuntut pada estimasi data sampling. 

Dengan adanya big data centre, statistik ke depan haruslah real time, bukan lagi sampling sehingga lebih terukur dengan baik. Dengan demikian, kita tidak perlu lagi berbeda dalam hal impor atau tidaknya suatu komoditas untuk masyarakat.

Big data centre ialah pintu gerbang transformasi lembaga riset. Untuk itu, yang diperlukan saat ini ialah penguatan dan penajaman fungsi masing-masingnya. Melalui big data centre, Indonesia akan menjadi sebuah industri riset yang kompetitif di dunia. 

Data-data riset tropis harus ada di Indonesia, bukan di negara asing seperti yang banyak terjadi saat ini. Dengan demikian, kita akan mampu merasakan kemanfaatan riset bagi pembangunan nasional.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya