Sang Arjuna

Ono Sarwono
30/9/2018 08:00
Sang Arjuna
(Dok.MI)

DI berbagai kesempatan Presiden Joko Widodo berulang kali mengingatkan bahwa kegiatan dukung-mendukung capres-cawapres dalam pemilu harus dilakukan secara sehat dan fair. Tidak menggunakan isu-isu sensitif seperti SARA, menyebarkan hoaks, atau menghamburkan fitnah.

Dalam bahasa lain, capres petahana itu mengajak siapa pun yang terlibat dalam persaingan pemilu mendatang mesti bersikap kesatria. Dengan demikian, demokrasi akan semakin dewasa dan matang sehingga mampu mengantarkan rakyat mencapai kehidupan yang adil dan makmur.

Bila melihat dunia wayang, sikap kesatria yang demikian itu di antaranya dilambangkan pada Arjuna. Anak ketiga dalam keluarga Pandawa putra mendiang Raja Astina Prabu Pandu Dewanata-Kunti/Madrim ini merupakan contoh kompetitor paling ideal.     

Gemar berguru
Arjuna memiliki sifat bersahaja, cerdik, jujur, sopan dan beretika. Ia juga dikenal sebagai kesatria yang teteg (kukuh), tatag (tidak waswas), tanggap (mengerti), tangguh (kuat), tanggon (dapat diandalkan), dan tutug (tuntas).

Ia berkulit bersih dan halus tanpa otot menonjol. Dengan tubuhnya yang atletis dan tidak terlalu tinggi, membuat penampilannya simpatik. Apalagi, ketampanannya selalu membuat semua orang terpikat, terutama kaum hawa.   

Tapi, di balik semua kesannya yang lembut, Arjuna memiliki kekuatan luar biasa. Kesaktiannya yang tiada tara bersumber dari kekuatan batin dan jiwanya. Maka, dalam pakeliran digambarkan, meski gerakannya pelan dan halus, satu kali pukulannya saja sudah membuat lawan tersungkur.

Semua keunggulan diri Arjuna berkat ketekunannya menggeladi diri selama hampir seluruh hidupnya. Jika dibandingkan dengan keempat saudaranya, Arjuna dikenal yang paling gemar menjalani laku prihatin.

Arjuna, yang juga bernama Parta (jagoan perang), adalah satu dari lima putra Raja Astina Pandu Dewanata-Kunti/Madrim yang disebut Pandawa. Keempat saudaranya ialah Puntadewa, Werkudara, Nakula, dan Sadewa.

Sedari remaja, ketika masih bertempat tinggal di Istana Astina, Arjuna sudah tekun mangasah bakatnya memanah. Ia belajar kepada Resi Durna, pengasuh Padepokan Sokalima. Arjuna menjadi murid terbaik dalam memanah. Atas prestasinya, Arjuna mendapat penghargaan Panah Sengkali.

Kodratnya, Arjuna beserta saudaranya mesti menjalani kepahitan hidup. Pascameninggalnya bapaknya, Pandawa terusir dari Istana Astina akibat perilaku culas saudara sepupu mereka, Kurawa, yang bernafsu menguasai singgasana Astina. Pandawa akhirnya hidup ngulandara, berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain dalam kepapaan.

Namun, Arjuna (Pandawa) tidak pernah mengeluh atau meratap. Kepahitan itu justru ia jadikan gelanggang menggeladi diri. Ia terus berburu menguasai sebanyak mungkin ilmu dan kesaktian dengan cara berguru, bertapa, serta menjalani laku spiritual.

Misalnya, Arjuna pernah berguru kepada Begawan Padmanaba di Padepokan Untarayana. Di perguruan itu, ia belajar bersama kakak sepupu dari garis ibu, Narayana. Keduanya menjadi lulusan terbaik.

Sebelumnya, Arjuna berguru kepada Begawan Wilawuk di Pedepokan Pringcendani. Sang guru memberikan pusaka lenga jayengkaton. Dengan mengusapkan minyak itu ke alis mata, Arjuna bisa melihat semua makhluk yang tidak bisa dipandang dengan mata telanjang.

Pada sisi lain, Arjuna juga menguasai ilmu panglimunan, tunggengmaya, sepiangin, mayabumi, pengasih, dan asmaragama.

Begawan Mintaraga
Selain itu, Arjuna juga gentur bertapa. Di antara laku spiritualnya yang monumental ialah ketika bertapa di lereng Gunung Indrakila dengan menyebut diri sebagai Begawan Mintaraga alias Ciptoning.

Raja Kahyangan Jonggring Saloka Bathara Manikmaya menilai Arjuna lulus menjalani laku prihatin dan kemudian memberi penghargaan berupa Panah Pasopati yang ujung panahnya berwujud seperti bulan sabit.

Penghargaan para dewa semakin banyak setelah ia mampu membersihkan Kahyangan dari jamahan Prabu Niwatakawaca dari Manimantaka. Bathara Narada memberikan Panah Cundamanik, Bathara Indra menghadiahkan senjata Gendewa, dan Bathara Kuwera memberikan Panah Ardadedali.

Bukan itu saja, atas jasanya itu, dewa mengangkat Arjuna sebagai raja sesaat di Kahyangan bergelar Prabu Kiritin. Itu simbolisasi akan kualitas jiwa Arjuna yang diakui sudah sepadan dengan dewa.

Dengan bekal berbagai ilmu dan kesaktian serta kualitas jiwanya itulah Arjuna mengemban tugasnya sebagai kesatria. Ia senantiasa berhasil menjalankan kewajiban bukan hanya di marcapada, tetapi juga ketika menjadi duta dewa menegakkan kewibawaan Kahyangan.

Satu tugas hebat dan berat hidupnya, yang sekaligus mempertontonkan jiwa kesatrianya, ketika terjun dalam kancah Bharatayuda. Di medan perang itu, Arjuna tidak pernah curang atau menggunakan taktik kotor. Ia menjunjung tinggi aturan dan berprinsip ‘ini dadaku, mana dadamu’.

Puncak peperangannya di Kurusetra ketika berhadapan dengan saudaranya sendiri lain ayah, Karna Basusena, yang medukung rezim Kurawa. Ini perangnya antarkesatria pinunjul yang sama-sama sakti.

Semula, Arjuna tidak bersedia menghadapi saudara sendiri. Ia putra Pandu yang lahir dari rahim Kunti Talibrata, sedangkan Karna beribu Kunti dari ‘benih’ Bathara Surya dari Kahyangan Ekacakra. Karna lahir jauh sebelum ibunya, Kunti, dipinang Pandu.

Keraguan Arjuna memuncak ketika sedang sengit-sengitnya adu anak panah, tiba-tiba Karna terdesak. Salah satu roda keretanya dengan sais mertuanya, Prabu Salya, terperosok ke lumpur. Pada saat itu, Karna sendiri sadar bahwa dirinya bisa menjadi sasaran empuk panah Arjuna.

Namun, Arjuna yang sudah siap melepaskan pasopati, panah pamungkas, kemudian diturunkan. Arjuna paham bahwa Bharatayuda bukan perang ampyak awur-awur (tanpa aturan). Nista bagi kesatria yang menyirnakan musuh ketika dalam kondisi yang tidak siap berperang.

Persaingan kesatria
Dalam detik-detik genting itulah, Kresna, yang menjadi kusir kereta yang dinaiki Arjuna, menyadarkan adik iparnya itu bahwa yang berada di depannya itu sesungguhnya lambang kezaliman. Jadi, di situlah sejatinya tugas kesatria. Karena jika tidak bertindak, kezaliman dan keangkaramurkaan akan merajalela.

Arjuna lalu melepaskan pasopati dan tepat mengenai leher Karna dan gugurlah sang senapati agung Kurawa. Pertempuran dua bersaudara itu dalam dunia perkeliran dikenal dengan lakon Karna Tandhing.

Poin dari kisah itu ialah bahwa Arjuna merupakan kompetitor yang pantas berkompetisi. Ia sudah mempersiapkan diri dengan segala kemampuannya secara lahir dan batin untuk meraih kemenangan. Dan  peperangannya melawan Karna merupakan contoh persaingan secara kesatria. (M-3)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya