Headline

Kecelakaan berulang jadi refleksi tata kelola keselamatan pelayaran yang buruk.

Fokus

Tidak mengutuk serangan Israel dan AS dikritik

Peran Literasi Kritis Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa

Rahma Sugihartati Dosen Masyarakat Informasi di Departemen Ilmu Informasi dan Perpustakaan FISIP Univeristas Airlangga
08/9/2018 01:20
Peran Literasi Kritis Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa
(thinkstock)

DI berbagai belahan dunia, peringatan Hari Literasi Internasional dimaknai sebagai upaya memobilisasi seluruh warga masyarakat untuk mempromosikan keaksaraan sebagai alat untuk memberdayakan individu, komunitas, dan masyarakat. Di tingkat nasional, hari ini sering dimaknai sebagai momentum untuk mempercepat program literasi, momentum untuk terus meningkatkan gairah membaca, peran perpustakaan, dan berbagai hal yang intinya mendorong peningkatan pengetahuan masyarakat.
     
Bagi Indonesia, peringatan Hari Literasi Internasional Ke-53 kali ini memiliki makna strategis sebab hingga detik ini persoalan literasi sesungguhnya masih menjadi tanda tanya banyak pihak. Meskipun angka buta aksara di Indonesia diperkirakan hanya tinggal 2,7%, menurut data statistik dari UNESCO, dari total 61 negara, Indonesia masih berada di peringkat 60 dengan tingkat literasi rendah. Peringkat 59 diisi Thailand dan peringkat terakhir diisi Botswana. Finlandia menduduki peringkat pertama dengan tingkat literasi yang tinggi, hampir mencapai 100%.
     
Di Indonesia, kondisi minat dan perilaku membaca masyarakat masih tertinggal jauh dari Singapura dan Malaysia. Penelitian yang dilakukan United Nations Development Programme (UNDP) menyebutkan tingkat pendidikan masyarakat Indonesia berdasarkan indeks pembangunan manusia (IPM) masih tergolong rendah, yakni 14,6%. Persentase itu jauh lebih rendah daripada Malaysia yang mencapai angka 28% dan Singapura yang mencapai angka 33%.
    
Pada 2018 ini, tema yang diusung UNESCO dalam peringatan Hari Literasi Internasional ialah Literacy and skills development. Tema itu tentu sangat relevan bagi Indonesia karena literasi masyarakat di Tanah Air harus diakui masih jauh dari memadai. Lebih dari sekadar kemampuan teknis untuk mengoperasikan gadget dan laptop, yang dimaksud literasi di sini tentu bukan hanya literasi digital, tetapi juga literasi kritis.

Literasi digital
Di era perkembangan masyarakat digital, literasi harus diakui merupakan kunci utama untuk membuka masa depan. Ketika terjadi booming informasi, dan kesempatan untuk mengakses informasi menjadi jauh lebih terbuka, maka pada titik itu makin terbukalah kesempatan bagi semua warga masyarakat di dunia untuk memberdayakan potensi dirinya.
      
Ketika iklim persaingan antarbangsa makin menguat, telah disadari bahwa di era digital seperti sekarang ini, literasi memiliki peran yang sangat strategis. Arti penting literasi di era digital umumnya berkaitan dengan praktik-praktik ketika warga masyarakat aktif membangun multimodal teks, mampu memanfaatkan teknologi informasi untuk berbagai tujuan dan bereksperimen dengan cara baru untuk membangun, sekaligus mengungkapkan identitas sosialnya.
     
Jenkins (2006) menggambarkan kecenderungan yang berkembang saat ini ialah 'budaya partisipatif', yaitu suatu bentuk perkembangan baru yang melibatkan anak-anak muda menjadi warganet yang aktif dalam dunia online mereka. Literasi yang terbentuk di era digital sudah barang tentu berbeda dengan literasi yang terbentuk di era industri. Ketika masyarakat tumbuh menjadi masyarakat informasional, dan teknologi informasi serta internet telah berkembang masif, maka literasi yang tumbuh pun ialah literasi digital.
    
Literasi digital menunjuk pada praktik-praktik komunikasi, menjalin relasi, berpikir, dan aktivitas lain yang berkaitan dengan media digital. Mengembangkan pengertian literasi digital ialah bagian dari upaya memahami bagaimana media memberikan dampak terhadap berbagai jenis praktik literasi yang muncul, termasuk bagaimana praktik membaca dan menulis yang berkembang karena pengaruh penggunaan teknologi digital.
      
Dengan kata lain, literasi digital di sini tidak hanya bersangkut-paut dengan kemampuan teknis mengoperasionalkan komputer sebagai peralatan digital, tetapi juga menyangkut kemampuan beradaptasi dengan aktivitas-aktivitas yang termediasi teknologi digital termasuk praktik-praktik sosial termediasi (Jones and Hafner, 2012).
     
Gilster (1997) berpendapat bahwa literasi digital merupakan pengetahuan dan cara untuk menyerap informasi, mengevaluasinya dan mengintegrasikan informasi tersebut untuk kepentingan pengembangan potensi diri dan kepentingan lembaga. Lebih dari sekadar aktivitas membaca dan kemampuan teknis menelusur informasi, seseorang yang memiliki kemampuan literasi digital yang baik niscaya akan dapat memanfaatkan informasi yang ada untuk memberdayakan dirinya.

Literasi kritis
Dengan makin membanjirnya informasi, siapa pun sebenarnya perlu untuk mengembangkan keterampilan dan strategi dalam menentukan kualitas, keandalan, validitas, tujuan, dan maksud dari informasi yang mereka akses dan dapatkan dengan mudah. Literasi kritis ialah cara mengevaluasi teks atau maksud dari teks, alasan teks ditulis dari perspektif tertentu, dan alasan tertentu dari elemen yang berkaitan dengan teks yang dikonsumsi.
     
Saat ini, selain karakteristik Web 2.0 dan dengan budaya partisipasi yang berkembang, dengan didukung sikap kritis maka siapa pun akan mampu mengamankan status pembaca dari penerima pasif yang sekadar mengonsumsi ide-ide penulis menjadi pemikir kritis yang selalu mengembangkan pertanyaan kritis tentang penulis dan teks, meneliti informasi atau ide-ide (McLeod and Vasinda, 2008).
    
Pada saat di dunia maya terjadi ledakan atau bom informasi yang luar biasa pesat, para user yang tidak didukung dan memiliki literasi kritis bukan tidak mungkin terjebak dalam pusaran informasi yang sekadar hoaks, atau informasi yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.
    
Memasuki tahun politik, literasi kritis ialah prasyarat mutlak yang dibutuhkan untuk menjamin agar bangsa ini tidak terpecah-belah dalam konflik horizontal antarkelompok, ataupun konflik ideologi. Pengalaman telah banyak membuktikan, ketika hoaks berseliweran di dunia maya, dan ujaran kebencian didesain secara khusus oleh kelompok-kelompok tertentu karena didorong motif ekonomi maupun politis, maka yang terjadi kemudian risiko perpecahan bangsa menjadi rentan terjadi.
    
Lebih dari sekadar literasi digital, saat ini yang dibutuhkan bangsa Indonesia tak pelak ialah literasi kritis, yakni kemampuan masyarakat, terutama warganet, agar tidak mudah terprovokasi dan hanya menjadi objek permainan elite politik untuk mewujudkan ambisi pribadi mereka.
    
Semoga peringatan Hari Literasi Internasional di tahun ini menjadi tonggak dimulainya perkembangan kesadaran baru dan era kebangkitan literasi kritis yang mampu menjadi fondasi untuk menyangga kelangsungan masa depan bangsa Indonesia.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya