Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
PENGOBATAN kanker di mana pun sangat mahal. Sejauh ini, trastuzumab merupakan jenis obat kanker payudara paling diandalkan. Harganya mahal, permintaannya tinggi. Semula jaminan kesehatan BPJS memasukkannya ke dalam obat yang ditanggung negara. Namun, sejak 1 April 2018, jaminan atas obat ini dicoret dari daftar tanggungan BPJS Kesehatan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Kanker payudara tipe HER2 positif yang membutuhkan obat trastuzumab mencapai seperlima dari seluruh kasus kanker payudara. Penarikan trastuzumab dari daftar formularium nasional atau daftar obat yang ditanggung negara memunculkan kegaduhan. Protes bermunculan, satu keluarga pasien menggugat BPJS dan Presiden Joko Widodo.
Pencabutan itu dianggap tindakan melawan hukum. Secara ilmiah tanpa trastuzumab, terbukti harapan untuk sembuh pada kasus kanker payudara, baik stadium awal maupun lanjut menurun.
Trastuzumab telah masuk ke daftar obat esensial WHO. Artinya, obat itu diperlukan dalam sistem perawatan kesehatan dasar. Ia paling efektif dan aman untuk kondisi yang memerlukan prioritas penanganan. WHO menambahkan, karena harganya mahal, pemakaian obat pengganti yang sejenis atau biosimilar harus dipertimbangkan.
Harga trastuzumab bermerek dagang Herceptin di Indonesia berkisar Rp20-Rp25 juta per botol. Dalam standar terapi dunia saat ini, pasien kanker payudara HER-2 positif stadium awal memerlukan 18 kali pemberian trastuzumab atau sekitar Rp400 juta.
Sementara itu, untuk kanker payudara HER-2 positif stadium lanjut obat ini diberikan guna mencegah penyebarannya. Selama pasien kuat menerimanya dan terbukti dapat mengurangi penyebaran, obat bisa diberikan lebih dari 18 kali. Artinya, biaya trastuzumab untuk stadium lanjut bisa lebih tinggi lagi.
Sebelum 1 April 2018, BPJS menanggung delapan kali trastuzumab untuk stadium lanjut, tetapi tidak berlaku untuk stadium awal. BPJS Kesehatan mencatat penggunan trastuzumab menduduki peringkat ketiga tertinggi dari 10 obat kemoterapi berbiaya terbesar tahun 2014, 2015, dan 2016.
Dengan mahalnya harga obat, pos pengeluaran obat kanker menjadi pengeluaran tertinggi pengobatan seluruh pasien BPJS. Ini belum mencakup biaya rawat inap, pemeriksaan diagnostik, tindakan dan alat-alat medis, serta jasa tenaga medis.
Jelas sudah belanja negara untuk kanker begitu tinggi. Dengan mengutip keterangan BPJS, media melaporkan biaya pengobatan kanker mencapai 17% dari seluruh biaya JKN. Sampai 2017 tercatat Rp2,8 triliun dikeluarkan untuk terapi kanker saja.
BPJS tahun ini dilaporkan defisit Rp800 miliar-Rp1 triliun/bulan, atau Rp9,6 triliun-Rp12 triliun/tahun. Ini jelas berat sebab akses publik terhadap obat, apalagi obat mahal seperti trastuzumab, bergantung pada kemampuan negara membiayainya.
Perlunya pengobatan kanker di satu pihak, dan mahalnya pembiayaan di pihak lain, membutuhkan pemikiran strategis. Siapa pun tak pernah berharap penyakit itu menimpanya. Namun, biaya mahal seharusnya bukan alasan tak mendapatkan pengobatan. Problem ini harus teratasi.
Upaya itu bisa dilakukan dengan usaha penghematan. Contoh usaha penghematan dalam pengobatan kanker berjangka panjang, penggunaan panduan standar terapi berbasis bukti (evidence based medicine = EBM) semutakhir mungkin. Makin ber-EBM sebuah panduan terapi, makin tinggi efektivitas, efisiensi, dan jaminan keamanan pasien.
Contoh kedua, dunia riset kanker terus berusaha menemukan lebih banyak biomarker untuk mengidentifikasi keunikan biologis pasien kanker. Dengan cara itu setiap pasien kanker hanya diberikan obat paling cocok untuk dirinya.
Contoh ketiga, memperbesar alokasi dana kesehatan untuk program pencegahan dan deteksi dini kanker. Logikanya, makin banyak ditemukan kanker stadium awal, makin berkurang biaya yang mesti dikeluarkan.
Strategi penghematan biaya layanan kanker jangka pendek juga bisa dilakukan, antara lain menghindari penggunaan obat terbuang. Karena obat kanker mahal, biaya terbuang percuma juga bisa menjadi tinggi. Obat terbuang umumnya akibat obat tidak (jadi) digunakan atau digunakan sebagian. Usaha efisiensi agar tak terjadi obat terbuang menjadi pilihan strategis yang tak berisiko bagi pasien.
Prinsip pengurangan obat terbuang juga harusnya bisa diberlakukan untuk trastuzumab. Selama ini yang dipakai di Indonesia berisi 440 miligram trastuzumab/botol. Untuk orang Indonesia yang umumnya berat badan ringan, trastuzumab sering bersisa. Dalam rangka mengurangi drug waste, bisa dilakukan metode vial-sharing. Obat trastuzumab yang tersisa dijadikan satu sehingga mencukupi dosisnya. Untuk menerapkan ini, diperlukan prosedur operasional standar yang benar dan tepat.
Mahalnya obat biologi seperti trastuzumab juga mendorong lahirnya obat biosimilar. Obat biosimilar ialah obat biologi yang dibuat meniru obat biologi aslinya semirip mungkin. Harga obat biosimilar ini bisa separuh harga. Namun, peniruan produk biologi membutuhkan infrastruktur dan teknologi tinggi. Sebelum mendapatkan izin pemasaran, obat biosimilar harus lolos uji berganda untuk menilai efektivitas obat agar semirip obat biologi aslinya.
Sejumlah obat biosimilar untuk trastuzumab sudah tersedia dengan merek dagang CanMab di India, Zedora di Brasil, AryoTrust di Iran, Saiputing di Tiongkok, Herzuma di Korsel dan Uni Eropa, Ontruzant dan Kanjinti di Inggris, dan Ogivri di AS.
Indonesia telah memiliki kebijakan pengadaan obat biosimilar, termasuk usaha pengadaan biosimilar untuk trastuzumab sebagai alternatif lebih murah dari merek Herceptin. Paten obat ini sudah berakhir 2014 di Eropa dan akan berakhir 2019 di AS.
Sejalan dengan peraturan BPOM (Perka BPOM RI No 16 dan 17/2015), yang mengatur pengembangan obat biosimilar, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan mengeluarkan rencana strategis pengembangan obat biosimilar untuk memenuhi kebutuhan di RI.
Khusus untuk trastuzumab, Peraturan BPOM ini menyebutkan bahwa pengembangan biosimilar dimulai 2019 sampai 2022. Berkaitan dengan rencana ini, tahun 2015, PT Biofarma (persero), menandatangani kerja sama dengan ProBioGen, dari Berlin, Jerman, untuk alih teknologi memproduksi biosimilar dari trastuzumab.
Saat ini Kalbe Farma telah mengedarkan produk biosimilar dari trastuzumab dengan harga sekitar Rp13 juta. Berdasarkan Permenkes No 1010/2008, impor obat yang belum bisa di produksi sendiri diizinkan.
Bagaimanapun caranya, usaha mengurangi belanja masyarakat dan negara untuk kesehatan perlu didukung dengan strategi penghematan serentak. Diperlukan inovasi yang dapat menjaga terbukanya akses publik terhadap obat mahal, termasuk produk biosimilar dari trastuzumab. Memfasilitasi Biofarma supaya secepatnya berproduksi merupakan satu bentuk inovasi itu.
Advokasi dan lobi lain harus terus dilakukan. Pemerintah, pihak industri farmasi, dan institusi penyedia layanan kesehatan perlu dibantu menemukan solusi atas pembiayaan mahal dan kebutuhan obat.
Harus diakui biaya merupakan kendala utama. Karena itu, guyuran tambahan dana perlu dipikirkan, misalnya dalam bentuk alokasi dana khusus untuk obat mahal. Logis kalau secara keseluruhan anggaran negara di sektor kesehatan harus ditingkatkan, tidak hanya untuk menangani persoalan BPJS Kesehatan yang mengalami defisit. Namun, untuk mencapai penurunan angka kematian karena kanker dan akhirnya mencapai tujuan bersama yang paling besar: Indonesia yang lebih sehat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved