Headline
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
Dengan bayar biaya konstruksi Rp8 juta/m2, penghuni Rumah Flat Menteng mendapat hak tinggal 60 tahun.
KETEGANGAN yang terjadi di arena Hari Bebas Kendaraan Bermotor pada Minggu (29/4) lalu menjadi gambaran terkini situasi politik Indonesia. Kelompok yang berbeda kepentingan dianggap sebagai musuh politik (enemy) bukan lagi lawan politik (adversary).
Dalam KBBI, musuh memang diartikan sebagai lawan. Namun, Chantal Mouffe yang merupakan ahli teori politik terkemuka membedakan kedua lema tersebut. Mouffe (2005) mengandaikan hubungan antara dua kelompok berbeda dalam alam demokrasi bukanlah permusuhan melainkan persaingan.
Karena bersaing, maka gagasan pihak lawan harus ditentang kalau perlu dilawan habis-habisan. Meski begitu, eksistensi mereka sebagai sebuah entitas politik wajib dihargai dan diberi ruang manakala sedang membela gagasan yang mereka yakini kebenarannya.
Hal ini yang tidak dilakukan oleh Massa #GantiPresiden 2019 di arena Hari Bebas Kendaraan Bermotor. Alih-alih memberi ruang terhadap kelompok pendukung #DiaSibukKerja, Massa #GantiPresiden 2019 justru melakukan intimidasi sampai menjurus pada persekusi.
Entitas politik yang berbeda padangan tidak lagi dipandang sebagai adversary tetapi sudah menjadi musuh atau enemy. Yang kemudian terjadi ialah penolakan eksistensi musuh bahkan mungkin bisa sampai pada penghabisan secara fisik.
Yasraf Amir Piliang dalam Kuliah Umum Transpolitika (2013) mengutarakan yang paling susah dalam demokrasi ialah menempatkan entitas politik berbeda sebagai lawan. Yang lebih sering terjadi ialah memperlakukan kelompok-kelompok berbeda untuk dimusnahkan.
Padahal, hal itu tidak boleh terjadi dalam politik. Politik memang proses pertarungan untuk menjadi pemenang, namun yang dipertarungkan ialah gagasan, ideologi, nilai-nilai, dan keyakinan, bukan semata-mata merebut kursi RI-1.
Praktik intimidasi oleh Massa #GantiPresiden 2019 itu sekaligus menunjukkan betapa politik yang tulen (genuine), yakni menancapkan gagasan kepada sebanyak mungkin orang dengan menggunakan kemampuan simbolik, masih sulit terwujud.
Politik masih seputar urusan mengganti presiden. Padahal, banyak hal penting yang seharusnya diperjuangkan oleh politisi di luar partai penguasa. Namun, apa yang mau diperjuangkan kalau corak ideologi partai-partai yang ada di Indonesia hampir seragam?
Burhanuddin Muhtadi dan kawan-kawan lewat tulisan Mapping Indonesian Political Spectrum menyebutkan posisi ideologis partai-partai baik itu koalisi maupun oposisi nyaris tanpa perbedaan. Satu-satunya isu yang menegaskan perbedaan ideologi hanyalah soal agama.
Padahal, agama mustahil untuk diseret-seret ke ranah politik. Presiden I RI Soekarno mengatakan setiap ajaran agama punya nilai luhur. Ia, misalnya, mengagumi sebuah ajaran Hindu Tat Twam Asi yang berarti Aku adalah dia.
"Apa artinya Tat Twam Asi? Tat Twam Asi berarti Aku adalah dia, dia adalah aku. Dia pakai, aku ikut pakai. Dia senang, aku ikut senang. Aku senang, dia ikut senang. Aku sakit, dia ikut sakit. Tat Twam Asi–perikemanusiaan."
Soekarno juga sangat menghormati ajaran Islam yang begitu sempurna mengajarkan perihal perikemanusiaan, yakni fardhu kifayah. Menurut Soekarno, ajaran itu mengatur soal kewajiban-kewajiban yang dipikulkan kepada seluruh masyarakat.
Minimnya pertarungan gagasan, ideologi, dan nilai-nilai, di kalangan partai koalisi maupun oposisi inilah yang pada akhirnya membawa Indonesia terus mengalami defisit demokrasi. Politik hanya urusan berebut kursi tanpa perlu susah payah bertarung ideologi dan gagasan. (Irvan Sihombing)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved