Headline

KPK akan telusuri pemerasan di Kemenaker sejak 2019.

Nyoba Nyaleg

Suprianto Annaf, Redaktur Bahasa Media Indonesia
29/4/2018 00:00
Nyoba Nyaleg
(ANTARA FOTO/Aji Styawan)

Begitu menggelikan bila mata terantuk kata-kata seperti dalam judul tulisan ini. Selain seperti ranjau paku yang menghalangi laju kendaraan, kata-kata itu menjadi potret buruk pemakaian bahasa Indonesia di ruang publik. Kata seperti itu kian bertebaran, tidak hanya di media daring, tetapi juga di televisi dan koran nasional. Semakin banyak yang ingin menjadi calon wakil presiden Joko Widodo, semakin sering pula kata itu dimunculkan. Aneh!

Fenomena kata nyalon, nyapres, nyawapres, nyaleg menjadi siklus lima tahunan yang bersesak di ruang umum. Koran, majalah, televisi, dan situs daring seperti simultan menuliskan kata-kata itu. Seakan kata seperti inilah yang menjadi daya tarik bila memuat berita tentang pilkada dan pilpres. Tidak ada pilihan kata lain!

Lihatlah judul beberapa berita ini: Getol Maju Nyawapres, Cak Imin Berdoa di Makam Taufiq Kiemas; Muhaimin Iskandar Yakin Diajak Jokowi Nyawapres 2019; Dapat Dukungan Ulama, Cak Imin makin Mantap Nyawapres; Menteri Susi Ingin Nyawapres; serta JK Sebut Koruptor Bisa Nyaleg jika Hak Politik tidak Dicabut. Sebenarnya masih banyak tulisan daring lain yang memuat kata-kata itu. Sesak seperti sampah.

Secara bahasa, penukaran huruf /c/ dengan /s/ harusnya tidak terjadi. Hal ini tidak dimungkinkan karena letak huruf-huruf itu dalam susunan alat ucap manusia berbeda dan berjauhan. Huruf /c/ berada dalam kelompok hambat tak bersuara, sedangkan huruf /s/ termasuk dalam huruf geser. Akan tetapi, dalam realisasi di ruang-ruang publik, kedua huruf ini kerap dipertukarkan, terutama huruf /c/ yang bersangau. Kata calon yang berubah menjadi kata nyalon, kata caleg yang berganti nyaleg, dan lain sebagainya. Hilangnya huruf awal pada kata berawal /c/ itu merupakan kelatahan berbahasa.

Realisasi peluluhan huruf /c/ memang bukan terjadi sebulan atau dua bulan terakhir. Namun, hal itu sudah berurat dalam masyarakat. Tak ada yang menduga kata seperti cuci, cubit, cabut, dan colek akan berubah menjadi nyuci, nyubit, nyabut, dan nyolek. Namun, sebaliknya kata-kata yang berawal huruf /s/, yang seharusnya mengalami peluluhan, justru tidak diperlakukan seharusnya. Lihatlah kata mensosialisasikan yang seharusnya menyosialisasikan.

Kalau saja kata-kata di atas digunakan dalam situasi nonformal atau dalam lisan, tentu tidak perlu mendapat perhatian berlebihan. Akan tetapi, ini justru terjadi dalam ragam tulis yang notabene lebih baku dan formal. Pada ragam tulislah standar berbahasa banyak diterapkan. Apalagi, kliping surat kabar acap kali menjadi bahan ajar bagi siswa di bangku sekolah. Bisa-bisa proses edukasi terdampak negatif.

Kelatahan ini menular. Pemakai bahasa kian menjauh dari keadaban berbahasa. Integritas bahasa Indonesia rusak diterpa keengganan berbahasa Indonesia dengan baik. Seakan gengsi menggunakan bahasa benar di ruang publik. Bisa jadi inilah cerminan generasi abai berbahasa. Selain tidak peduli, pemakai bahasa cenderung berkreasi dalam ketidaktahuan. Miskin pengetahuan bahasa.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya