Headline
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.
Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.
DI manakah posisi penulis buku dan buku dalam pembangunan bangsa dan negara kita? Soal ini sama sekali tak diatur di dalam UU No 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan (UUPK). Bahkan kata buku pun tak tercantum sama sekali di dalam UU baru itu. UUPK hanya menyatakan objek pemajuan kebudayaan meliputi tradisi lisan, manuskrip, adat istiadat, ritus, pengetahuan tradisional, teknologi tradisional, seni, bahasa, permainan rakyat, dan olahraga tradisional.
Padahal, dalam UUPK dengan tegas dinyatakan, pemajuan kebudayaan bertujuan untuk mengembangkan nilai-nilai luhur budaya bangsa, memperkaya keberagaman budaya, memperteguh jati diri bangsa, memperteguh persatuan dan kesatuan bangsa. Dan mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan citra bangsa, mewujudkan masyarakat madani, meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta melestarikan warisan budaya bangsa, dan memengaruhi arah perkembangan peradaban dunia sehingga kebudayaan menjadi haluan pembangunan nasional (Pasal 4). Mungkinkah ini diwujudkan tanpa andil penulis buku dan buku?
Bagaimana dengan UU No 3/2017 tentang Sistem Perbukuan (UUSP) yang juga masih baru diundangkan? Dalam UUSP hanya dinyatakan, 'Buku sebagai salah satu sarana membangun dan meningkatkan budaya literasi masyarakat Indonesia perlu mendapatkan perhatian khusus guna mendorong masyarakat berperan dalam tingkat global'. Literasi diartikan sebagai kemampuan memaknai informasi secara kritis sehingga setiap orang dapat mengakses ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai upaya dalam meningkatkan kualitas hidupnya.
UUSP menyatakan, 'Penyelenggaraan Sistem Perbukuan bertujuan menumbuhkan dan memperkuat rasa cinta tanah air serta membangun jati diri dan karakter bangsa. Mengatur dan mewujudkan Sistem Perbukuan serta meningkatkan mutu dan jumlah sumber daya perbukuan untuk menghasilkan buku bermutu, murah, dan merata, menumbuhkembangkan budaya literasi seluruh warga negara Indonesia, dan meningkatkan peran pelaku perbukuan untuk mempromosikan kebudayaan nasional Indonesia melalui buku di tengah peradaban dunia' (Pasal 4).
Bahkan perihal posisi penulis buku pun tak diatur sama sekali di dalam UUSP. Dalam Pasal 13 hanya dinyatakan, penulis buku berhak memiliki hak cipta atas naskah tulisannya, mengalihkan hak cipta atas naskah buku karangan atau tulisan yang dimiliki, memperoleh data dan informasi tiras buku dan penjualan buku secara periodik dari penerbit, membentuk organisasi profesi, dan mendapatkan imbalan atas hak penerbitan naskah tulisannya.
UU itu mengatur hal-hal yang sangat teknis belaka sementara hal-hal yang sangat substantif dan prinsipiil tak diatur sama sekali. Jadi, posisi penulis tiada bedanya dengan tukang perhiasan, tukang mebel, dan tukang-tukang lainnya. Buku pun diposisikan sama saja dengan barang-barang yang dibuat para tukang itu.
Puluhan tahun DPR dan pemerintah membuat kedua UU itu. Tentu dalam proses pembuatannya telah dilibatkan berbagai pihak sebagai pemberi masukan. Akan tetapi, hasilnya ternyata jauh dari harapan kita. Peran besar penulis buku dan buku dalam pembangunan bangsa kita, terutama di bidang pendidikan dan kebudayaan (dikbud), sama sekali tidak diakui di dalam UUPK dan UUSP. Jangankan hak-hak istimewa, apresiasi atau penghargaan atau insentif buat penulis buku, penerbit buku, penjual buku, dan pembaca buku pun sama sekali tak dijanjikan di dalam kedua UU tersebut.
Pasal 35 UUSP hanya menyatakan, 'Pemerintah Pusat berwenang menetapkan kebijakan pengembangan Sistem Perbukuan, menetapkan kebijakan pengembangan budaya literasi, mengembangkan Sistem Perbukuan yang sehat, memberikan insentif fiskal untuk pengembangan perbukuan, dan membina, memfasilitasi, dan mengawasi penyelenggaraan Sistem Perbukuan'.
Bebas pajak
Berbeda dengan UUSP, di dalam UUPK dinyatakan dengan jelas, 'Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan/atau setiap orang dapat memberikan penghargaan yang sepadan kepada pihak yang berprestasi atau berkontribusi luar biasa sesuai dengan prestasi dan kontribusinya dalam Pemajuan Kebudayaan' (Pasal 50).
Selain penghargaan, untuk memperkaya kebudayaan nasional Indonesia, pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah memberikan fasilitas kepada sumber daya manusia kebudayaan yang berjasa dan/atau berprestasi luar biasa dalam pemajuan kebudayaan. Fasilitas yang diberikan kepada sumber daya manusia kebudayaan yang berjasa dan berprestasi luar biasa digunakan untuk mengembangkan karyanya (Pasal 51). Bahkan dalam Pasal 52 ditegaskan, 'Pemerintah Pusat dan/atau Pemerintah Daerah dapat memberikan insentif kepada setiap orang yang memberikan kontribusi dalam Pemajuan Kebudayaan'.
Hal demikian sama sekali tak dijanjikan dalam UUSP. Ini sungguh sangat mengherankan kita. Ini dapat diartikan bahwa di mata pemerintah dan DPR, penulis buku, penerbit buku, penjual buku, dan pembaca buku tidak memiliki posisi strategis dalam pembangunan bangsa dan negara, terutama dalam bidang dikbud. Padahal, sejarah dunia telah membuktikan tak satu bangsa dan negara pun yang bisa maju (modern) tanpa andil besar keempat pihak tersebut.
Semestinya pemerintah tak memungut pajak-pajak kertas, media cetak, penulis buku, penerbit buku, pedagang buku, dan konsumen buku. Justru pemerintah wajib memberi mereka pengistimewaan, insentif, dan penghargaan karena mereka berposisi sebagai pejuang, pegiat, pekerja, pencipta, dan pahlawan dikbud. Mereka mesti diposisikan dengan benar dan baik dalam pembangunan dikbud di mana pun. Buku harus diposisikan sebagai produk budaya yang berperan besar sebagai media pembangunan dikbud.
Soal insentif bagi penulis dan pembaca, di sini penulis dapat mengungkapkan sebuah kisah nyata. Ketika Unpad dipimpin budayawan Sunda, Prof Dr Ganjar Kurnia (2007-2015), Rektor Unpad memberi insentif bagi penulis artikel dan berita khas (feature news) di tujuh koran besar terbitan Jakarta dan Bandung dengan syarat penulis yang bersangkutan menyebut diri dosen/mahasiswa Unpad.
Insentif bagi mahasiswa Rp400.000 per tulisan, sedangkan bagi dosen Rp500.000 per tulisan. Dosen yang menulis buku memperoleh insentif Rp10 juta per judul buku. Dosen yang menulis artikel ilmiah di jurnal internasional diberi insentif Rp15 juta per tulisan. Tiap tahun ada pula hadiah uang bagi para penulis paling produktif (tiga besar) baik kategori dosen maupun kategori mahasiswa (program D-3 hingga S-3).
Bahkan pada 2005 pernah dalam satu semester ada insentif bagi pembaca buku (dosen). Dalam semester itu setiap dosen diberi jatah sejumlah uang untuk membeli buku, dengan syarat dosen harus membeli buku yang sama untuk koleksi perpustakaan fakultas. Misalnya, saya diberi insentif Rp100 ribu maka saya harus membeli dua buku yang berharga Rp50.000 per eksemplar.
Terbukti pada masa itu uang insentif yang cukup besar tersebut telah merangsang sejumlah dosen dan mahasiswa menulis di media massa cetak dan sebagian dosen juga menulis buku dan artikel di jurnal ilmiah internasional. Sayang nian, entah mengapa, setelah berganti rektor (2015) semua uang insentif penulis ditiadakan.
Nah, sebuah PTN saja dahulu mampu memberi insentif bagi penulis buku, artikel, dan berita khas serta konsumen buku, tentu negara kita yang kaya raya niscaya mampu memberikan berbagai insentif bagi penulis, penerbit, penjual, dan pembaca buku. Kita tunggu saja.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved