Headline

Bansos harus menjadi pilihan terakhir.

Belajar dari Morrie

Victor Yasadhana Direktur Pendidikan Yayasan Sukma
02/10/2017 07:16
Belajar dari Morrie
(MI/ADAM DWI)

SETIAP Selasa, Mitch Albom mendapatkan kuliah yang mengubah hidupnya dari Morris ‘Morrie’ S Schwartz, dosen renta di Brandeis University, Waltham, Massachusetts. Morrie mengidap ALS (amyotrophic lateral sclerosis), penyakit saraf yang menyebabkan kelemahan otot secara cepat yang berujung pada kelumpuhan dan ketidakmampuan bernapas. Albom menggambarkan penyakit yang diidap gurunya dengan sedikit muram, “Pembunuh yang merampas bagian hidupmu layaknya bandar yang merampas kartumu ketika kalah di meja judi. Sarafsarafmu mati, otot-ototmu lumpuh. Lengan dan kakimu tak lagi berguna. Bahkan menelan adalah sebuah siksaan.

Pada akhirnya, satu-satunya yang masih utuh ialah pikiranmu.” Morrie mendapatkan vonis kematiannya di musim panas 1994, saat usianya 78 tahun. Namun, Morrie tidak menyerah. Ia mempersiapkan kematiannya dengan lebih baik: menyapa hati banyak orang dan mengajarkan kepada mereka tentang kehidupan. Mitch Albom yang tidak pernah menghubungi Morrie sejak ia lulus pada 1979, melakukan perjalanan dari Michigan ke Massachusetts--sekitar 1.236 km--setiap Selasa untuk menemui bekas guru favoritnya. Mereka bertemu 14 kali setiap Selasa dan Albom mendapatkan pelajaran berharga di sisa hidupnya. Dari catatan Albom- -yang kemudian dibukukan

dan difilmkan, Tuesday with Morrie--kita tahu Morrie ialah guru yang tidak hanya mengajarkan pengetahuan, tetapi juga menyentuh hati muridnya. Morrie meninggalkan pesan tentang berbagi, empati, memberi, mendengar, perhatian, ke percayaan, dan contoh. Morrie Schwartz mestinya menjadi inspirasi bagi mereka yang mengajar. Bagi Morrie, mengajar ialah lebih dari sekadar menularkan ilmu. Mengajar bagi Morrie ialah menularkan gairah dan cinta kepada sesama. Ia mendidik murid-muridnya. Sebagai guru, ia tidak pernah merasa se lesai meyakinkan orang di sekelilingnya untuk tidak pernah kehilangan rasa kemanusiaan dan cinta. Mungkin ka rena itu, ia suka sekali dengan kutipan WH Auden: “Saling mencinta atau musnah sia-sia.”

Hambatan fi sik karena sakit tidak pernah menyurutkan semangat untuk menularkan semangat, kepercayaan, dalam ruang emosi mereka yang mengenalnya. Ia ialah contoh terbaik dari semangat mengajar bagi siapa saja. Termasuk tentu saja Mitch Albom, muridnya. Belajar menjadi pendidik seperti Morrie ialah tantangan
bagi semua guru. Tuntutan tu gas lebih sering membawa guru masuk dalam jebakan teknis administratif dan mengalienasi mereka dari kodrat dasar mereka sebagai manu sia. Saat ini, lebih sering di temui para guru yang terlihat terlalu sibuk berkutat de ngan berbagai dokumen administratif dan melupakan kesempatan mereka untuk menyentuh emosi muridnya. Dalam praktiknya banyak guru yang berhasil membantu anak didiknya mencapai prestasi ter tinggi, tetapi lupa membangun hubungan yang sehat dengan anak didiknya.

Proses belajar menjadi sebuah fase mekanis yang menempatkan hubungan antarguru dan murid bukan lagi sebagai prioritas yang perlu diupayakan. Saat pertimbangan akan pentingnya membangun relasi ditinggalkan, kelas menja di tempat yang kaku dan mence kam dan bukan tempat bermain yang dinamis dan menyenangkan. Proses belajar lebih menjadi ajang pembuktian untuk saling berkompetisi daripada berkolaborasi. Rasa ingin tahu (curiousity) dikalahkan sekadar pentingnya kecepatan dalam menjawab pertanyaan dan serangkaian

tes tulis standar menyingkirkan proyek yang dirancang murid secara bersama. Capaian siswa, pada akhirnya, tak lebih dari sederet angka statistik yang kehilangan makna. Upaya guru dalam proses pembelajaran tak lebih hanya menjadi pemenuhan kewajiban tugas. akibatnya, jejak kontribusi guru dalam setiap pencapaian siswa mudah sekali terlupakan. Lalu apa yang harus dilakukan?

Relasi guru dan murid
Tidak ada jalan pintas dalam pendidikan. Pendidikan selalu menjadi proses yang dinamis, tetapi tak selalu mudah. Tidak hanya nalar dan fi sik yang harus dikembangkan, tetapi juga ranah rasa dan emosi. Mengajarkan pengetahuan yang ia kuasai merupakan kewajiban penting bagi guru. Begitu juga dalam membangun relasi guru dengan murid. Komitmen untuk membangun sebuah relasi yang sehati antara guru dan murid selalu menyaratkan keberanian untuk saling menghargai (mutual respect) dan kerelaan untuk saling percaya (mutual trust).

Dalam konteks membangun relasi yang sehat antara guru dan murid di kelas, menurut Rafe Esquith dalam Teach like Your Hair’s on Fire (2007), setidaknya ada empat hal yang bisa dilakukan. Pertama, guru harus mampu mengubah ketakutan menjadi kepercayaan (replace fear with trust). Kepercayaan ialah hal berharga yang harus dijaga dengan baik. Kesalahan bisa diperbaiki, tetapi kepercayaan yang dicederai susah untuk didapat kembali. Membiasakan untuk merespons setiap pertanyaan murid, sekalipun berulang, atau memberi kesempatan bagi murid untuk memperbaiki kesalahan yang pernah dilakukannya, sekalipun tak serta-merta, akan menumbuhkan kepercayaan di kalangan para murid bahwa guru mereka memberi rasa aman dan nyaman serta percaya pada usaha mereka.

Kepercayaan yang tumbuh akan mengatasi ketakutan dalam proses pembelajaran. Kedua, guru dapat diandalkan (be dependable). Sekalipun kadang penting untuk merang sang keterlibatan siswa dengan menjanjikan ganjaran, seorang guru yang baik hanya akan menjanjikan sesuatu yang akan dia penuhi. Ia akan mengusahakannya dengan seluruh kemampuannya. Guru yang baik sangat bisa diandalkan untuk memenuhi ekspektasi yang murid harapkan atau janji yang ia nyatakan. Ketiga, penerapan aturan main yang masuk akal (discipline must be logical). Tak bisa disangkal, selalu ada kebutuhan untuk menegakkan aturan di kelas. Namun, penerapan sanksi harus adil dan sebanding dengan pelanggaran yang dilakukan.

Sekali para murid melihat guru mereka bertindak tidak adil, keperca yaan atasnya akan runtuh. Salah satu cara terbaik untuk menegakkan aturan di kelas ialah upaya untuk merumuskannya bersama. Murid dan guru akan merasa bersama memiliki aturan main yang dirumuskan melalui dialog dan diskusi yang setara. Keempat, guru ialah contoh (role model). Siswa hampir selalu melihat dan menilai guru mereka. Mereka akan menjadikan guru mereka sebagai anutan yang bisa mereka ikuti sehingga sudah selayaknya seorang guru melakukan segala sesuatu lebih dahulu dan selalu berusaha lebih baik jika dibandingkan dengan muridnya. Jika guru meminta muridnya untuk datang tepat waktu, guru harus datang sebelum waktu yang telah ditetapkan.

Jika guru meminta murid untuk belajar keras, guru harus mampu menunjukkan dirinya juga bekerja lebih keras. Alhasil, guru belajar dan mengajar tidak hanya dalam ranah ruang kelas melainkan juga ia belajar dan mengajar bersama muridnya dalam ranah kehidupan, sebagai contoh nyata bagi murid-muridnya. Keempat hal di atas, jika dilakukan, akan menjadi titik awal hubungan guru dan murid yang lebih bermakna. Jejak guru akan membekas dalam kehidupan murid, layaknya proses belajar yang tak ada habisnya.

Seperti catatan Mitch Albom dalam percakapan ter akhirnya dengan Morrie: “Saat aku mati, aku harap kamu tetap datang mengunjungiku,” kata Morrie. “Mengunjungimu?” “Di makamku. Aku telah memilih lokasi yang bagus, tempat yang nyaman untuk duduk dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan untukku. Aku tidak yakin aku akan menjawabnya, tapi aku akan berusaha menjawabnya.” Morrie tetap mengajar dengan menyentuh emosi dan menyapa hati muridnya. Bahkan setelah kematiannya. Jejaknya membekas dalam dan bermakna.

Kirimkan ke email: [email protected] atau [email protected] atau fax: (021) 5812105, (Maksimal 5.500 karakter tanpa spasi. Sertakan nama, alamat lengkap, nomor telepon, foto kopi KTP, nomor rekening, dan NPWP).

Setiap materi baik artikel, tulisan, maupun foto, yang telah ditampilkan di harian Media Indonesia dapat dimuat kembali baik dalam format digital maupun nondigital yang tetap merupakan bagian dari harian Media Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya