Headline
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.
F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.
DALAM pergelaran wayang, melalui peran punakawan sebagai penasihat dan pamong pembisik makna sejati kehidupan dan kebajikan pada manusia, dapat diciptakan suasana dialogis yang humoris, penuh canda dan juga menghibur. Dialog punakawan dengan para kesatrianya juga bisa digunakan sebagai ventilasi untuk mengurangi kepengapan ruang publik dan atau gap komunikasi antara penguasa dan rakyat. Pada dunia pewayangan, dikenal dua kelompok kesatria yang berhadapan, yaitu Pandawa yang bercirikan tabiat manusia baik dengan punakawan Semar, Gareng, Petruk, dan Bagong, serta Kurawa yang bercirikan tabiat manusia buruk dengan punakawan Togog dan Bilung. Bila peran Semar banyak disampaikan dengan wejangan tentang kebajikan, tugas Togog lebih berat karena wejangan tentang kebajikan sulit untuk diterima para kesatria asuhannya, apalagi untuk dilaksanakannya.
Sampai-sampai Togog mulutnya bertambah 'ndower'. Namun, akhirnya Togog menemukan cara dengan 'njlontroke' (Jawa; sekalian mendorong ambisi dan keserakahan) para kesatrianya. Dari penggalan pergelaran, dikisahkan ada kesatria Kurawa yang satu tangannya putus dalam peperangan. Togog bukan memberi solusi apalagi menghiburnya, melainkan justru mengusik harga diri sang kesatria karena masih ada satu tangan lagi, semestinya sebagai kesatria pantang menyerah. Bius harga diri membuat sang kesatria tersebut serta-merta kembali maju perang lagi. Begitu seterusnya, sampai akhirnya kesatria tersebut kehilangan kedua tangan dan kakinya.
Di ujung pentas, sang kesatria tersebut terus saja 'ndremimil' tentang kebanggaan, harga diri, dan kejayaan masa lalu. Seperti pada umumnya orang ndremimil, ia pun tidak mengerti apa yang diucapkannya, bahkan ia tidak sadar bahwa perang Baratayuda sudah lama usai.
Humor politik
Umumnya budayawan berpendapat kekuasaan tanpa dukungan rakyat adalah berbahaya, tapi yang lebih berbahaya lagi ketika kekuasaan tanpa humor yang di dalamnya mengandung suasana dialogis. Seperti yang dulu dilakukan Gus Dur, walaupun beda dalam cara menampilkannya, Presiden Jokowi juga menggelar humor politik. Bila Gus Dur menampilkan humor politik dengan lisan, Presiden Jokowi dengan perbuatan yang 'aneh' dan 'tidak biasa'. Fakta membuktikan humor politik yang disampaikan lisan model Gus Dur ternyata bagai membangunkan sekelompok macan tidur. Mereka yang di masa lalu bermasalah kemudian bergabung dengan kelompok yang haus kekuasaan, serentak bergerak bersama 'mengepung' Gus Dur, dan jatuhlah Gus Dur dari kekuasaannya.
Sebaliknya, dengan humor politik model Presiden Jokowi, lawan politik dan mereka yang di masa lalu bermasalah kehilangan momentum karena mati langkah. Bahkan sebaliknya, mereka malah menganggap penampilan tersebut sebagai perbuatan konyol. Sambil minum 'wine' dan mengisap cerutu, mereka terbahak-bahak menertawakannya. Padahal, di balik sikap yang dianggap konyol itulah, tergelar ruang dialog bagi sesama komponen anak bangsa. Sejumlah humor politik yang mengundang kontroversi misalnya 'body language' terkait dengan pernyataan bahwa dirinya adalah petugas partai malah menuangkan minuman, kasus tanda tangan tanpa membaca ketimbang bilang 'ada tekanan', kuis berhadiah sepeda, dan joget bersama Ibu Negara membaur dengan peserta Pelatihan Guru PAUD se-Jakarta, dan lain-lainnya.
Presiden Jokowi juga menampilkan humor politik yang mengkait keilahian dengan mengangkat sejumlah orang bermasalah sebagai pembantu dekatnya. Ada yang bertobat, tetapi ada juga yang menyia-nyiakannya dan malah mencatut namanya untuk praktik mafia.
Sementara itu, humor politik dengan durasi waktu terpanjang ialah penyikapan atas tuduhan bahwa dirinya anak tokoh PKI. Selama lebih dari dua tahun Presiden Jokowi memilih diam, setelah begitu gencar dan masif diberitakan dan apalagi setelah ada instansi tertentu ikut meramaikannya, baru kemudian mengeluarkan perintah 'PKI nongol, gebuk'. Itu adalah humor politik tingkat tinggi dan sangat lucu. Bagaimana tidak, di antara tokoh bangsa dan bahkan petinggi negeri ini masih ada juga yang belum sadar bahwa zaman telah berubah.
Karena hati mereka tertutup (kufur), sulit untuk memahami bahwa sejumlah nilai lama yang terkait dengan politik mutlak harus kita tinggalkan, tak terkecuali tentang perlakuan negara terhadap anak-anak eks mantan anggota partai terlarang, termasuk PKI, karena mereka mempunyai hak yang sama seperti anak bangsa lainnya. Mereka ribut tentang bahaya komunisme, tanpa sadar dirinya pegang telepon seluler dan menikmati Go-Jek, Go-Food, Go-Massage, dll. Mereka gagal paham bahwa telematika telah meng-komunis-kan kehidupan sejumlah komunitas di semua negara, tak terkecuali di Indonesia, sebagai sebuah keniscayaan. Mereka tidak paham bahwa norma dasar komunisme dalam mengatur ekonomi telah menjadi bagian dari kehidupan manusia di zaman ini, termasuk bangsa kita.
Melalui aplikasi telematika, sejumlah alat produksi kini telah dikuasai langsung oleh rakyat secara terorganisasi. Go-Jek, Uber, Air-BNB, dll adalah contoh konkret bentuk tata ekonomi model komunisme dalam wujudnya yang baru.
Letak perbedaan hanya pada simbul dan bentuk alat produksinya. Bila dulu simbolnya palu arit, kini alat produksinya ialah telepon seluler dengan sistem aplikasi online. Menjadi lebih lucu lagi karena mereka rupanya belum tahu bahwa peradaban dunia telah lama masuk era 'The end of ideology'. Mereka seolah tidak tahu bahwa Perang Dingin telah lama usai dan komunisme telah lama bangkrut. Norma dasar komunisme 'sama rata dan sama rasa' di saat perhargaan terhadap pekerja keras disamakan dengan pemalas mustahil di era kekinian akan laku. Sementara itu, komunisme dalam artian tata kelola kekuasaan negara, seperti yang diterapkan di banyak negara komunis khususnya di Eropa Timur, juga terbukti gagal. Soal PKI sebagai lembaga, Tap MPR yang melarangnya masih sah secara yuridis formal.
Dalam kaitan itulah, Presiden Jokowi dengan cerdas memainkan peran suci punakawan tak peduli menjadi Togog sekalipun. Karena tanpa Togog, perang Baratayuda akan terus berlarut tanpa batas waktu yang membuat Pandawa dan Kurawa kembali bercampur menjadi satu kotak akibat pergelaran wayang harus disudahi sebelum fajar menyingsing. Kebenaran mampu membuktikan dirinya sendiri Melalui humor politik yang ditampilkan Presiden Jokowi, kini rakyat sudah mempunyai daftar inventaris semua tokoh negeri ini. Mana yang pahlawan dan mana yang pengkhianat, mana yang munafik dan mana amanah, mana yang bersih dan mana yang kotor, mana yang pejuang dan mana yang oportunis, dan nilai-nilai kontradiktif dalam kehidupan lainnya, sesuai dengan posisi masing-masing.
Ibarat ikan, antara yang segar dan yang busuk sudah dalam keranjang masing-masing. Diakui atau tidak, kini publik sudah punya kedewasaan dalam menilai isu yang berkembang, tak terkecuali isu yang dilempar oleh pejabat tinggi negara sekalipun. Begitu pula terhadap kegaduhan politik yang ditimbulkan oleh mereka yang terus 'ndremimil' tentang masa lampau, persis seperti penampilan kesatria Kurawa 'momongan' Togog dalam akhir pergelaran tersebut, rakyat malah menggerutu karena geli atau setidaknya bosan atas isu yang tidak kreatif dan tidak lagi relevan.
Ketika malam menjelang pagi, sementara perang Baratayuda yang dikisahkan sudah berlangsung lebih dari 19 tahun lamanya dan pergelaran wayang harus ditutup dengan kemenangan Pandawa, peran Togog menjadi sangat mendasar agar para kesatria Kurawa yang sembunyi dan menyusup di banyak tempat segera tobat atau tampil maju ke medan perang. Hanya dengan cara itulah, sebelum azan subuh dikumandangkan, perang Baratayuda dapat disudahi dengan tampilnya Pandawa sebagai pemenang. Niscaya, penonton mempunyai kenangan indah sekaligus sebagai warisan yang tak akan pernah dilupakan anak cucu karena Presiden Jokowi berhasil mewujudkan wejangan orang bijak bahwa kebenaran niscaya mampu membuktikan dirinya sendiri.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved