Bermain sebagai Pengalaman Belajar Autentik

Ahmad Baedowi Direktur Eksekutif Yayasan Sukma
25/9/2017 00:02
Bermain sebagai Pengalaman Belajar Autentik
(MI/ADAM DWI)

JIKA kita kembalikan pada teori belajar sederhana yang dikembangkan Ki Hadjar Dewantara dalam Bagian Pertama: Pendidikan (1961), terlihat jelas, metode among siswa menggunakan latihan dan permainan dalam pembelajaran pancaindra untuk anak-anak sangatlah mencolok. Hal ini karena pelajaran pancaindra dan permainan kanak-kanak tidak bisa dipisahkan. Dalam kayakinan Ki Hadjar, Taman Siswa memiliki kepercayaan bahwa segala tingkah laku dan keadaan anak-anak sudah diisi Sang Maha-among segala alat-alat yang bersifat mendidik anak. Itulah sebabnya dalam praktik pengajarannya Ki Hadjar memasukan unsur-unsur kebudayaan dalam permainan anak-anak.

Ia percaya, permainan tradisional memiliki manfaat melatih tabiat tertib dan teratur. Selain itu, permainan anak-anak memiliki kedudukan sangat penting di negara RI, karena sebagian besar permainan anak disertai nyanyian dan hal itu membuktikan adanya musikalitas pada anak-anak. oleh karena itu, bentuk permainan di TK dapat berupa permainan dengan nyanyian dan atau dengan lagu dan gerak berirama. Dari alam menuju budaya Belajar sambil bermain dan bermain sambil belajar selalu mengandung nilai-nilai pendidikan, baik sisi fisik maupun psikologis. Dalam permainan selalu ada ruang untuk pancaindra anak berkembang secara teratur berdasarkan prinsip tumbuh kembang anak secara alami.

Selain itu, dalam permainan juga selalu sesuai kodrat anak-anak yang selaras dengan alam sekitar sehingga spontanitas anak juga tumbuh alami. Ki Hadjar juga berpendapat, kesenian untuk anak-anak dapat dilakukan melalui permainan, khususnya latihan kesenian suara, tari, dan sandiwara. Semuanya itu dasar pendidikan budi pekerti, sebagaimana Ki Hadjar mengemukakan, "Permainan kanak-kanak adalah kesenian kanak-kanak yang sungguh pun amat sederhana bentuk dan isinya namun memenuhi syarat-syarat etis dan estetis, dengan semboyan: dari natur ke arah kultur".

Jika budaya sekolah berkembang sesuai prinsip yang searah alam sekitar sebagai akibat efek proses belajar dengan bermain, bisa dikatakan, sekolah itu sesungguhnya sedang menyemai budi pekerti yang halus dan tertib pada diri seorang anak. Jika kebijakan bermain bisa diterapkan para guru di sekolah, tanpa ada sedikit pun keraguan menjalankannya apalagi ketakukan karena ujian nasional dsb, sesungguhnya kita sedang menyemai kreativitas anak tanpa batas untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang berbudi pekerti luhur dan berkarakter kuat.

Saatnya mengembalikan permainan tradisional kita dalam peta belajar anak di semua level dan jenjang pendidikan nasional. Jika tidak, pengalaman belajar anak akan kehilangan autentifikasi orisinal. Banyak bukti dari beberapa hasil riset tentang perkembangan mental dan kejiwaan menunjukkan secara konsisten dan kuat bahwa pendidikan yang enggan memperkenalkan ranah permainan berlatar budaya berpengaruh terhadap kesuksesan masa depan seorang anak. Dalam laporan Center on the Developing Child (2007) ditunjukkan secara khusus, efek permainan dalam pendidikan yang benar dapat meningkatkan kapasitas arsitektur otak anak, yakni pada saatnya otak itu memberi pengaruh baik dalam membentuk perilaku sosial dan emosi anak yang cerdas.

Ini artinya pengalaman belajar anak, jika terjadi secara benar, dapat membentuk jalan bagi tumbuhnya motivasi belajar secara benar. Jika di masa depan kita menginginkan tumbuhnya karakter jujur dan kesalehan sosial kuat pada diri seorang anak, pendampingan proses pendidikan penting dilakukan. Penelusuran secara longitudinal terhadap keberhasilan seorang anak menunjukkan jejak kuat bahwa pengenalan konsep ilmu dan pendampingan orang dewasa menjadi dua hal signifikan untuk dilakukan secara benar. Dengan demikian, program pendidikan yang menekankan pengalaman belajar autentik melalui permainan harus ditata secara baik dan benar dalam sebuah rangkaian yang tidak terpisahkan dengan pendidikan dasar dan menengah (Schweinhart et al., 2005).

Beberapa kesalahan itu terlihat dalam praktik pendidikan yang lebih banyak didominasi tuntutan perkembangan kapasitas akademik anak, sehingga anak tak memperoleh pengalaman belajar autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya di tengah-tengah kehidupannya.
Selain itu, tak sedikit dijumpai paradigma salah dari para pendidikan yang memandang pengalaman belajar sebagai suatu kondisi yang sepenuhnya kendali pembelajaran dipegang guru. Pengalaman belajar anak lebih banyak dideterminasi banyaknya jumlah mata ajar yang berkaitan kemampuan menulis dan berhitung. Bahkan, dengan sedikit pemaksaan, kemampuan membaca dan menulis merupakan bentuk kesepakatan tak tertulis bagi syarat penerimaan siswa baru tingkat SD.

Hal ini menunjukkan, proses pendidikan anak di SD dan menengah bertujuan bukan memberikan pengalaman belajar yang autentik berdasarkan konteks sosial dan budaya, melainkan lebih banyak mengejar kemampuan akademik yang lalai terhadap sensitivitas emosi anak. Pentingnya pemahaman yang benar tentang pengalaman belajar anak jelas memberi pengaruh terhadap kemampuan anak di masa depan. Jika anak dididik berdasarkan target perkembangan kognisinya semata, kekhawatiran terhadap masa depan RI memiliki cukup alasan.

Selain itu, para penggagas dan praktisi pendidikan usia dini juga harus menyadari, mendidik anak di usia dini membutuhkan pendekatan multi dan interdisipliner yang melibatkan begitu banyak bidang ilmu keterampilan. Selain ilmu psikologi perkembangan, ilmu pendidikan, neurosains, bahasa, dan seni, para pendidik juga harus memiliki ilmu tentang gizi, ilmu biologi perkembangan anak, dan sebagainya. Di usia dini target pendidikan seyogianya untuk mengembangkan seluruh potensi anak agar kelak berfungsi sebagai manusia utuh sesuai budaya dan falsafah bangsa. Berkaca pada hasil-hasil riset tersebut, jelas sekali harus ada niat baik dari para penggagas dan praktisi pendidikan anak usia dini untuk mengubah gaya mengajar mereka.

Contextual based learning harus menjadi acuan proses belajar-mengajar di usia dini agar anak-anak kita tumbuh dan berkembang dengan karakter kuat, kecerdasan memikat, serta kepedulian terhadap sesama yang mengikat persatuan dan kesatuan bangsa. Bermain adalah salah satu cara membentuk kepribadian dan kecerdasan anak. Dalam melakukan aktivitas bermain, anak tidak menyadari kalau dirinya juga belajar. Mereka bermain dengan perasaan senang, lucu, spontan, dan tidak ada unsur paksaan. Anak yang selalu gembira akan memiliki pertumbuhan badan dan perkembangan jiwa yang baik. Karena itulah penting terus menyadarkan para guru agar selalu melakukan aktivitas bermain kedalam skema belajar-mengajar sehari-hari.

Sebagaimana diyakini Ki Hadjar Dewantara, jika aktivitas belajar dilakukan sambil bermain, bentuk permainan haruslah dipahami landasan filosofinya agar pada saat yang sama anak juga dapat belajar tentang konteks budaya dan tradisi yang melingkupi aktivitas bermain tersebut. Selain itu, bermain juga diyakini sebagai bentuk metode belajar sangat efektif, bahkan untuk orang dewasa sekalipun. Sering kita jumpai dalam sebuah pelatihan, jika orang dewasa kita ajak bermain, mereka tak ada bedanya dengan anak kecil ketika bermain, yaitu tertawa, bergerak, dan lain sebagainya.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya