Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
LANGKAH tegas polisi menangkap pengelola Saracen, kelompok yang diduga memproduksi dan menyebarkan pesan kebencian dan kebohongan melalui media sosial, layak diapresiasi. Masyarakat yang resah akibat persebaran hoaks memberikan dukungan kepada polisi. Namun, di saat yang sama, harapan membumbung tinggi agar polisi mampu mengusut tuntas kasus tersebut sehingga terungkap siapa di balik Saracen dan siapa yang menggunakan jasa Saracen. Persoalan berikutnya, jika polisi mampu mendeteksi jejak-jejak Saracen, semestinya juga mampu mendeteksi jejak-jejak kelompok sejenis di Indonesia. Jika polisi memiliki data keberadaan Saracen, hampir pasti polisi juga memiliki data tentang Saracen-Saracen yang lain.
Banyak pihak mengetahui, ada beberapa kelompok yang aktivitasnya memproduksi hoaks lalu mengoordinasi persebarannya. Motif mereka ialah bisnis sekaligus politis. Dengan kata lain, Saracen bukan pemain tunggal dalam bisnis fabrikasi hoaks di Indonesia.
Demi kepentingan publik, serta demi menjaga prinsip keadilan dan kesetaraan di depan hukum, polisi juga mesti memberantas kelompok-kelompok lain tersebut. Namun, ada kemungkinan dilema yang akan dihadapi polisi dalam hal ini. Apa yang akan dilakukan polisi jika menemukan bahwa kelompok-kelompok fabrikator hoaks itu ternyata juga ada yang melayani klien kalangan pemerintahan? Apa yang dilakukan polisi jika menemukan ada fabrikator hoaks yang bersimpati kepada pemerintah?
Harapan publik, tentu saja polisi tidak akan pandang bulu dan menggunakan standar ganda. Siapa pun yang menebarkan hoaks dan kebencian di ruang publik ditindak tegas tanpa melihat apakah mereka menentang atau bersimpati pada pemerintah. Pesan moral dari ketegasan yang ditunjukkan pemerintah dalam kasus Saracen adalah jangan menebarkan kebohongan dan kebencian kepada siapa pun dan dengan tujuan apa pun di ruang publik yang dapat memecah-belah masyarakat dan memicu gejolak gejolak sosial.
Pemerintah juga tidak akan menoleransi fabrikator hoaks yang bersimpati pada pemerintah. Ketegasan sekaligus netralitas penegak hukum di atas perlu ditegaskan karena Indonesia saat ini juga sedang menghadapi tren yang juga sedang dihadapi banyak negara, yakni tren institusionalisasi kebohongan.
Pada awalnya gejala institusionalisasi kebohongan ini hanya terjadi di media sosial, tetapi dalam perkembangannya juga menjalar ke media konvensional. Farhad Manjoo (2016) menjelaskan fenomena institusionalisasi kebohongan dalam tiga pengertian. Pertama, hoaks tidak lagi diperlakukan sebagai amoralitas atau pelanggaran hukum yang harus dihindari, tetapi justru dirumuskan sebagai strategi dan secara sengaja dipraktikkan. Alih-alih diberantas, hoaks justru difabrikasi dan dikomodifikasi. Persebaran hoaks telah menjadi bisnis baru dan diadopsi sebagai bagian dari strategi pemenangan pemilu atau strategi pemenangan proyek dan tender. Analisis BuzzFeed terhadap pesan-pesan politik yang disebarkan melalui Facebook tentang pemilihan presiden AS tahun lalu menunjukkan 38% dari pernyataan-pernyataan kubu Republik berisi hoaks atau fakenews, demikian juga sebaliknya, 20% dari penyataan-pernyataan kubu Demokrat juga merupakan hoaks atau fakenews.
Hoaks terjadi pada kedua pihak sehingga cukup sulit untuk menyatakan bahwa Hillary Clinton ialah korban hoaks karena kubu Hillary juga menggunakan hoaks untuk membela diri sekaligus menyudutkan Donald Trump. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Dalam pilkada DKI Jakarta misalnya, cukup mudah menemukan bukti bahwa di gelanggang media sosial, para kandidat semuanya dirugikan sekaligus diuntungkan oleh penyebaran hoaks. Menyudutkan lawan politik dengan informasi yang spekulatif dan menghakimi menjadi hal yang tak terelakkan dalam strategi pemenangan pemilu pada kedua belah pihak.
Perlu digarisbawahi, meskipun menggunakan hoaks sebagai bagian dari strategi pemenangan pemilu, dengan kata lain meskipun telah berbohong dan menyebarkan kebencian, para pemenang pemilu tetap mendapatkan legitimasi dan diakui keabsahannya.
Kedua, media massa konvensional tidak mengimbangi hoaks yang tersebar melalui media sosial dengan jurnalisme yang benar dan lebih bermartabat. Media massa konvensional sebagian justru terserat dengan arus yang muncul di media sosial itu. Semakin mudah menemukan berita-berita media massa yang merujuk pada hoaks di media sosial. Semakin sering dijumpai media massa--khususnya media online yang mengutip sumber-sumber yang kurang kredibel dengan pernyataan yang insinuatif atau menghakimi pihak lain, tanpa melakukan verifikasi dengan memadai.
Jika masyarakat semakin terseret oleh arus hoaks, ini sebagian karena jurnalisme yang bermartabat tidak benar-benar hadir sebagai kekuatan yang mengarahkan masyarakat ketika masyarakat sedang dilanda fabrikasi hoaks melalui media sosial. Ketiga, karena media sosial keruh dengan persebaran hoaks dan media massa konvensional kurang determinatif dalam menghadirkan jurnalisme yang bermartabat, masyarakat pun dilanda ketidakmampuan kolektif untuk membedakan mana yang bohong dan mana yang jujur, mana yang palsu dan mana yang asli.
Masyarakat kesulitan membedakan media massa dan media sosial, media yang kredibel dan media yang kurang kredibel. Masyarakat bahkan tidak bisa membedakan antara berita, informasi, spekulasi, dan desas-desus. Masyarakat kehilangan referensi untuk memahami persoalan secara jernih dan hati-hati. Maka sangat mungkin yang terjadi di sini ialah yang bohong dianggap sebagai kebenaran, yang benar dipahami sebagai fitnah, yang palsu dianggap sebagai asli dan sebaliknya. Dalam keadaan seperti inilah, institusionalisasi kebohongan dan industri kebencian tumbuh-subur.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved