Headline

Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.

Ketimpangan dan Kualitas Hidup

Razali Ritonga Kapusdiklat BPS RI, Alumnus Georgetown University, USA
30/8/2017 00:16
Ketimpangan dan Kualitas Hidup
(thinkstock)

UPAYA pemerintahan Jokowi-JK untuk mewujudkan penyelenggaraan pembangunan berkeadilan dan dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat secara perlahan menunjukkan hasilnya. Hal ini, antara lain terdeteksi dari menurunnya ketimpangan pendapatan. Dengan pendekatan pengeluaran dan menggunakan ukuran rasio gini, ketimpangan menurun dari 0,402 pada September 2015 menjadi 0,394 pada September 2016, atau menurun 0,008 poin (BPS, 1/2/2017). Namun, penurunan ketimpangan itu sepatutnya tidak membuat kita cepat berpuas diri. Menurut Andy Summer, Director of the International Development Institute of Kings College, London, dalam penjelasannya di BBC News (12/3/2015), menyebutkan bahwa rasio gini lebih sensitif terhadap perubahan pada golongan menengah jika dibandingkan dengan perubahan pada golongan bawah dan atas.

Penjelasan Andy Summer itu tampaknya cukup sesuai dengan penurunan ketimpangan yang terjadi di Tanah Air selama September 2015-September 2016, yang mayoritas berasal dari meningkatnya pengeluaran kelompok menengah. Tercatat, pengeluaran kelompok 40% menengah tumbuh sebesar 11,69%, sedangkan pengeluaran 40% bawah tumbuh hanya 4,56%, dan pengeluaran kelompok 20% atas tumbuh sebesar 3,83%. Secara faktual, hal itu sekaligus mengisyaratkan bahwa upaya pembangunan infrastruktur, penggalakan usaha ekonomi menengah, kecil dan mikro, serta distribusi aset, lahan dan modal, lebih banyak menguntungkan kelompok 40% menengah. Fenomena seperti ini barang kali yang mengilhami Andy Summer dan Cobham mengembangkan alternatif ukuran lain, yakni Indeks Palma (Palma Index). Penghitungan indeks ini cukup sederhana, yakni memfokuskan pada penduduk kaya (10% penduduk kelompok atas) dan 40% penduduk kelompok bawah serta mengabaikan penduduk kelompok menengah.

Adapun penghitungan 10% penduduk kaya dan 40% penduduk bawah itu didasarkan pada pembagian pendapatan nasional kotor (gross national income). Selanjutnya, dalam publikasi human development report/HDR) terbitan PBB 2016, dapat dicermati bahwa rasio Palma untuk RI 1,5, yang berarti 10% kelompok atas memiliki pendapatan 1,5 kali lipat jika dibandingkan dengan pendapatan 40% kelompok bawah. Dalam konteks ini, Norwegia merupakan negara dengan ketimpangan pendapatan terkecil dari seluruh negara secara global, yakni memiliki rasio palma sebesar 0,9. Jika kelompok pendapatan terkaya dinaikkan dari 10% menjadi 20% dengan menggunakan Rasio Palma, akan diperoleh indeks sebesar 2,72, yang berarti kekayaan 20% teratas terhadap 40% kelompok termiskin besarnya 2,72 kali lipat.

Ketimpangan
Dengan mencermati ketimpangan pendapatan berdasarkan proksi pengeluaran itu barang kali cukup menarik untuk mengetahui kesetaraannya dengan ketimpangan sejumlah indikator kualitas hidup. Ternyata ketimpangan kualitas hidup antara penduduk kaya dan miskin lebih parah jika dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan dengan proksi pengeluaran. Dengan menggunakan indeks kekayaan berdasarkan kepemilikan rumah tangga dan menggunakan data survei demografi dan kesehatan Indonesia (SDKI) 2012, terlihat untuk kualitas layanan kesehatan, misalnya amat timpang antara penduduk kaya dan miskin.

Pemeriksaan kehamilan, misalnya dari hasil SDKI 2012 itu diketahui hanya 3,3% ibu hamil dari 20% penduduk kelompok terbawah yang kehamilannya diperiksakan ke dokter kandungan, sedangkan untuk penduduk 20% penduduk kelompok atas sebesar 47,2%, atau rasio kelompok atas dan bawah sebesar 14,3. Sementara itu, untuk penolong persalinan, 6,2% ibu melahirkan dari penduduk kelompok 20% bawah ditolong dokter ahli kandungan, sedangkan persalinan ibu hamil dari penduduk 20% kelompok atas yang ditolong dokter ahli kandungan sebesar 40,9%, atau dengan rasio sebesar 6,6.

Potret buram ketimpangan layanan kesehatan ibu hamil antara penduduk kaya dan miskin itu barang kali yang menjadi salah satu penyebab timpangnya angka kematian neonatum (kurang dari sebulan) dan kematian bayi (kurang dari setahun) antara penduduk kaya dan miskin. Adapun rasio kematian neonatum 20% termiskin dan 20% terkaya sebesar 2,9 (29 berbading 10 kematian per 1.000 kelahiran hidup), sedangkan rasio kematian bayi sebesar 3,0 (52 berbanding 17 kematian per 1000 kelahiran hidup). Hasil survei demografi dan kesehatan (SDKI) 2012 itu juga menunjukkan ketimpangan lebar antara penduduk kaya dan miskin dalam aspek pendidikan. Median lama sekolah kelompok 20% termiskin hanya sebesar 5,6 tahun untuk perempuan dan 5,5 tahun untuk laki-laki, sedangkan pada 20% penduduk terkaya mencapai 11,4 tahun untuk perempuan dan 11,7 tahun untuk laki-laki. Jadi, rasio median lama bersekolah antara penduduk terkaya dan termiskin berkisar dua kali lipat.

Dengan rendahnya capaian derajat pendidikan dan kesehatan, penduduk miskin akan memiliki peluang terbatas guna meningkatkan pendapatannya. Hal itu tentu sangat menyulitkan penduduk miskin untuk meningkatkan produktivitasnya agar memperoleh pendapatan secara layak. Maka, atas dasar itu, diperlukan komitmen pemerintah untuk mengangkat derajat kehidupan penduduk miskin agar ketimpangan dapat diperkecil. Upaya yang dilakukan ialah secara konsisten meningkatkan pendapatan penduduk kelompok miskin dan paling miskin, serta mengintensifkan bantuan dan subsidi untuk meningkatkan derajat kualitas hidup agar penduduk miskin secara perlahan dapat keluar dari kubangan kemiskinan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya