Headline

Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.

First Travel, ke Mana Kemenag?

Effnu Subiyanto Advisor CikalAFA-umbrella, Direktur dan peneliti utama Koalisi Rakyat Indonesia Reformis, Doktor FEB Unair
30/8/2017 00:02
First Travel, ke Mana Kemenag?
(ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan)

MORAL hazard manajemen First Travel semakin gambling. PPATK berhasil melacak melalui transaksi perbankan bahwa 30% dana jemaah untuk tujuan ibadah itu digunakan untuk kepentingan pribadi. Dana jaminan setiap agen Rp2,5 juta dari total 744 cabang juga ikut membiayai kepentingan pribadi pemilik First Travel. Demikian pula pungutan biaya waralaba Rp1 miliar dari puluhan pemegang merek ikut amblas. Total utang penyelenggara umrah itu minimal Rp848,2 miliar dan menjadi moral hazard terbesar di bidang ibadah umrah di RI.
Komplotan Andika Surachman dan Anniesa Hasibuan ternyata cukup licin karena jika pun First Travel dipailitkan, nilai aset-aset mereka ternyata tidak cukup memenuhi besarnya kewajibannya.

Sampai saat ini aset yang disita kepolisian ialah rumah dan bangunan 3 unit berlokasi di Sentul, Pasar Minggu, Cilandak. Berikutnya 3 unit kantor dan butik milik Anniesa, 5 unit mobil dan rekening Rp1,3 juta. Ada beberapa yang diduga aset yaitu 11 unit mobil yang diduga dipindahtangankan dan sebuah restoran di London seharga 700 ribu poundsterling. Betapapun karena utang-utangnya kemungkinan melesat sampai Rp 1 triliun, maka besar kemungkinan nasib jemaah umrah itu tetap terlantar.
Jika melihat masifnya kegiatan First Travel menjaring korbannya dalam bentuk iklan mahal, reklame besar bahkan juga berizin dari Kementerian Agama, lalu bagaimana pengawasan Kemenag selama ini?

Diskriminasi
Melihat rumitnya proses beribadah umrah dan beratnya risiko yang ditanggung calon jemaah, tampak jelas perbedaan perlakuan antara jemaah umrah dan calon jemaah haji dari pemerintah. Beralasan bahwa antrean tunggu jemaah haji sudah mencapai 42 tahun, pemerintah hanya fokus pada masalah jemaah haji, sedangkan penanganan ibadah umrah diserahkan kepada pihak swasta. Padahal, dari segi kuantitas, calon jemaah umrah pun tidak kalah jumlahnya bahkan lebih besar. Setiap tahun jumlah jemaah umrah asal RI ke Arab Saudi mencapai 699.600 orang, ketiga terbesar di dunia setelah Mesir dan Pakistan. Dari jumlah biaya pun, uang yang dikeluarkan jemaah umrah lebih besar. Biaya resmi jemaah haji sekitar Rp36 juta untuk 40 hari tinggal di Arab Saudi, sedangkan biaya jemaah umrah dalam kisaran Rp25 juta untuk 9 hari. Artinya, jika jemaah umrah akan tinggal setara dengan jumlah hari jemaah haji, uang yang dikeluarkan mencapai Rp111,11 juta atau 308,64% lebih tinggi daripada standar biaya haji reguler.

Kealpaan pemerintah mengurusi jemaah umrah menjadikan calon jemaah ini makanan empuk pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Menggunakan metode multilevel marketing seperti teknik First Travel, yaitu keberangkatan jemaah umrah saat ini sebetulnya dibiayai calon jemaah umrah berikutnya dalam rangka menekan harga, dengan cepat memiliki banyak pengikut dan akhirnya kemacetan di tengah jalan. Jika menggunakan logika, sungguh tidak dinalar apabila hanya membayar Rp14,3 juta bahkan kurang, dengan mudah dapat membayar tiket pesawat terbang kelas termurah pun belum cukup. Lalu bagaimana membayari penginapan, biaya akomodasi, dan biaya lain-lainnya? Ibadah tetap ibadah, namun rasionalitas ekonomi tetap harus berjalan. Ibadah tentu saja tidak otomatis menafikan nalar ekonomi, karena beribadah, uang akan datang sendiri karena kuasa Allah. Hal ini yang harus ditanamkan agar setiap calon jemaah umrah tidak terbuai iming-iming palsu.

Dikelola negara
Seperti halnya calon jemaah haji yang menggunakan manajemen negara cq Kementerian Agama, calon jemaah umrah seharusnya dikendalikan pula oleh negara. Kisah pilu perjalanan First Travel harus menjadi pembelajaran Kemenag agar hak beribadah setiap WNI dilindungi dan dijamin. Negara sekaligus akan mendapatkan manfaat maksimal dalam bentuk penambahan cash pooling seperti rencana pemerintah untuk menggunakan dana idle jemaah haji guna pendanaan infrastruktur. Saat ini berdasarkan audit BPK tahun 2016, dana haji baik setoran awal, nilai manfaat, dan dana abadi umat mencapai Rp95,2 triliun dan terus meningkat. Pada akhir 2017, dana haji idle di RI sedikitnya menyentuh minimal lebih Rp100 triliun. Jika ditambah pengelolaan jemaah umrah, minimal dana cash Kemenag bertambah Rp10 triliun per tahun dari total estimasi biaya umrah Rp17,49 triliun per tahun.

Penulis sangat setuju jika dana ibadah haji dan umrah dikelola negara dalam rangka pendanaan infrastruktur daripada negara harus menciptakan uang baru untuk menambal defisit anggaran. Hanya dari utang pemerintah saja, total utang jatuh tempo pada 2018 mencapai Rp315 triliun, berikutnya pada 2019 meningkat menjadi Rp326 triliun, kemudian Rp234 triliun (2020), Rp280 triliun (2021), Rp247 triliun (2022). Saat ini hanya untuk membayar bunga utang saja, rata-rata APBN harus membayar lebih dari Rp200 triliun per tahun. Konkret pembayaran tagihan bunga utang hanya dari pemerintah pusat pada 2017 mencapai Rp218,6 triliun. Pada Semester I kemarin, pemerintah membayar cicilan Rp106,9 triliun untuk selanjutnya pada Semester II harus membayar kembali sisanya Rp117,7 triliun.

Secara total, hanya untuk membayar cicilan pokok utang, pembayaran imbal beli untuk kreditor, dan bunga utang, sudah menggerus pagu APBN sekitar 25% dan sangat tidak sehat bagi negara. Cicilan bunga utang itu dibayarkan kepada 7 negara dan 2 lembaga keuangan global yaitu Singapura, Jepang, Tiongkok, AS, Hong Kong, Belanda, Korsel, dan kepada lembaga keuangan International Bank for Reconstruction and Development (IBRD) dan Asian Development Bank (ADB). Kisruh pengelolaan agen umrah First Travel membuktikan bahwa pengelolaan dana dalam jumlah besar memang sangat aman dikelola dan dijamin negara. Negara sekaligus mendapatkan manfaat karena memperoleh sumber pembiayaan murah.

Jika akhir-akhir ini pro dan kontra muncul karena rencana pemerintah menggunakan dana idle haji untuk infrastruktur, sebetulnya tidak relevan sama sekali. Menjadi lebih penting dan relevan adalah siapa penjaminnya, jika negara dalam hal ini APBN bertindak sebagai jaminan, sebetulnya tidak ada persoalan sama sekali. Setiap tahun APBN bahkan membayar cicilan bunga utang Rp218,6 triliun, akan lebih baik jika cicilan bunga itu untuk bangsa sendiri daripada pergi ke luar negeri. Jika pemakaian dana idle jemaah haji untuk pembiayaan infrastruktur itu dilarang, umat Islam RI juga harus melarang manajemen keuangan jemaah umrah ditanam dalam berbagai model investasi. Bahkan jemaah umrah dengan masa tunggu kurang dari satu tahun, berani berinvestasi, apalagi untuk jemaah haji masa tunggu 10, 20, sampai 40 tahun. Begitu banyak sekali model investasi dalam jangka panjang itu dengan jaminan manfaat yang tetap dan pasti, apalagi ini dijamin negara dan APBN. Jadi sebaiknya manajemen umrah dikelola negara karena relatif aman untuk jemaah itu sendiri.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya