Headline
Setnov telah mendapat remisi 28 bulan 15 hari.
SUDAH menjadi keinsafan kolektif bahwa predator seksual ialah hantu yang bergentayangan meneror anak-anak kita. Jumlah mereka, jika yang diacu pemberitaan di media massa, sebenarnya tidak banyak. Begitu pula dengan korban, hanya sebagian yang berproses hukum. Sebagian lainnya tersuruk dalam diam atau diselesaikan dengan cara-cara 'damai' dan 'kekeluargaan'. Jika dinalar dengan hitung-hitungan macam itu, siapa pun termasuk penegak hukum akan tergelincir menyepelekan dan berpikir bahwa kasus pemangsaan seksual terhadap anak-anak belum mencapai bobot yang menggelisahkan. Beruntung, sejak 2014 Indonesia telah mencanangkan Gerakan Nasional Antikekerasan Seksual. Instruksi presiden tentang itu menasbihkan Indonesia sebagai bagian dari komunitas internasional yang menaruh perhatian serius terhadap bahaya para pelaku pedofilia.
Salah satu kampanye memerangi pedofilia bahkan menyebut para pelaku perundungan seksual sebagai teroris sejati yang berkeliaran di sekitar lingkungan masyarakat sendiri. Hari ini, frasa 'berkeliaran di sekitar lingkungan masyarakat sendiri' sudah mengalami perluasan makna. Tidak lagi sebatas lingkungan terjadinya kontak fisik antara predator dan korban, tetapi juga merambah ke dunia dalam jaringan (daring). Studi menemukan para pelaku kejahatan pedofilia berbasis daring membangun dua bentuk jejaring sosial sebagai cara mereka beradaptasi terhadap lingkungan. Pertama, sebagai konsekuensi hidup dikucilkan masyarakat, sesama predator berinteraksi satu sama lain untuk tujuan katarsis. Terlebih difasilitasi teknologi komunikasi semacam surat elektronik dan grup-grup maya, orang-orang itu saling merintih dan menyemangati satu sama lain agar bisa membawa diri secara lebih patut di tengah-tengah masyarakat.
Para predator itu juga tukar-menukar pengetahuan mengenai cara-cara yang bisa dilakukan guna mengendalikan nafsu seksual keji mereka. Berbeda dengan bentuk jejaring pertama yang dibentuk dengan maksud positif, jejaring jenis lain dibikin dengan tujuan kriminal. Antarpredator bertukar informasi tentang pengalaman 'menyenangkan' dan wilayah-wilayah yang strategis untuk mengincar mangsa kanak-kanak berikutnya. Adanya pola interaksi semacam inilah yang perlu disikapi otoritas hukum dengan membongkar, antara lain riwayat akses internet orang-orang yang selama ini dicurigai sebagai monster di sekolah sekaligus zona pemangsaan para predator seksual tersebut. Dunia daring sebagai kawasan pemangsaan diistilahkan sebagai pornografi anak berbasis daring (online child pornography) telah direspons secara ligat di negara semisal Amerika Serikat.
Perusahaan-perusahaan penyedia jaringan internet (internet provider) di sana eksplisit menetapkan larangan penggunaan internet untuk hal-hal yang berhubungan dengan pedofilia, termasuk mengunjungi situs-situs seksual yang menjadikan individu anak-anak sebagai objeknya. Pelanggaran terhadap larangan tersebut dikenai sanksi berupa pemutusan internet, tanpa peringatan terlebih dahulu. Sepintas lalu, terkesan kejahatan pornografi anak berbasis daring tidak memunculkan dampak serius. Apalagi, kerugian yang muncul ketika anak menjadi korban kejahatan semacam itu kerap dikalkulasi semata-mata berdasarkan biaya berlangganan listrik dan jaringan internet. Bandingkan dengan biaya akibat kejahatan seksual terhadap anak dalam bentuk yang--katakanlah--konvensional. Dua dasawarsa silam, ilmuwan Prentky dan Burgess mengestimasi, setiap kasus kejahatan seksual menelan biaya US$183.333.
Angka tersebut dihitung berdasarkan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaku dan korban (offender-related dan victim-related expenses). Dapat dihitung, apabila dari seratus kasus dapat ditekan hingga delapan kejadian saja, terjadi penghematan sebesar hampir US$ 1,5 juta. Namun kita harus sepakat bahwa pornografi anak berbasis daring ialah kejahatan yang--paling tidak--setara mahalnya. Medan pemangsaan yang nirbatas dengan potensi duplikasi predator yang amat-sangat masif, dan korban potensial yang juga mudah dijaring di mana pun, berkonsekuensi pada tingginya upaya yang harus dilakukan lembaga penegakan hukum untuk memonitor pergerakan para pemangsa itu. Anak-anak yang terpapar pornografi berbasis daring juga bisa mengalami guncangan psikologis yang tidak sepele.
Pematangan seksual yang terlalu dini, munculnya kecanduan akan muatan-muatan seks di internet, dan hilangnya kebiasaan-kebiasaan konstruktif anak harus masuk unsur biaya rehabilitasi korban.
Dan jumlahnya pasti spektakuler! Pencegahan setiap kasus pornografi anak berbasis daring, merujuk jumlah dolar di atas, menjadi keharusan. Ilustrasi angka di atas sangat berguna untuk lebih mengencangkan aksi-aksi penanganan kasus sejenis pada waktu-waktu berikutnya, terutama yang ditujukan untuk meningkatkan keamanan para pengguna internet. Perlu dicamkan baik-baik, andai angka tersebut dinilai terlalu mahal, bayangkan berapa besar biaya yang terpaksa ditanggung masyarakat ketika penanganan terhadap para pelaku dan korban tidak dilakukan sama sekali.
Gelorakan kesadaran bersama
Masih hangat peringatan tiga hari penting kita dalam jarak berdekatan: Hari Keluarga Nasional, Hari Anak Nasional dan Hari Kemerdekaan. Sepantasnya kita semua harus mulai bangun dan sadar untuk menyelamatkan jutaan anak-anak kita yang terpapar pornografi berbasis daring ini. Memperkuat ikatan komunikasi dalam keluarga serta peduli terhadap pemenuhan hak anak ialah langkah sederhana yang perlu kita gelorakan bersama. Masih segar dalam ingatan seruan Bung Karno, "Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai para pahlawannya."
Betul, jangan sampai kita lupa masa lalu ketika para pahlawan telah meraih kemerdekaan. Namun, juga jangan lupa masa depan, yaitu anak-anak sekaranglah yang akan mengisinya. Maka dari belahan utara bumi saat kaki saya berada saat ini, hati saya masih terguncang dengan dihadapkan pada sekian banyak pengetahuan tentang bahaya nyata pornografi anak berbasis daring di tingkat global. Saya sangat risau. Untuk itu, dari halaman gedung Kedutaan Besar Indonesia di Mexico City, izinkanlah saya ikut menyuarakan jeritan hati anak-anak Indonesia dengan mengingatkan kita semua. "Bangsa yang besar adalah bangsa yang mencintai anak-anak...!!"
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved