Headline

Setelah menjadi ketua RT, Kartinus melakukan terobosan dengan pelayanan berbasis digital.

Fokus

F-35 dan F-16 menjatuhkan sekitar 85 ribu ton bom di Palestina.

Poros Membendung Perundungan

Seto Mulyadi Dosen Psikologi Universitas Gunadarma, Ketua Umum Lembaga Perlindungan Anak Indonesia
09/8/2017 00:15
Poros Membendung Perundungan
(ANTARA/ISMAR PATRIZKI)

DUA tiga pekan terakhir dunia perlindungan anak di Tanah Air dibentur-benturkan dengan sekian banyak peristiwa perundungan (bully). Masih segar dalam ingatan ketika Presiden Jokowi pada peringatan Hari Anak Nasional di Riau pada 23 Juli memberikan wejangan, "Anak-anak jangan mem-bully!" Namun tragis, seorang anak berusia 16 tahun di Riau pula! diduga telah menjadi sasaran perundungan sehingga terjadilah akibat terburuk: si anak mengakhiri hidupnya dengan cara terjun ke sungai. Bunuh diri akibat perundungan, bullycide, itulah tragedinya! Dalam kejadian-kejadian perundungan sebelumnya di sekolah, pihak sekolah telah menjatuhkan sanksi bagi para pelaku perundungan. Langkah itu cukup responsif, tetapi saya pandang belum memadai.

Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental yang dikeluarkan menjelang akhir tahun lalu memuat poin yang sesungguhnya dapat diterapkan sebagai dasar penanganan peristiwa perundungan. Poin di dalam inpres berbunyi bahwa penciptaan lingkungan nirkekerasan dan ramah anak diselenggarakan dengan sekolah dan rumah sebagai basisnya. Tulisan ini menyajikan rekomendasi penanganan kasus perundungan bersumbu dua lingkungan itu, yaitu sekolah dan rumah. Di lembaga pendidikan, ketika terjadi perundungan, pertanggungjawaban seyogianya tidak hanya ditimpakan ke individu-individu pelaku perundungan. Sekolah dan kampus harus memperlihatkan kesungguhan serta memastikan lingkungannya bersih dari kekerasan, baik antarsiswa maupun antara siswa dan pendidik serta tenaga kependidikan. Bentuk nyata kesungguhan itu ialah mengadakan borang akreditasi yang spesifik memuat informasi perihal sistem dan implementasi sekolah dalam mencegah dan mengatasi perundungan.

Menginsafi kodrat dunia pendidikan sebagai sentra peradaban sehingga lembaga pendidikan sudah seharusnya steril dari kekerasan, borang itu patut dijadikan sebagai borang kunci. Artinya, betapa pun pencapaian pada borang-borang lain sangat positif, tetapi ketika isian--sebutlah--borang antikekerasan ini tidak meyakinkan, status akreditasi lembaga pendidikan bisa terdampak fatal.

Integrasi
Acap kali penindakan terhadap kejadian perundungan bertitik tolak dari asumsi bahwa lembaga pendidikan ialah habitat yang berada dalam ruang vakum. Padahal, apalagi jika berlandaskan pada perspektif sosio-ekologis, sekolah dan kampus sesungguhnya merupakan salah satu subsistem dari sekian banyak subsistem lainnya yang menjadi tempat hidup anak didik. Tindak-tanduk anak didik, termasuk kebiasaan melakukan perundungan, dengan demikian dapat dipahami sebagai resultan dari asupan-asupan yang mereka terima di keseluruhan subsistem itu.

Perspektif sosio-ekologis berkonsekuensi bahwa upaya menanggulangi masalah perundungan tidak cukup dilakukan pihak lembaga pendidikan semata. Subsistem lainnya juga perlu diintegrasikan. Untuk tujuan itu, mengacu Inpres Gerakan Nasional Revolusi Mental, subsistem yang penting disasar secara simultan dengan sekolah adalah rumah. Dalam konteks rumah, perundungan merupakan satu unsur dalam narasi perlindungan anak secara menyeluruh. Di rumahlah pembelajaran pertama tentang sikap laku antiperundungan diadakan. Sikap laku itu ialah penghargaan terhadap sesama dan asertivitas. Penghargaan terhadap sesama merupakan sikap anak terhadap siapa pun yang potensial menjadi sasaran perundungan.

Asertivitas merupakan kesanggupan anak untuk menolak ajakan atau tekanan dari sesamanya untuk melakukan perundungan. Asertivitas ialah kesanggupan anak menyuarakan isi hati, termasuk berkata 'tidak', ke orang-orang di sekitarnya tanpa menyakiti hati mereka. Asertivitas bersumbu pada keterusterangan sekaligus kesantunan. Asertivitas dibutuhkan sebagai bentuk kemampuan anak menangkal ajakan buruk dari teman-temannya. Bagi anak, pada usia tertentu, kehadiran teman-teman sebaya memang kerap lebih penting. Pengaruh mereka dipandang lebih krusial. Ancaman dijauhi teman sangat mungkin lebih menakutkan ketimbang aturan yang ditetapkan orangtua. Memanfaatkan 'keringkihan' anak itulah proses transmisi watak dan kelakuan negatif antaranak berlangsung. Demikian pula proses terbentuknya kelompok-kelompok pertemanan yang kemudian menjadikan perundungan sebagai jati diri mereka.

Kuatnya pengaruh teman sebaya itulah yang bisa dielakkan anak ketika ia memiliki asertivitas. Pendidikan keluarga, dalam rangka membiasakan anak asertif, jelas merupakan kurikulum primernya. Dengan dasar berpikir seperti di atas, yaitu pengintegrasian sekolah dan rumah sebagai basis lingkungan yang (mendekati) steril dari kekerasan, penindakan pascakejadian pun dilakukan dengan prinsip sama. Yakni, ketika siswa kedapatan melakukan perundungan di sekolah, pihak sekolah melibatkan pihak rumah (keluarga, orangtua siswa pelaku) sebagai bagian tidak terpisahkan dalam penyelesaian masalah. Jadi bukan anak seorang diri yang dimintai pertanggungjawabannya, keluarga si anak pun tidak berlepas tangan dari itu.

Pemecahan masalah dengan pendekatan seperti tertuang di atas sebenarnya selaras dengan prinsip keadilan restoratif. Inilah prinsip yang menjadi pijakan dalam penanganan kasus-kasus anak berhadapan dengan hukum bahwa tindak-tanduk anak dipandang sebagai buah dari perlakuan yang diterimanya. Kesenangan dalam merundung orang lain di sekolah adalah kekeliruan yang berurat akar dari pengasuhan yang diterima anak di rumah. Perundungan memang problem yang tidak sederhana. Namun, ketika dua lingkungan utama anak sudah terkelola secara terintegrasi, pantas kita membangun asa bahwa sebagian besar penyebab perundungan sudah ada di tangan kita.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya